Liputan6.com, Jakarta - Pada 2014, World Craft Council (Dewan Kerajinan Dunia) menetapkan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia. Predikat itu datang dengan tanggung jawab lebih untuk Kota Pelajar. Mereka berkewajiban untuk membumikan dan melestarikan batik agar terus dikenakan oleh masyarakat. Jogja International Batik Biennale (JIBB) pun diluncurkan pada 2016 untuk mengangkat batik Jogja.
Agenda dua tahunan itu kembali digelar pada tahun ini setelah sempat tersendat akibat situasi pandemi Covid-19. Rangkaian kegiatan yang bakal dilaksanakan sepanjang tahun mengusung tema Borderless Batik atau batik tanpa batas.
Baca Juga
"Kita mulai dengan men-display batik koleksi Keraton Jogja dan Pakualaman dengan konsep batik daur hidup, diikuti rangkaian seminar internasional hybrid, dan puncaknya bertepatan dengan Hari Batik Nasional, Oktober nanti," kata Sri Paku Alam X membacakan sambutan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X di peluncuran JIBB 2023 di Sarinah, Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Advertisement
JIBB 2023 difokuskan pada aspek sustainable dan marketability dengan harapan batik bisa semakin bermanfaat bagi masyarakat Jogja. Lewat riset dan pengembangan serta praktik terbaik, Dekranasda DIY selaku pengampu berupaya agar batik bisa menarik perhatian kaum milenial dan Gen Z.
"Tujuannya untuk melestarikan, melindungi, mengembangkan, dan merawat batik," ujarnya.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) DIY Gusti Kanjeng Ratu Hemas juga sepakat bahwa batik agar lebih fleksibel untuk bisa digunakan oleh semua orang. Ia menyebut pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan kesukaan generasi muda masa kini.
"Kan ada yang ingin dimodifikasi dengan lurik. Ternyata sangat harmonis sekali. Dari situ, generasi muda kita sangat senang," ujarnya.
Modal Batik Menyelesaikan Masalah
Ketua Panitia JIBB Gatot Saptadi menjelaskan bahwa predikat yang didapat Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia rutin dievaluasi oleh Dewan Kerajinan Dunia. Tujuannya untuk memastikan bahwa Jogja berbuat sesuatu secara konsisten untuk melestarikan dan merawat batik.
"JIBB ini bagian dari eksposur. Dua tahun sekali, ini wujud gambaran kita berbuat sesuatu. Tapi, sepanjang dua tahun, aktivitas yang diampu Dekranasda untuk pengembangan terhadap pengrajin sebenarnya terus kita lakukan," ujar dia.
Tema Borderless Batik yang diangkat dalam penyelenggaraan JIBB tahun ini, sambung dia, dimaknai bahwa batik bisa membantu menyelesaikan beragam masalah. "Dari masalah kemiskinan, masalah kesejahteraan, ini bisa di-back up dengan aktivitas batik. Nilai jualnya ada, modal sosialnya ada, dia (batik) punya nilai," ia menerangkan.
Ia juga menjelaskan alasan peluncuran JIBBB dilaksanakan di Jakarta, bukan di Yogyakarta. "Untuk menginternasionalkan," jawab Gatot. Untuk itu, pihaknya mengundang sejumlah kedutaan negara sahabat di Jakarta. Langkah serupa sudah diinisiasi dalam penyelenggaraan JIBB 2021, tetapi secara virtual.
"Kita lakukan membatik bersama dan ternyata masih banyak yang melakukannya sampai saat ini," ujar Gatot.
Advertisement
Latar Pemilihan Jogja Sebagai Kota Batik Dunia
Jogja ditetapkan sebagai Kota Batik Dunia karena dianggap memenuhi tujuh kriteria. Ketujuhnya adalah nilai sejarah, nilai keaslian, nilai pelestarian, nilai ekonomi, nilai ramah lingkungan, nilai global, dan nilai keberlanjutan (sustainable value).
Menurut Gatot, salah satu kunci keberlanjutan batik terletak pada pengrajinnya. Ia menyadari bahwa pembinaan untuk para pembatik perlu terus-menerus dilakukan agar kegiatannya tetap hidup. Regenerasi para pembatik pun terus diupayakan.
"Kami coba giatkan batik kepada para milenial. Batik sekarang juga sudah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler di SMP-SMP. Belum masuk kurikulum sih, tapi sudah mulai dirintis," kata dia.
Selain memberdayakan manusianya, aspek keberlanjutan juga memerhatikan isu lingkungan. Gatot menyadari bahwa proses produksi batik perlu dikelola lebih baik agar tidak mencemari lingkungan, khususnya limbah malam (lilin) dan pewarnanya.
"Kalau dulu kan dicampur langsung ke drainase, sekarang di masing-masing kabupaten, ada (sistem) waste reduce, diolah kembali. Sudah lama sebenarnya, tapi ini bagian dari penekanan," jelas Gatot.
Dari sisi pewarnaan, pihaknya juga mengarahkan pembatik menggunakan pewarna alam. "Warna-warna ke arah indigo. Malam juga sekarang polanya lebih banyak cap, daripada tulis," ujarnya.
Ditetapkan di Tiongkok
World Craft Council atau Dewan Kerajinan Dunia menetapkan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia di Dongyang, Zhejiang, Tiongkok. Penobatan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia diberikan saat acara pembukaan WCC mulai 18-22 Oktober 2014.
Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad Larasati Suliantoro Sulaiman mengaku bangga karena telah berjuang keras untuk mendapatkan penghargaan itu. Salah satu inisiator dan penggerak itu menjelaskan Yogyakarta bersaing dengan sejumlah kandidat kuat, seperti Solo dan Pekalongan, sebelum meraihnya.
"Semua orang kaget saat kita yang dapat, sedangkan masih ada Solo dan Pekalongan. Persiapannya bukan main lho. Tapi liat sejarahnya. Kotagede di sana dulu jadi pusat budaya. Dan sekarang masih ada, ada tembangnya juga. Kota lain kan ga punya," ujar Suliantoro kepada Liputan6.com di Hotel Mustokoweni, pada 2014 lalu.
Suliantoro berharap agar masyarakat juga harus mendukung label Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia dengan menggunakan batik. Pasalnya, saat ini banyak masyarakat seolah menggunakan batik namun ternyata yang digunakan itu bukanlah batik. Maraknya industri membuat masyarakat telah termakan informasi yang salah.
"Saiki ki do ra ngerti batik. (Sekarang banyak yang ga tau batik). Di Beringharjo itu batik bukan? Makanya harus kembali lagi, jangan pakai yang nggak asli," ujarnya.
Advertisement