Studi: Perubahan Iklim Perburuk Turbulensi Pesawat yang Jarang Telan Korban Jiwa

Turbulensi pada penerbangan bisa disebabkan beberapa hal, seperti badai, pegunungan, dan kuatnya arus udara yang disebut jet stream. Dalam kasus yang dialami oleh Singapore Airlines, ini disebut turbulensi udara jernih dan sulit dihindari.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 22 Mei 2024, 22:37 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2024, 13:00 WIB
Pesawat - Vania
Ilustrasi Pesawat/https://unsplash.com/Pascal Meier

Liputan6.com, Jakarta - Turbulensi hebat yang menimpa penerbangan Singapore Airlines dari London telah mengakibatkan satu orang tewas dan beberapa orang luka-luka. Lebih lanjut, yang terjadi di dalam penerbangan pesawat Boeing 777-300ER menuju Singapura itu masih dalam penyelidikan.

Mengutip dari laman Euronews, Rabu (22/5/2024), situs web pelacakan maskapai penerbangan mencatat bahwa pesawat tersebut turbulensi sekitar 1.800 meter dalam tiga menit. Saat itu, keadaan di luar pesawat tidak bersahabat di luar Teluk Benggala.

Faktanya, korban jiwa dan cedera serius akibat turbulensi sangat jarang terjadi. Awak penerbangan seringkali dapat memprediksi cuaca buruk dan kondisi udara yang buruk sebelumnya dan dilatih untuk menghadapi dampaknya.

"Kematian akibat turbulensi pada penerbangan komersial untungnya sangat jarang terjadi, namun sayangnya saat ini telah bertambah satu orang," ungkap Dr Paul Williams, Profesor Ilmu Atmosfer di Universitas Reading kepada Euronews Travel.

Ia mengatakan, turbulensi pada penerbangan bisa disebabkan beberapa hal, seperti badai, pegunungan, dan kuatnya arus udara yang disebut jet stream. Dalam kasus yang dialami oleh Singapore Airlines, ia menyebutnya sebagai turbulensi udara jernih, dan sulit dihindari karena tidak muncul pada radar cuaca di dek penerbangan.

Analisis terperinci mengenai keadaan meteorologi dan jenis turbulensi tertentu yang menyebabkan kematian saat ini akan memakan waktu lama. Waktu kejadiannya akan sulit diprediksi karena hal ini disebabkan oleh pusaran skala kecil yang terlalu terlokalisasi sehingga sulit untuk dihitung oleh sebagian besar model cuaca. 

Penjelasan dari Pakar Penerbangan

Ilustrasi tempat duduk pesawat.
Ilustrasi tempat duduk pesawat. (Olivier89/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

Turbulensi adalah penyebab utama cedera non-fatal pada penumpang dan awak, menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional. Namun, kematian dan cedera parah di pesawat besar tidak sering terjadi.

Antara 2009 hingga 2021, sebanyak 146 penumpang dan awak terluka parah dalam insiden turbulensi, menurut Administrasi Penerbangan Federal. Pada Desember 2022, sebanyak 20 orang dirawat di rumah sakit setelah turbulensi dalam penerbangan Hawaiian Airlines dari Phoenix ke Honolulu.

Pada Maret 2023, seorang penumpang meninggal setelah turbulensi parah menimpa jet bisnis yang ditumpanginya. Selanjutnya pada Agustus tahun yang sama, 11 orang memerlukan rawat inap setelah penerbangan Delta mengalami gangguan udara saat terbang ke Atlanta.

Cedera yang dilaporkan termasuk luka robek, patah tulang, luka di kepala dan kehilangan kesadaran, terutama karena penumpang tidak mengenakan sabuk pengaman. "Bukan tanpa alasan maskapai penerbangan merekomendasikan agar sabuk pengaman tetap longgar selama penerbangan, baik jangka panjang maupun pendek," kata John Strickland, pakar penerbangan umum, kepada BBC. 

Pengaruh Perubahan Iklim

Ilustrasi Pesawat Terbang
Ilustrasi pesawat terbang. (dok. Unsplash.com/@trinitymmoss)

Pramugari adalah pihak yang paling rentan di pesawat, bahkan mereka 24 kali lebih mungkin mengalami cedera serius. Alasannya, mereka harus berdiri lebih lama dibandingkan penumpang. 

Turbulensi semakin parah karena perubahan iklim. Tahun lalu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli meteorologi di Universitas Reading di Inggris menemukan bahwa langit 55 persen lebih bergelombang dibandingkan empat dekade lalu akibat perubahan iklim.

Udara yang lebih hangat akibat emisi karbon dioksida mengubah arus udara di aliran jet, memperburuk turbulensi udara jernih di Atlantik Utara dan secara global. Para ilmuwan menemukan bahwa di wilayah Atlantik Utara, salah satu rute penerbangan tersibuk di dunia, total durasi tahunan turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen antara tahun 1979 dan 2020.

Tim menemukan bahwa turbulensi udara jernih meningkat dari 17,7 jam pada 1979 menjadi 27,4 jam pada 2020 untuk titik rata-rata di Atlantik Utara. Turbulensi sedang di wilayah tersebut meningkat sebesar 37 persen dari 70,0 menjadi 96,1 jam, dan turbulensi ringan meningkat 17 persen dari 466,5 menjadi 546,8 jam. 

 

Peningkatan Turbulensi yang Besar

Bola Es Jatuh dari Pesawat Terbang
Ilustrasi pesawat terbang. (Unsplash/@jramos10)

Disebutkan bahwa Atlantik Utara mengalami peningkatan turbulensi terbesar. Namun, studi baru juga menemukan bahwa rute penerbangan sibuk lainnya di Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga mengalami peningkatan turbulensi yang signifikan.

"Kita harus berinvestasi dalam sistem prakiraan dan deteksi turbulensi yang lebih baik untuk mencegah udara yang lebih kasar berubah menjadi penerbangan yang lebih bergelombang dalam beberapa dekade mendatang," kata Williams, ilmuwan atmosfer di Universitas Reading, yang ikut menulis penelitian ini.

Maskapai penerbangan perlu mulai berpikir tentang bagaimana mereka akan mengelola peningkatan turbulensi. "Karena hal ini merugikan industri sebesar 150 dolar AS hingga 500 juta dolar AS (setara Rp2,3 juta--Rp7,9 miliar) per tahun di Amerika Serikat saja," kata Mark Prosser, ahli meteorologi di Universitas Reading yang memimpin penelitian.

Ia menambahkan, "Setiap menit tambahan yang dihabiskan dalam perjalanan melalui turbulensi akan meningkatkan kerusakan pada pesawat, serta risiko cedera pada penumpang dan pramugari."

Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata
Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata. (Dok: Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya