Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump dilaporkan sedang mempertimbangkan aturan perjalanan baru yang akan dikenakan kepada warga dari berbagai negara. The New York Times, mengutip informasi dari sumber resmi, menyatakan total 43 negara tercantum dalam daftar draft yang dibagi menjadi tiga kategori pembatasan perjalanan.
Melansir laman news.com.au, Minggu (16/3/2025), kategori pertama disebut kategori merah. Itu adalah kelompok negara yang warganya akan dilarang masuk AS sepenuhnya, termasuk Afghanistan, Bhutan, Kuba, Iran, Libya, Korea Utara, Somalia, Sudan, Suriah, Venezuela, dan Yaman.
Advertisement
Baca Juga
Berikutnya adalah kategori oranye. Itu adalah kelompok negara yang mengalami pembatasan visa yang ketat, termasuk Belarusia, Eritrea, Haiti, Laos, Myanmar, Pakistan, Rusia, Sierra Leone, Sudan Selatan, dan Turkmenistan.
Advertisement
"Dalam kasus tersebut, pelancong bisnis kaya mungkin diizinkan untuk masuk, tetapi bukan orang yang bepergian dengan visa imigran atau turis," lapor The New York Times.
Sebanyak 22 negara lainnya dimasukkan dalam kategori kuning. Kelompok negara tersebut memiliki waktu 60 hari untuk mengatasi masalah yang disorot AS atau berisiko dipindahkan ke salah satu kategori yang lebih ketat.
Mengutip Euronews, daftarnya meliputi Angola, Antigua dan Barbuda, Benin, Burkina Faso, Vanuatu, Gambia, Republik Dominika, Republik Demokratik Kongo, Zimbabwe, Tanjung Verde, Kamboja, Kamerun, Kongo, Liberia, Mauritania, Malawi, Mali, São Tomé dan Príncipe, Guinea, Saint Kitts dan Nevis, St. Lucia, dan Chad. Hingga saat ini, Gedung Putih belum mengomentari memo yang dilaporkan tersebut secara terbuka.
Daftar Larangan Perjalanan Masih Bisa Berubah
Daftar tersebut muncul setelah perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada 20 Januari 2025 yang menyatakan bahwa perintah tersebut akan melindungi negara dan warga negaranya dari "orang asing yang bermaksud melakukan serangan teroris, mengancam keamanan nasional kita, menganut ideologi kebencian, atau mengeksploitasi undang-undang imigrasi untuk tujuan jahat."
Perintah tersebut mengharuskan beberapa anggota kabinet untuk memberikan rekomendasi tentang negara mana yang harus dimasukkan dalam larangan perjalanan, menurut laporan. Dalam jumpa pers pada Rabu, 12 Maret 2025, Presiden AS Donald Trump ditanya negara mana saja yang mungkin akan dimasukkan dalam daftar baru terkait perintah eksekutif tersebut.
Trump menolak menjawab, dengan mengatakan, "Bukankah itu hal yang bodoh jika saya katakan?" Selama kampanyenya, Trump berjanji untuk memberlakukan kembali larangan perjalanan yang mendapat perhatian besar selama masa jabatan pertamanya.
Sementara, The New York Times menyebut berdasarkan keterangan para pejabat yang identitasnya disamarkan, daftar tersebut telah disusun Departemen Luar Negeri AS beberapa minggu sebelumnya. Daftar tersebut juga masih mungkin diubah sebelum diterima Gedung Putih.
Advertisement
Larangan Perjalanan Menargetkan Muslim di Era Pemerintahan Trump Pertama
Pada Januari 2017, satu minggu setelah menjabat sebagai presiden, Trump menandatangani perintah eksekutif berjudul 'Melindungi Bangsa dari Masuknya Teroris Asing ke Amerika Serikat'. Perintah tersebut melarang masuknya pengungsi Suriah ke AS dan menangguhkan sementara masuknya individu dari Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Keputusannya pada 2017 menyebabkan kekacauan di bandara dan memicu protes nasional para pengkritiknya terhadap langkah yang dituding 'sebagai 'larangan Muslim'. Hakim di beberapa negara bagian dengan cepat memblokir larangan awal tersebut, dengan alasan diskriminasi terhadap negara-negara dalam daftar tersebut dan pelanggaran hukum imigrasi AS.
Mahkamah Agung AS kemudian mengizinkan versi larangan yang direvisi, yang terus membatasi masuknya warga negara dari Iran, Libya, Korea Utara, Somalia, Suriah, Venezuela, dan Yaman. Mahkamah Agung AS menguatkan larangan tersebut pada 2018.
Ketika Presiden AS Joe Biden menjabat pada 2021, ia mencabut larangan perjalanan tersebut, dengan menyebutnya sebagai "noda pada hati nurani nasional kita" dan tidak konsisten dengan sejarah negara tersebut dalam menyambut orang-orang dari semua agama.
Indonesia Jadi Target Kenaikan Tarif Impor AS
Meski Indonesia tak masuk daftar pembatasan perjalanan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia termasuk dalam daftar negara yang menjadi sasaran tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
"Presiden Donald Trump dalam hal ini memang mengincar negara-negara yang memiliki surplus terhadap Amerika atau Amerika defisit terhadap negara tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APN Kita Maret 2025, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025, dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com.
Kebijakan ini merupakan bagian kebijakan proteksionis yang diambil AS terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan terhadap mereka, yang berarti AS mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara tersebut. "20 negara yang mencatatkan surplus terhadap Amerika artinya Amerika defisit terhadap negara ini, Indonesia ada di nomor 15 kalau kita lihat Tiongkok, Meksiko, Kanada," ujarnya.
Menkeu menyebut, langkah ini menandai pergeseran besar dalam sistem perdagangan global. Perdagangan yang sebelumnya berjalan berdasarkan aturan internasional kini lebih sering ditentukan secara sepihak oleh negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar, terutama AS.
"Jadi ini yang disebut the war game adalah sekarang di bidang ekonomi. Trade yang tadinya berdasarkan rule based sekarang bisa secara sepihak diubah," ujar Menkeu.
Advertisement
