Kebakaran Riau, Antara Faktor Alam dan Manusia

Faktor alam selalu disalahkan. Pemerintah selaku pengemban kebijakan pun memiliki 'kedekatan' dengan pelaku usaha perkebunan lahan di Riau.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 01 Mar 2014, 00:10 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2014, 00:10 WIB
Kebakaran Riau
(Liputan6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Jumat dini hari kobaran api melalap habis deretan kios dan hunian warga di Pekanbaru, Riau, ketika regu pemadam kebakaran tiba. Karena tidak mengantongi nomor telepon pemadam kebakaran, warga harus menempuh jarak 30 kilometer untuk melaporkan kebakaran.

11 Unit kios dan puluhan rumah penduduk ludes dilalap si jago merah. Lebih tragis lagi saat api mulai mereda, 7 warga ditemukan tewas di sela-sela puing bangunan. Mereka rata-rata tertidur hingga terjebak dalam kobaran api yang membesar sekitar pukul 05.00 WIB.

Zulhazmi, salah satu petugas kebakaran mengaku, saat petugas pemadam kebakaran datang, api sudah menghanguskan bangunan sekitar 70%. Sejauh ini belum diketahui pemicu munculnya api. Akibat kebakaran ini, selain 7 nyawa melayang, belasan keluarga juga kehilangan tempat usaha dan tempat bernaung. Diduga api berkobar sangat cepat karena cuaca kering serta kencangnya tiupan angin.

Penerbangan Tertunda Hingga Gangguan Ispa

Kebakaran lahan dan hutan di Riau kini meluas. Si jago merah kini melahap rakus ke permukiman warga. Tak hanya membakar lahan dan rumah, kabut asap akibat kebakaran juga meluas hingga ke sejumlah wilayah sekitar Riau, seperti Aceh dan Sumatera Utara. Dari mulai menyebabkan gangguan penerbangan, kesehatan, hingga pendidikan.

Areal hutan di Semenanjung Kampar, Riau ikut terbakar sejak 2 hari terakhir. Padahal kawasan ini sejak 2005 lalu dicadangkan untuk taman suaka margasatwa. Kobaran api telah membakar 1.300 hektar hutan di Taman Nasional Giam, Siak kecil, Bukit Batu, di Kabupaten Bengkalis dan Siak.

Tim pemadam pun kewalahan menjinakkan api. Ini membuat Gubernur Riau, Anas Ma'amun, berkirim surat ke presiden, meminta bantuan personel dan alat-alat untuk membantu pemadaman. Namun, pemerintah pusat justru mengklaim titik panas sudah nol titik.

Kamis, 27 Februari posko penanggulangan kebakaran hutan dan asap, dibuka di Lanud Rusmin Noerjadin Pekanbaru. Tim gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyatakan siap menurunkan pasukan untuk pemadaman darat dan udara. Sepanjang hari itu, kabut asap masih menyelimuti kawasan Riau daratan dan provinsi tetangga, meski sempat mereda untuk beberapa saat.

Udara yang tercemar kabut asap tebal itu membuat seluruh sekolah di Pekanbaru dan di sejumlah kabupaten lain diliburkan. Sementara jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat terpapar kabut asap dilaporkan telah mencapai 25 ribu orang. Hujan lebat turun mengguyur Kota Padang, juga tidak membuat kabut asap yang menyelimuti kota ini memudar. Ketebalan kabut asap justru semakin pekat.

Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Padang, jarak pandang saat ini hanya sekitar 700 meter. Untuk mengantisipasi dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat kabut asap, sejumlah relawan membagikan masker gratis.

Kabut asap sudah 1 bulan menyelimuti Kota Padang, bahkan sudah semua kota kabupaten di Provinsi Sumatera Barat merasakannya. Kabut asap di duga akibat pembakaran hutan yang terjadi di provinsi Riau.

Apa yang ditakutkan masyarakat Riau dari kebakaran lahan dan hutan akhirnya terjadi. Sekitar 70 unit rumah di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, hangus karena api menjalar ke kawasan mereka. Mau tak mau, Warga setempat terpaksa diungsikan ke lokasi aman.

