Seberapa Sering Harus Buang Air Besar Setiap Hari? Simak Kata Para Ahli

Semua orang biasanya melakukan BAB, namun ternyata tidak perlu dilakukan setiap hari. Dilansir dari CNN Health pada Rabu, 12 Juli 2023, ahli gastroenterologi Dr. Folasade May mengungkapkan bahwa pandangan bahwa BAB harus dilakukan setiap hari adalah sebuah kesalahpahaman.

oleh Farel Gerald diperbarui 21 Jul 2023, 04:00 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2023, 04:00 WIB
Ilustrasi Toilet
Ilustrasi Toilet. Frekuensi BAB berbeda-beda bagi setiap orang. (pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta - Semua orang biasanya buang air besar, atau yang biasa disebut BAB, namun ternyata tidak perlu dilakukan setiap hari. Dilansir dari CNN Health pada Rabu, 12 Juli 2023, ahli gastroenterologi Dr. Folasade May, yang juga seorang profesor di Fakultas Kedokteran David Geffen di Universitas California, Los Angeles, mengungkapkan bahwa pandangan bahwa BAB harus dilakukan setiap hari adalah sebuah kesalahpahaman.

"Saya bahkan memiliki orang yang mencoba dan membuat janji temu karena mereka melapor bahwa mereka berhenti buang air besar setiap hari beberapa tahun yang lalu," katanya. May menambahkan, "Saya harus mengingatkan orang-orang bahwa sebenarnya tidak ada jumlah buang air besar yang tetap atau normal."

Gagasan ini mungkin berasal dari kepercayaan era Victoria yang menyatakan bahwa buang air besar setiap hari membuat seseorang lebih sehat, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Michael Camilleri, seorang konsultan dan profesor di divisi gastroenterologi dan hepatologi di Mayo Clinic di Minnesota.

"Belum tentu. Kebanyakan orang akan mengalami buang air besar hingga tiga kali sehari hingga tiga kali per minggu. Di mana saja dalam kisaran itu, kami anggap normal," ujar May. Dalam hal buang air besar sebagai ukuran kesehatan, frekuensi bukanlah satu-satunya faktor penting.

Menurut Dr. Trisha Pasricha, ahli gastroenterologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts dan instruktur kedokteran di Harvard Medical School, ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi seberapa sering kita buang air besar, seperti pola makan, hidrasi, stres, usia, penggunaan obat, dan keadaan sosial.

Perhatikan Bentuk Feses

Ilustrasi toilet siram modern. (Unsplash/themacx)
Ilustrasi toilet. Ada tujuh bentuk feses yang harus diperhatikan. (Unsplash/themacx)

Menurut Dr. Michael Camilleri, konsultan dan profesor di divisi gastroenterologi dan hepatologi di Mayo Clinic mengungkapkan, "Bentuk feses, penampilan, atau konsistensi buang air besar sebenarnya adalah kriteria yang jauh lebih baik daripada angka sederhana untuk frekuensinya."

Untuk mengevaluasi kualitas feses, para profesional medis menggunakan Bristol Stool Chart, yang mengklasifikasikan feses ke dalam tujuh kelompok. Jenis feses yang dianggap paling sehat adalah jenis tiga dan empat, yaitu tinja yang berbentuk seperti sosis yang halus atau seperti ular dengan retakan di permukaannya. Berikut bentuk-bentuk feses yang ada:

  • Tipe 1: Bentuk seperti gumpalan keras yang terpisah (sembelit berat)
  • Tipe 2: Padat dan menggumpal (sembelit ringan)
  • Tipe 3: Berbentuk seperti sosis dengan retakan di permukaan (normal)
  • Tipe 4: Wujud seperti sosis yang halus dan lembut (normal)
  • Tipe 5: Bentuk seperti gumpalan lunak dengan tepi berbatas tegas (kurang serat)
  • Tipe 6: Konsistensi lembek dengan tepi tidak beraturan (diare ringan)
  • Tipe 7: Konsistensi cair tanpa bentuk padat (diare berat dan menunjukkan peradangan)

Dr. Trisha Pasricha, seorang ahli gastroenterologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts dan instruktur kedokteran di Harvard Medical School, menjelaskan bahwa jika Anda buang air besar tiga kali seminggu dan konsistensinya keras atau seperti kerikil, itu tidak menjadi masalah jika Anda tidak mengalami perubahan dalam kualitas hidup Anda. Hal ini menekankan pentingnya memperhatikan kualitas feses selain hanya frekuensi buang air besar.

