Liputan6.com, Jakarta - Human Rights Watch (HRW) menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang di Gaza. Organisasi non-profit internasional itu mengatakan dalam sebuah pernyataan, Senin, 18 Desember 2023, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (19/12/2023), bahwa Israel sengaja merampas akses warga Palestina terhadap makanan, air, dan kebutuhan dasar lain.
Penggunaan rasa lapar terhadap penduduk sipil adalah kejahatan perang, kata HRW, dan menyerukan para pemimpin dunia bertindak. Keterangan LSM itu juga mengutip pernyataan dari para pejabat Israel, wawancara dengan para penyintas, dan laporan dari organisasi bantuan kemanusiaan.
Baca Juga
Mereka juga menyertakan "bukti citra satelit" yang menunjukkan bahwa Israel terlibat dalam "penggunaan kebijakan yang sengaja merampas sumber daya yang diperlukan warga Palestina untuk kehidupan sehari-hari." "Selama lebih dari dua bulan, Israel telah merampas makanan dan air bagi penduduk Gaza," kata direktur HRW Israel dan Palestina, Omar Shakir.
Advertisement
Ia menyebut bahwa itu merupakan kebijakan yang didorong atau didukung pejabat tinggi Israel dan mencerminkan niat membuat warga sipil kelaparan sebagai metode peperangan. "Para pemimpin dunia harus bersuara melawan kejahatan perang yang menjijikkan ini, yang berdampak buruk pada penduduk Gaza," tambahnya.
Pernyataan itu muncul ketika Israel menghadapi tekanan internal dan eksternal yang semakin meningkat sehubungan dengan meningkatnya korban sipil akibat pemboman "tanpa pandang bulu" di Jalur Gaza. Serangan itu telah menewaskan 18.787 orang dan melukai 50.897 lainnya, menurut data terbaru.
Persulit Masuknya Bantuan Kemanusiaan
Pengeboman militer Israel juga diyakini membuat ribuan warga Palestina terkubur di bawah reruntuhan. Pidato dan pernyataan para pejabat Israel yang mempromosikan kampanye untuk sengaja memblokir akses terhadap sumber daya yang diperlukan penduduk Gaza menunjukkan bahwa Israel tidak merahasiakan niat tersebut, kata HRW.
Bahkan sejak awal serangan, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan bahwa Israel "mengepung Gaza sepenuhnya ... Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada gas, semuanya tertutup," membenarkan tindakan tersebut dengan menggambarkan orang-orang Palestina sebagai "orang-orang yang kejam."
Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional menetapkan bahwa sengaja membuat warga sipil kelaparan dengan "merampas benda-benda yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan," adalah kejahatan perang, kata HRW dalam pernyataannya.
Penderitaan 2,3 juta penduduk Gaza jadi semakin menyedihkan di tengah perang, yang kini telah berlangsung selama lebih dari dua bulan. Sekitar 80 persen warga Palestina yang tinggal di daerah kantong tersebut jadi pengungsi, sementara upaya menyalurkan bantuan mengalami kesulitan.
Advertisement
Pembelaan Israel
Gambar-gambar menunjukkan kehancuran besar-besaran di Jalur Gaza, warga Palestina yang putus asa menyerbu bank-bank makanan, truk-truk pengiriman bantuan kemanusiaan, dan laporan-laporan mengenai penghancuran lahan pertanian yang disengaja memperkuat tuduhan tersebut.
Organisasi-organisasi kemanusiaan menyerukan gencatan senjata dan mengecam dampak mengejutkan dari perang besar yang merupakan hukuman kolektif terhadap penduduk sipil di Gaza. Pemerintah Israel membalas HRW dengan menuduhnya sebagai organisasi "anti-Semit dan anti-Israel."
"Human Rights Watch tidak mengutuk serangan terhadap warga Israel dan pembantaian pada 7 Oktober (2023) dan tidak memiliki dasar moral untuk membicarakan apa yang terjadi di Gaza jika mereka menutup mata terhadap penderitaan dan hak asasi warga Israel," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Lior Haiat pada AFP.
Sementara itu, Israel kembali menggeser apa yang disebut sebagai "zona aman," menurut Al Jazeera. Khan Younis awalnya jadi zona aman, tapi setelah pemboman terus-menerus, warga Palestina kini terpaksa mengungsi di wilayah tandus al-Mawasi.
Kasus Kelaparan di Gaza
Lahan sempit seukuran bandara itu adalah tempat Israel ingin 2,3 juta warga sipil Gaza direlokasi. Namun, wilayah yang kecil dan belum berkembang ini tidak memiliki infrastruktur untuk keselamatan dan kelangsungan hidup. Disebut bahwa tidak ada air bersih untuk diminum dan tidak ada cukup bahan bakar untuk menghangatkan tubuh.
Lalu, di Rafah, selatan Gaza, keluarga-keluarga pengungsi Palestina berjuang mendapatkan makanan bagi bayi mereka yang baru lahir ketika bantuan kemanusiaan mengalir di tengah pemboman yang terus berlanjut. Barang-barang penting, seperti popok dan susu, jadi mahal, bahkan mustahil ditemukan. Air pun sulit didapat.
Seorang nenek dari bayi kembar mengatakan pada Al Jazeera bahwa tidak mungkin memandikan bayi yang kini berusia satu bulan. Kepala Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med, Ramy Abdu, mengatakan kelompoknya akan merilis sebuah studi baru pada yang menunjukkan tingkat kelaparan yang mengerikan di Gaza.
Dalam unggahan X, dulunya Twitter, baru-baru ini, Abdu mengatakan bahwa 71 persen penduduk Gaza "menghadapi kelaparan parah, dengan 98 persen tidak cukupi mengonsumsi makanan. Sebanyak 64 persen memilih "mengonsumsi buah-buahan, makanan liar atau mentah, dan barang-barang kedaluwarsa untuk mengurangi kelaparan," tambahnya.
Advertisement