"Ada 100 kepala keluarga (KK) yang diungsikan ke Kecamatan Plangiran. Hal ini dilakukan supaya tidak menimbulkan korban jiwa," kata Kabid Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo SIK mengatakan, Kamis 27 Februari.

Berdasarkan data yang diterima Polda Riau, ada sekitar 300 hektar lahan gambut di Indragiri Hilir yang sangat rawan terbakar. Suhu panas yang tinggi bisa memicu api, kapan saja. Sebagai langkah dini, kepolisian dan pemerintah setempat sudah melakukan rapat koordinasi untuk tindak lanjut berikutnya.

Sejauh ini, sudah ada ratusan hektar lahan terbakar di Kabupaten Indragiri Hilir. Yang terbesar tejadi di kawasan PT Surya Agro Mandiri. Namun penyebab kebakaran masih terus diselidiki.

Tak hanya kebakaran, kabut asap di Indragiri Hilir juga menyebkan kecelakaan di laut. Kapal Marina MV Jojovan Faster II yang berangkat dari Pelabuhan Tungkal tujuan Pelabuhan Sungai Enok, Indragiri Hilir, Riau terhempas.

"Kecelakaan diduga karena kabut asap menyebabkan jarak pandang di laut hanya 25 meter. Tidak ada korban jiwa, karena penumpang bisa diselamatkan penduduk setempat," pungkas Guntur.

Kabut asap di Provinsi Riau juga mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru. Jarak pandang saat ini hanya 800 meter. Akibatnya, ratusan penerbangan dari dan menuju Pekanbaru kerap ditunda sejak beberapa pekan belakangan ini.

"Sekarang jarak pandang menjadi 800 meter. Kalau angka itu bertahan, pendaratan dan keberangkatan belum bisa dilakukan," kata Hasnan Airpot Duty Manager SSK II Hasnan di Pekanbaru, Kamis 27 Februari.

Pesawat Garuda juga harus menginap di Bandara SSK II pada Kamis lalu. Seharusnya sudah berangkat pagi itu. Bahkan, pesawat Air Asia QZ 7582 dari Bandung, Jawa Barat tidak bisa mendarat di Bandara SSK II. Pesawat itu harus mendarat di negeri tetangga, Kuala Lumpur, Malaysia. Hari itu juga penundaan penerbangan juga dilakukan pesawat Garuda GA 171 dari Bandara Kuala Namu, Sumatera Utara, tujuan Pekanbaru.

Kabut asap yang menyelimuti Riau juga melumpuhkan kegiatan belajar mengajar. Beberapa kabupaten/kota seperti Pelalawan, Kampar, Bengkalis, dan Indragiri Hulu meliburkan kegiatan sekolah.

Terakhir, Kota Pekanbaru sejak kabut asap ditetapkan sebagai Keadaan Luar Biasa (KLB) di Riau, terpaksa meliburkan aktivitas belajar-mengajar. "Libur dimulai Kamis besok sampai Sabtu mendatang. Dan akan diperpanjang kalau kabut asap masih pekat," jelas Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Zulfadil, Rabu 26 Februari.

Semua sekolah diliburkan, mulai dari PAUD, TK, SD, MI, SMP, MTS, SMA, hingga SMK. Keputusan meliburkan sekolah, diambil setelah Disdik menggelar rapat gabungan bersama seluruh kepala sekolah yang ada di Pekanbaru.

Pun begitu, masih ada beberapa sekolah yang tidak diliburkan. Ada 5 SMK yang tidak libur karena mengikuti ujian kompetensi keahlian. "Jadwal ujiannya tidak bisa diubah lagi," ungkap Zulfadil.

Sekolah dengan sistem boarding atau yang diasramakan juga termasuk pengecualian. "Misalnya SMP Plus, Sekolah Pertanian, Sekolah Kehutanan. Menurut masukan kepala sekolahnya, aktivitas siswa lebih aman di kelas dari pada asrama," ujar Zulfadil.