"Kami tidak berevolusi untuk buang air besar dengan duduk dengan pinggul 90 derajat di atas kursi, seperti yang kami lakukan sekarang. Kami dulu semua buang air besar jongkok." kata Dr. Michael Camilleri. Menurutnya, posisi duduk tegak dengan sudut 90 derajat seperti itu sebenarnya menghalangi kelancaran aliran.

Menjaga Kesehatan Usus

Ilustrasi makan sehat.
Ilustrasi makan sehat. Makanan dan minuman yang sehat mempengaruhi keteraturan dan kualitas BAB kita. (dok. Einladung_zum_Essen/Pixabay)

Selain tidur yang nyenyak, perlu pula memilih makanan dan minuman yang bijak untuk menjaga kesehatan usus. Para ahli menyatakan bahwa mengonsumsi cukup serat dari sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan kacang-kacangan dapat membantu mencegah sembelit.

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US Food and Drug Administration), asupan serat total seharusnya minimal 25 gram setiap hari. Para ahli juga telah menemukan bahwa kiwi dan plum dapat sangat membantu dalam mengatasi masalah sembelit.

Namun, penting untuk tidak mengonsumsi terlalu banyak serat, karena hal itu dapat menyebabkan perut kembung atau buang air besar. Selain itu, memastikan tubuh terhidrasi dengan baik akan membantu melunakkan feses sehingga Anda dapat buang air besar tanpa harus mengejan, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Folasade May.

Sementara itu, Dr. Michael Camilleri mengatakan, "Kopi, atau minuman berkafein, juga terbukti merangsang kontraksi usus besar." Camilleri menyoroti efeknya dalam memicu pergerakan usus. Di sisi lain, Dr. Folasade May menambahkan bahwa diet tinggi lemak dapat memperlambat sistem pencernaan Anda.

Gerakan tubuh juga penting, seperti yang diungkapkan oleh May. Banyak orang di Amerika Serikat mengadopsi gaya hidup yang kurang aktif, padahal berolahraga membantu merangsang pergerakan saluran pencernaan dan memfasilitasi pemindahan makanan, sehingga mendorong keluarnya tinja.

Selain itu, kecepatan atau lambatnya pergerakan makanan melalui saluran pencernaan juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetika, seiring dengan kemungkinan sistem pencernaan kita melambat seiring bertambahnya usia.

Keteraturan BAB

Ilustrasi Gunakan Gadget saat di Toilet (Foto: Pixabay)
Ilustrasi Gunakan Gadget saat di Toilet. (Foto: Pixabay)

Kondisi medis seperti hipotiroidisme, sindrom iritasi usus, penyakit iritasi usus, atau kolitis ulserativa dapat memengaruhi keteraturan buang air besar. Selain itu, beberapa obat seperti opioid dan antidepresan juga dapat memiliki efek serupa.

Memiliki bayi atau mengalami perubahan berat badan yang signifikan juga dapat menyebabkan disfungsi dasar panggul yang membuat kesulitan dalam proses buang air besar, demikian kata May. Selain itu, stres juga dapat memengaruhi pergerakan usus.

Saat kita makan, perut kita meregang dan mengirimkan sinyal dari sana ke otak melalui sumsum tulang belakang, yang kemudian merangsang saraf yang menginduksi kontraksi usus besar untuk memicu buang air besar, demikian dijelaskan oleh Camilleri.

Namun, jika kita sedang stres, perubahan hormonal dan gangguan sistem saraf dapat menghambat pergerakan tinja menuju rektum, yang menyebabkan sembelit. Sebaliknya, beberapa orang mengalami diare sebagai respons ekstrem terhadap stres.

Keteraturan buang air besar juga dapat dipengaruhi oleh penundaan untuk merespons dorongan buang air besar akibat keterbatasan akses atau privasi ke kamar mandi, menurut para ahli. Beberapa orang mungkin merasa malu untuk buang air besar di sekitar orang lain, terutama di tempat kerja atau sekolah.

Namun, waktu yang tepat untuk buang air besar adalah saat kita merasakan dorongan tersebut, sesuai dengan para ahli, jangan menunda-nunda. Jika kita menghabiskan waktu lebih dari lima hingga 10 menit di toilet tanpa hasil, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter, kata Camilleri.

Namun, jika kita menghabiskan terlalu banyak waktu di toilet karena menggunakan ponsel, disarankan untuk menghentikan kebiasaan tersebut, kata Camilleri. Jika perubahan gaya hidup tidak efektif untuk keteraturan BAB kita, dokter dapat meresepkan obat, suplemen, atau obat pencahar.

Infografis Kiat Makan Sehat Kala Lebaran
Infografis Kiat Makan Sehat Kala Lebaran (Liputan6.com/M. Iqbal)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya