Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebut luas deforestasi mencapai 175,4 ribu hektare pada 2024. Angka itu meningkat dibandingkan tahun lalu. Meski begitu, jumlah tersebut mempertahankan tren luasan yang rendah dibandingkan periode satu dekade terakhir.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenhut, Krisdianto mengatakan luas tutupan hutan Indonesia tahun lalu mencapai 95,5 juta hektare dengan angka deforestasi netto tercatat 175,4 ribu hektare.
Advertisement
Baca Juga
"Ini memang naik dibandingkan dengan tahun 2023, tetapi secara tren 10 tahun terakhir, angkanya ini trennya masih turun. Jadi trennya ini masih turun dibandingkan dengan untuk laju 10 tahun," terang Krisdianto dalam konferensi pers di Kantor Kemenhut, Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.
Advertisement
Jumlah deforestasi netto itu didapat dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare yang dikurangi luas reforestasi 40,8 ribu hektare untuk mendapatkan luasan 175,4 ribu. Angka itu lebih tinggi dibandingkan deforestasi yang tercatat 121,1 ribu hektare pada 2023, menurut data Kemenhut.
Laju deforestasi pada periode 2021-2022 mencapai sebesar 104 ribu hektare dan pemantauan hutan 2020-2021 menunjukkan deforestasi di Indonesia sebesar 113,5 ribu hektare. Indonesia mulai menghitung deforestasi sejak 1990, dengan catatan deforestasi tertinggi terjadi pada periode 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta hektare per tahun.
Selama periode 2002 sampai 2014, sebesar 0,75 juta hektare per tahun dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada 2022 sebesar 104 ribu hektare. Luasan deforestasi pada 2024 disebabkan sejumlah faktor termasuk kebakaran hutan dan lahan serta pembalakan liar (illegal logging).
Deforestasi Terbesar Terjadi di Kalimantan
Deforestasi terbesar terjadi di wilayah Kalimantan Timur. Kemenhut juga mengklaim reforestasi atau penambahan tutupan hutan terbesar di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, meski belum memaparkan secara rinci jumlah luasannya.
"Yang kita tidak tahu kalau kita lihat dari atas adalah penyebabnya. Tapi setelah kita kirim ground check namanya, ngecek data yang di penafsiran dengan di lapangan, kita jadi tahu, ternyata penyebab deforestasi sebagian besarnya adalah karena kebakaran hutan, dan lahan (karhutla) penyebab terbesarnya juga karena adanya perambahan kawasan hutan," tutur Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kemenhut Agus Budi Santosa dalam kesempatan yang sama.
Data luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berdasarkan data sistem pemantauan kebakaran hutan dan lahan SiPongi milik Kemenhut memperlihatkan luasan 376.805,05 hektare pada 2024. Selain kebakaran hutan lahan, lanjutnya, pembalakan liar atau illegal logging masih menjadi isu yang berpengaruh dalam pengurangan tutupan hutan di Tanah Air.
Advertisement
Upaya Menekan Angka Deforestasi
"Ada hutan primer, ada hutan sekunder. Yang paling banyak berubah dari hutan menjadi bukan hutan atau non-hutan, itu di kelas yang disebut dengan hutan sekunder," ungkapnya.
Menurut Agus, Kemenhut sudah menyiapkan dan melaksanakan beberapa langkah strategis yang telah dilakukan dalam upaya menekan angka deforestasi meliputi pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta penerapan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
"Kita melakukan penerapan Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut; Pengendalian Kerusakan Gambut dan Perubahan Iklim; Pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan untuk sektor non-kehutanan; Pengelolaan Hutan Lestari dan Perhutanan Sosial; Rehabilitasi Hutan dan Lahan; serta Penegakan Hukum Kehutanan," jelas Agus.
Kemenhut juga memastikan bahwa menghitung luas tutupan hutan di Indonesia sudah menggunakan metode yang diakui dan disepakati tingkat ASEAN dengan hasil datanya digunakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Perbedaan Metode Penghitungan Deforestasi
"Saya tidak mengatakan metode kami yang paling baik, paling sempurna. Tetapi metode ini, di tingkat ASEAN sudah disepakati sebagai voluntary guidelines untuk forest inventory and monitoring system," kata Agus.
Dia mengatakan Indonesia menggunakan definisi hutan Forest Reference Emission Level (FREL) yang masuk dalam kesepakatan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sumber utama data berasal dari citra satelit bekerja sama dengan kementerian/lembaga lain, termasuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Informasi Geospasial (BIG).
Pihaknya juga memverifikasi fakta lapangan, dengan beberapa titik diperiksa bekerja sama dengan FAO dan mencapai akurasi 97,1 persen dari 15.286 titik sampel plot yang diverifikasi di sejumlah lokasi. Terkait hasil yang berbeda antara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia lewat Kemenhut dibandingkan organisasi atau lembaga lain, Agus menyebut bahwa kemungkinan terjadi karena perbedaan metode.
"Metodenya beda, pasti hasilnya beda. Kecuali kalau metodenya sama, hasilnya berbeda, itu yang tidak boleh. Jadi kalau metodenya berbeda, ya pasti hasilnya berbeda," pungkas Agus.
Advertisement