Seorang orang tua murid di salah satu SMP Pekanbaru, Riki Hariadi, mengaku senang dengan diliburkannya sekolah di Pekanbaru. Namun, Riki juga mengharapkan ada tugas atau PR yang diberikan guru. Supaya, pelajaran anak didik tidak ketinggalan dan murid ada kegiatan di rumah. "Kabut asap makin pekat. Saya khawatir anak akan sakit. Kan lebih baik libur," imbuhnya.

Kepulan kabut asap juga meluas ke Taman Suaka Margasatwa, Giam Siak Kecil, Bukit Batu, Riau. Dari luas areal 100.000 ha, kini sekitar 1.200ha hangus terbakar. Kobaran api juga bahkan semakin meluas.

Angin dan cuaca kering semakin memperburuk kondisi. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit diduga menjadi latar belakang terbakarnya taman suaka itu. Pemerintah Daerah Riau menyatakan, 7 dari 12 kabupaten dan kota di provinsi itu tengah menghadapi kasus pembakaran lahan serius.

Sementara itu, di kota Jambi terlihat kabut asap tipis. Kabut asap tipis tersebut berasal dari kebakaran lahan gambut terjadi di Desa Nalo Tantan, Muaro Jambi, Jambi. Lahan gambut kosong seluas 1 ha terbakar dan asap mengepul. Walaupun tak terlihat secara kasat mata, luas lahan yang terbakar terus bertambah. Meski demikian, tak tampak petugas yang memadamkan api.

Sejak awal Februari 2014 tercatat sebanyak 5.857 hektar lahan terbakar. Lahan yang paling luas terbakar terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti dan Pelalawan. Di Meranti, sekitar 2.900 hektar lahan terbakar. Di Pelalawan ada sekitar 2.000 lebih hektar lahan terbakar. Sedangkan sisanya terjadi di Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Pekanbaru, Kampar dan Rokan Hulu.

Sementara Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga Rabu 26 Februari lalu menyatakan, jumlah penderita ISPA mencapai 22.000 orang. Angka penderita ISPA tak bisa dibendung, meski sekolah telah diliburkan. Musim kemarau panjang dan tiupan angin memicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan akibat land clearing sebelum penanaman sawit.

Berdasarkan pengamatan dari Satelit Terra dan Aqua, jumlah titik api mencapai 1.000 titik. Hal itu sudah melebihi jumlah titik api dalam bencana serupa. 7 dari 12 kabupaten dan kota di Provinsi Riau kewalahan. Meluasnya pembakaran lahan dan hutan membuat tingkat pencemaran udara terus memburuk.


Sementara itu, kabut asap akibat kebakaran lahan perkebunan dan kiriman asap dari Provinsi Riau yang menyelimuti wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara, sejak 3 pekan terakhir mulai mengganggu sistem pernafasan dan jarak pandang warga.

Jalan Negara sudah mulai tidak terlihat jelas pada jarak 1 km. Ketebalan kabut asap berdasarkan data dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup mencapai 31% dari ambang batas normal. Hal itu mulai membuat keadaan semakin mengkhawatirkan.

Di Aceh Jaya, kabut asap diduga bersumber dari kebakaran puluhan hektare lahan gambut di kawasan Kayee Lhon, Kecamatan Teunom. "Kalau pagi dan malam itu asapnya tebal sekali, bisa mengganggu jarak pandang. Kita hanya bisa melihat dalam jarak 100 meter," kata Teuku Munawar, warga Desa Padang Kleng, Aceh Jaya, Senin 17 Februari.

Kebakran ini terjadi sejak beberapa hari lalu. Asap tidak hanya menyelimuti Kecamatan Teunom, namun sampai ke wilayah Lamno (Kecamatan Jaya), Panga, dan Meulaboh. Petugas Pemadam Kebakaran Pos Teunom terus berupaya keras memadamkan api di kawasan lahan gambut yang terletak di pinggir ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh itu.

Di sejumlah bagian lahan gambut, masih terlihat titik api. "Masih sangat berkabut," kata staf Humas Pemkab Aceh Jaya, Hendra. "Kami berharap para pengguna jalan raya untuk berhati-hati karena jarak pandang sangat terbatas."

