Pengamat Nilai Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Rokok Bisa Jadi Angin Segar bagi Ilegal

Penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai rokok dinilai berpotensi menyuburkan rokok ilegal. Hal tersebut disampaikan Akademisi UNPAD Wawan Hermawan.

oleh Tim News diperbarui 20 Jul 2024, 11:31 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2024, 19:35 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

 

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui dokumen Kebijakan Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) tahun 2025 mencantumkan rencana untuk melakukan intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), salah satunya melalui penyederhanaan layer.

Penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai rokok dinilai berpotensi menyuburkan rokok ilegal. Hal tersebut disampaikan Akademisi UNPAD Wawan Hermawan.

"Penyederhanaan tarif cukai ini akan membuat konsumen yang terbebani dengan kenaikan harga ini berpotensi lari ke pasar rokok ilegal," ujar Wawan melalui keterangan tertulis, Jumat (19/7/2024).

Menurut dia, penyederhanaan tarif cukai ini akan membuat produsen besar mendominasi pasar, sehingga hanya rokok dengan harga yang relatif mahal saja yang akan tersedia.

"Harga rokok (legal) dari Rp25.000-Rp30.000 dibanding (rokok ilegal) yang Ro10.000-Rp15.000 sangat menurunkan minat terhadap rokok legal. Jadi, merokok rokok legal menjadi suatu kemewahan bagi kalangan bawah atau 40 persen masyarakat dengan pendapatan terendah," ucap Wawan.

Dia mengatakan, dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan mereka, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi rokok ilegal maupun sigaret kretek tangan (SKT).

Wawan menyampaikan, kumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan menengah tinggi.

"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Ini di-drive oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," papar Wawan.

 

Data Rokok Ilegal

Ilustrasi Rokok
Ilustrasi Rokok. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Terkait data rokok ilegal, survei yang dilakukan oleh Indodata selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indodata Danis TS Wahidin menjelaskan, survei tersebut dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok. Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal," kata Danis.

Danis juga menambahkan, jika konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp53,18 triliun.

Temuan tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk memberikan dukungan lebih kepada industri rokok rumahan serta memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," ucap Danis.

"Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, masalah ini dapat diatasi secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat," tutup dia.

Infografis: Redam Kanker dengan Cukai Rokok (Liputan6.com / Abdillah)
(Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya