Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim mengungkapkan temuan awal soal dugaan pemerasan turis Australia berkedok denda paspor. Sebelumnya, seorang turis Australia bernama Monique mengaku diminta membayar denda sebesar 1.500 dolar Australia (sekitar Rp15,2 juta) saat berlibur bersama ibunya ke Bali.
"Investigasi awal sudah ada hasilnya bahwa informasi tersebut tidak benar. Tapi, saya minta dilakukan pendalaman kembali dengan tambahan saksi-saksi dan diturunkan tim dari direktorat intel," kata Silmy dalam pesan Whatsapp kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.
Â
Advertisement
Sementara, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Bali Baron Ichsan menyebutkan hal senada. Secara terpisah, ia mengatakan bahwa, "Pernyataan yang bersangkutan di media Australia untuk sementara ini dinyatakan tidak bisa dipertanggungjawabkan."
Melansir Antara, Kamis (13/7/2023), dia menjelaskan kesimpulan sementara itu didapat setelah pihaknya tidak bisa mengontak turis Australia bernama lengkap Monique Louise Shuterland dan ibunya lewat berbagai akses, mulai dari media sosial, surat elektronik, hingga pesan Whatsapp. Pihak imigrasi memperoleh nomor telepon dan surel Monique lewat penelusuran ke penginapan mereka selama berlibur di Bali.
Baron mengatakan bahwa Monique tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada 5 Juni 2023, lebih dari sebulan lalu. Sejauh ini, kata dia, Kanwil Kemenkumham Bali telah memeriksa tiga staf penanganan darat (ground handling) maskapai penerbangan Batik Air Malaysia. Petugas itu sebelumnya bertugas mendampingi pemeriksaan khusus Imigrasi terhadap Monique yang saat itu tiba di Bali menggunakan visa on arrival (VoA).
"Berdasarkan hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap tiga orang petugas pendaratan, mereka menyatakan apa yang disampaikan Monique itu tidak benar. Mereka tidak ada meminta uang dari Monique sejumlah berapa pun, ini diperkuat oleh BAP dan surat pernyataan dari petugas ground handling Batik Air," imbuhnya.
Selidiki Rekaman CCTV
Baron juga menyatakan pihaknya telah meminta rekaman kamera pengawas (CCTV) Angkasa Pura Bandara Ngurah Rai. Namun, ia mengaku kesulitan mengingat kapasitas perekaman CCTV berlaku selama delapan hingga maksimal 30 hari sehingga otomatis terhapus.
"Kami baru mencari CCTV setelah kasus itu meledak di atas tanggal sembilan (Juli) sehingga Angkasa Pura Ngurah Rai mengeluarkan pernyataan bahwa rekaman CCTV tidak bisa diambil karena otomatis terhapus," ucap Baron.
Baron mengakui bahwa kedua turis Australia itu sempat digiring ke ruang resmi Imigrasi untuk diperiksa mendalam. Mereka juga didampingi petugas penanganan darat maskapai. Itu karena petugas menemukan kelainan berupa bekas cairan pada lembar biodata di paspor.
Awalnya, petugas imigrasi tidak mengetahui jika paspor Monique rusak saat tiba di meja pemeriksaan Imigrasi Ngurah Rai. Monique saat itu sudah memegang surat pernyataan dari maskapai setelah diingatkan bahwa ia berpotensi ditolak masuk Indonesia karena paspornya rusak. Namun, menurut Baron, Monique tetap bersikeras berangkat ke Bali karena akomodasi sudah dibayar penuh.
Advertisement
Belum Masuk Daftar Tangkal
Setelah diperiksa, Monique saat itu diizinkan masuk ke Bali karena paspor masih bisa terbaca oleh sistem imigrasi dengan kerusakan minor dan atas dasar kemanusiaan mengingat ibu WNA itu sudah lanjut usia, yakni 60 tahun. Keduanya kemudian berlibur selama lima hari Bali.
Monique dan ibunya lalu pulang ke Australia pada 10 Juni 2023 tanpa kendala walau memegang paspor yang sama. Karena itu, pihaknya terkejut dengan pengakuan yang dibuat Monique kepada media Australia.
"Apabila yang bersangkutan bersedia untuk berkorespondensi dengan kami berhubungan via telepon dan melampirkan bukti di kemudian hari bahwa peristiwa itu ada, kami akan buka lagi kasus itu," katanya seraya menambahkan WNA itu diperkenankan masuk Indonesia lagi selama tak masuk daftar penangkalan.
Sebelumnya, laman 7NEWS.com.au melaporkan bahwa turis Australia bernama Monique disuruh menandatangani formulir tambahan berwarna biru saat berada di loket Batik Air di Bandara Tullamarine. Formulir itu diminta untuk selalu ditunjukkan setiap kali ia memperlihatkan paspornya.
"(Formulir itu harus ditunjukan) karena paspor saya sedikit kotor, mengingat usianya sudah tujuh tahun," imbuhnya.
Â
Mengaku Ditekan Petugas
Monique mengatakan, ia melanjutkan perjalanannya tanpa masalah. Namun begitu mengeluarkan formulir biru di imigrasi Bandara Ngurah Rai Bali, ia mulai mendapati masalah.
"Saya ditanya apakah saya sendirian, dan apakah saya seorang pelancong biasa (yang mana saya bukan masuk kategori itu). Saya kemudian dibawa ke ruang interogasi kecil," akunya. "Para pejabat imigrasi terus masuk dan keluar, menanyai saya selama lebih dari satu jam. Saya histeris dan membatu."
Monique mengaku semakin bingung ketika petugas imigrasi mulai tertawa dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Mereka memberinya bahwa karena paspornya rusak, ia melanggar hukum dengan mencoba memasuki negara itu dan harus dideportasi.
"Kemudian, mereka memberi tahu saya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah ini dengan biaya 1.500 dolar (Australia)," katanya. "Paspor saya sebenarnya sudah dicek dan dicap untuk visa masuk. Baru setelah saya menyerahkan formulir biru itu mereka mulai bertanya-tanya."
Tapi, Monique yang baru saja keluar dari pekerjaannya, menolak untuk membayar. Saat itulah para pejabat imigrasi beralih ke ibunya yang berusia 60 tahun. "Mereka mendekati ibu saya yang ketakutan dan meyakinkannya untuk membayar, dan mengatakan jika tidak, saya tidak akan mendapatkan paspor saya kembali," katanya.
Advertisement