Menurut Hendra, petugas pemadam kebakaran kesulitan dalam memadamkan titik api. "Mereka tidak bisa masuk karena rawa-rawa," ujarnya.

Saat ini, Dinas Kesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Aceh Jaya membagi-bagikan 900 unit masker kepada warga dan para pengguna jalan.

Satelit NOAA 18 milik Singapura sejak Selasa 11 Februari hingga Kamis 13 Februari mencatat sebanyak 75 titik api di berbagai wilayah di Aceh. Antara lain Nagan Raya 11 titik, Aceh Selatan dan Aceh Barat 10 titik, Singkil 23 titik, Aceh Timur 1 titik, Gunung Meriah dan beberapa wilayah lainnya.

Penanganan Lamban

Diduga koordinasi yang buruk antara Pemerintah Provinsi Riau dengan pemerintahan di kabupaten dan kotanya membuat penanganan bencana kabut asap akibat kebakaran lahan yang telah terjadi selama 3 minggu belakangan ini semakin lambat. Akibat lambatnya penanganan, sejumlah titik kebakaran baru bermunculan di mana-mana.

Hingga hari ini, 7 kabupaten telah menyatakan daerahnya dalam situasi KLB akibat kebakaran lahan. Minimnya peralatan serta intensitas hujan yang rendah membuat proses pemadaman api semakin sulit dilakukan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Riau dengan cara bom air yang dijatuhkan dari pesawat. Cara ini hampir sama dengan tahun sebelumnya dan dinilai efektif mengendalikan api.

"Akan ada pesawat yang melakukan pemadaman dengan cara bom air," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo di Pekanbaru, Riau, Rabu 26 Ferbuari.

Pemadaman api dilakukan di darat dan udara. Untuk Darat, BNPB bekerjasama dengan TNI, pemerintahan kabupaten/kota dan Pemprov Riau. Mneurut  Sutopo, kabut adap karena kebakaran hutan dan lahan di Riau akan berlangsung selama musim kemarau.

"Di 9 provinsi lainnya di juga akan terjadi hal serupa. Yaitu, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Kalimatan Utara," ungkap Sutopo.

Kabut asap diprediksi Sutopo akan kembali muncul April dan November mendatang. Puncaknya terjadi pada September dan Oktober. Sama seperti tahun sebelumnya. Berdasarkan pantauan satelit pada 25 Februari masih banyak titik disejumlah daerah di Riau.

"Sampai saat ini kita masih berusaha menyewa pesawat untuk melakukan operasi udara ini," kata Sutopo.

Namun Sutopo belum bisa memastikan kapan operasi pengeboman air dari udara itu dilakukan. Karena, pihaknya harus berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti TNI, dan Pemerintah Provinsi Riau. "Waktunya belum bisa kita pastikan kapan, karena harus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Tapi secepatnya akan kita lakukan," pungkasnya.

Sementara Pemerintahan Provinsi Riau berencana mendatangkan 2 helikopter dari Jakarta untuk menjinakkan kebakaran hutan dan lahan. Permintaan sudah disampaikan ke BNPB.

"Pukul 14.00 WIB, Pemprov Riau akan mengadakan rapat dengan BNPB terkait permintaan bantuan helikopter dan pesawat," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Said Aklul di Pekanbaru, Rabu 26 Febrauri.

Pemprov Riau akan menggunakan beberapa sistem pemadaman. Melalui darat akan digunakan mobil pemadaman kebakaran dan dari udara menggunakan helikopter dan pesawat. Tak hanya helikopter, Pemprov Riau juga berharap pemerintah pusat mengirimkan pesawat. Kini Pemprov Riau sudah bisa menggunakan anggaran bencana Rp 10 miliar yang bersumber dari APBD Riau 2014 dengan KLB.

"Nanti, anggaran ini digunakan untuk pemadaman api. Termasuk membiayai operasional helikopter dan pesawat yang dikirimkan," ujar Gubernur Riau Annas Maamun.

Bentuk `Satgas Kebakaran Hutan`

Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi untuk menanggulangi bencana kabut asap dengan cepat di wilayah Riau, langsung ditanggapi Gubernur Riau Annas Ma'mun. Gubernur yang baru dilantik itu langsung membentuk Satuan Tugas (Satgas) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

"Satgas ini tidak hanya untuk tahun ini. Ke depannya akan dipakai juga. Sebab, kabut asap akibat Karhutla sudah menjadi langganan Riau tiap tahunnya," kata Annas di Pekanbaru, Jum'at 21 Febrauri.

Annas menjelaskan, karena satgas tersebut bersifat tetap, maka dirinya berencana merekrut tenaga honorer sebagai anggota Satgas. "Dinas terkait seperti Dinas Sosial, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), polisi dan relawan juga diikutkan," jelasnya.

Satgas yang dibentuknya tersebut akan segera bekerja dengan 2 cara pemadaman yang akan dilakukan. "Pertama melalui udara dengan cara bom air. Kedua melalui darat dengan memanfaatkan alat pemadaman kebakaran dari BPBD dan Dinas Kebakaran yang ada," terangnya.

Selama Februari ini, Satelit Terra dan Aqua sudah mendeteksi 3.861 titik api di Riau. Menurut Analis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jum'at 21 Febrauri, stasiun Pekanbaru Ibnu Amiruddi terdapat 169 titik api. Jumlah ini meningkat tajam dari hari sebelumnya, yaitu 70 titik api.

Di Kabupaten Bengkalis ada 88 titik api, Kepulauan Meranti 30 titik api, Pelalawan 17 titik api, Indragiri Hilir 16 titik api, Siak 9 titik api, Rokan Hilir 6 titik api, dan Dumai 3 titik api.

Penindakkan

Polda Riau melalui jajarannya di Polres Kota Dumai kembali menangkap 1 pembakar lahan. Tersangka berinisial RS (49), ketangkap basah sedang membakar lahan di Jalan Merdeka Kelurahan Teluk Binjai, Kecamatan Dumai Timur. Sehingga menjadi 25 orang.

2 Dari 25 tersangka itu ditangkap di Kabupaten Indragiri Hilir, 1 tersangka di Pekanbaru, Kabupaten Siak 1 tersangka, Pelelawan 4 tersangka, Bengkalis 8 tersangka, Rokan Hilir 5 tersangka, Kepualauan Meranti 2 tersangka, dan Dumai 1 tersangka.

Tersangka yang ditetapkan, dijerat dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan dan Perusakan Hutan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Kemudian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman 10 tahun penjara. Namun hingga kini belum ada tersangka dari pihak perusahaan.

"Dari semuanya, belum ada pihak perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka. Keterlibatan perusahaan yang diduga sengaja membakar lahan masih didalami dengan memeriksa saksi," kata Kabid Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo di Pekanbaru, Riau, Senin 24 Febrauri.

Terkait keterlibatan perusahaan, Guntur mengaku, ada masyarakat yang melaporkan keterlibatan PT Nasional Sago Prima (NSP) ke Polda Riau. "Yang melaporkan adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau. Laporan dibuat pekan lalu," terang Guntur.

Dalam laporannya itu, Walhi menyebut PT NSP terlibat membakar lahan di Kepulauan Meranti. Ada ratusan hektare lahan yang sengaja dibakar dan kian meluas sampai sekarang.

Humas PT NSP Setia Budi saat dikonfirmasi langsung membantah perusahaannya sengaja membakar lahan. "Nggak mungkin kami bakar lahan sendiri karena itu merugikan perusahaan," sebutnya.

Setia mengakui, kebakaran di Meranti memang paling luas terjadi di lahannya. "Awalnya berawal dari lahan masyarakat dan menyebar ke lahan kami," tegas Setia.

Penyebab

Masalah kebakaran di Riau dan wilayah lainnya di kawasan tanah air selalu terjadi. Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad menilai banyak faktor penyebab kebakaran lahan di Riau. Namun jika dilihat fakta di lapangan secara umum, sebelum ada lahan perusahaan untuk perkebunan, sangat jarang terjadi kebakaran besar.

"Dan yang selalu disalahkan alam atau petani kecil di lokasi kebakaran. Padahal kalau dilihat permasalahannya, sebelum ada lahan perusahaan kebakaran besar jarang terjadi," ujar Chalid saat dihubungi Liputan6.com, Jumat 28 Febrauri.

"Itu membuktikan bahwa penyebab kebakaran bukan alam yang menjadi faktor utama. Jadi kesalahan kebijakan dan praktik manusia," sambungnya.

Faktor lain, adanya konversi kawasan gambut menjadi kawasan perkebunan sawit, maka genangan ari yang harusnya di lahan gambut, menjadi kering. "Sehingga rentan terjadi kebakaran," ujar Chalid.

Andaikan pemerintah tak mengizinkan konversi kawasan gambut dan tetap dipertahankan fungsi airnya, maka peluang terjadi kebakaran relatif kecil. Walhi melihat ini akibat kesalahan kebijakan, karena terlalu besar lahan gambut menjadi lahan sawit.

"Kedua, terjadi pemaafan ketika terjadi kebakaran di lahan perusahaan, membuat perusahaan menjadi menjadi tak harti-hati atau malah memunginkan terjadi kesengajaan. Karena dengan membuka lahan dengan membakar akan lebih murah atau menyuburkan tanah, sehingga irit pupuk. Ini menjadi kesalahan," papar Chalid.

Pemerintah bisa juga mewajibkan perusahaan menjaga lahan dari kebakaran di dalam perizinan. Dengan begitu jika terjadi kebakaran di lokasi perizinan pemerintah dapat membekukan izin tersebut. "Atau pemimpinnya dibawa ke ranah hukum dan gunakan pembuktian terbalik. Maka saya percaya betul peluang kebakaran akan kecil. Dan juga menyiapkan unit pemadaman."

"Artinya, kalau ada upaya sungguh-sungguh dan tidak ada beck-up politik terhadap perusahaan yang diberikan izin dari Jakarta, persoalan akan membantu untuk menurunkan kebakaran di wilayah Riau," tegasnya.

Maka itu solusi utama masalah tesebut menurut Chalid, pertama mengoreksi kebijakan. Termasuk menghentikan konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan perusahaan. Kedua, perjanjian saat terjadi kebakaran disengaja oleh perusahaan, maka izin harus dibekukan dan ditindak secara hukum. "Ketiga, hentikan bencking yang selam ini selalu didapatkan perusahaan."

"Tapi masalahnya elit pemerintah pusat dan daerah sama-sama sangat dekat dengan pelaku usaha untuk memperbesar wilayahnya. Bahkan, cenderung merusak. Pelaku dunia usaha sering diberikan insentif. Jutaan hektar diberikan kepada perusahaan tapi apa untungnya buat rakyat di sekitarnya?" tegasnya.

Cholid melihat, jika dibandingkan dengan keuntungan perusahaan perkebunan di sekitar Riau, masyarakat di sekitar jauh dirugikan. Lahan perkebunan warga hilang, mereka menjadi buruh perkebunan. Keuntungan jauh didapat pihak perusahaan ketimbang warga.

"Berapa persen angka kemiskinan? saya kira banyak. Berapa keuntungan perusahaan? kesejahteraan rakyat diberikan kepada perusahaan melalui negara," sindirnya.

Pembuktian terbalik bagi perusahaan dalam penindakan hukum akan jauh lebih efektif. Namun jika penindakan masih menggunakan hukum pidana, perusahaan akan sangat jarang terjerat hukum. Karena pembuktian akan mengedepankan bukti materil. "Semua tidak akan mengaku melakukan pembakaran."

"Kalau hukum pidana, misalnya membuang puntung rokok menyebabkan kebakaran hingga api menjalar dari lahan permukiman warga ke lahan perkebunan perusahaan itu bukti materilnya, perushaan akan menang argumentasinya. Bahwa betul global warming, tapi kalau tidak ada pembukaan lahan besar-besaran tidak mungkin kebakaran akan sebesar itu," pungkas Chalid.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya