Liputan6.com, Jakarta - Puluhan tukang ojek yang tergabung dalam Front Transportasi Jakarta (FrontJak) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Balaikota, Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.
Para tukang ojek yang biasa 'mangkal' di sekitar Stasiun Gambir dan Jalan Djuanda itu mendesak Gubernur Ahok untuk mencabut larangan sepeda motor melintas di kawasan bundaran HI-Jalan Medan Merdeka Barat.
Koordinator unjuk rasa bernama Babak menilai, alasan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan aturan tersebut demi menekan angka kecelakaan merupakan suatu bentuk kebohongan. Menurut dia, kawasan Jakarta Pusat selama ini merupakan wilayah dengan tingkat kecelakaan terendah dibanding wilayah-wilayah lainnya di Ibukota.
"Dan ini sebenarnya bukan solusi mengatasi kemacetan. Semua yang diucapkan Ahok bohong semua," ucap dia di lokasi, Jakarta, Senin (22/12/2014).
"Jakarta Pusat justru kecelakaannya paling rendah. Kebijakan Pemprov DKI itu hanya memindahkan kemacetan dari jalan protokol ke jalan-jalan alternatif, jalan tikus justru makin macet," imbuh dia.
Selanjutnya: Motif Bisnis?
Advertisement
Motif Bisnis
Motif Bisnis
Babak dan rekan-rekannya sesama tukang ojek pun menduga, ada motif bisnis di balik penerapan aturan jalur 'haram' motor itu. Motif yang dimaksud, yaitu adanya kesepakatan bisnis yang dilakukan antara Pemprov DKI Jakarta dengan para pengelola parkir di 12 titik yang dikelola oleh pihak swasta.
"Ingat teman-teman, kerjasama ini terjadi di bawah tangan, omzetnya itu miliaran per hari dengan pihak swasta dan akan dilakukan dengan sistem revenue sharing (bagi untung)," tutur dia.
12 lahan parkir yang dimaksud, yaitu lahan parkir Carefour Duta Merlin, Menara BDN, gedung Jaya, Skyline Building, Gedung Sarinah, Gedung BII, Gedung Kosgoro, Plaza Permata, Gedung Oil, Wisma Nusantara, Grand Indonesia, dan Lapangan IRTI Monas.
‎Dia pun menilai, penerapan aturan tersebut hanya menguntungkan 12 pengelola jasa parkir swasta tersebut. Dilihat dari besaran biaya parkir perjam yang dikenakan, jelas sangat menguntungkan bila ribuan pengguna motor memarkirkan kendaraan ke lahan-lahan parkir tersebut.
"Hitungan per jam Rp 2 ribu, kita kalikan 8 jam kerja ditambah 1 jam pulang sama dengan 10 jam kali Rp 2 ribu kali dengan asumsi 5 ribu pengendara motor perhari sama dengan Rp 100 juta. Jelas sekali ini menjadi pundi-pundi baru keuntungan dari hasi kebijakan publik," ucap dia.
Pendapatan Turun
Selain itu, Babak mengatakan, tidak hanya merugikan warga pengguna motor, kebijakan tersebut membuat pendapat para tukang ojek yang kebanyakan warga menengah ke bawah turun drastis.
"Yang beli mobil makin banyak, berani nggak Ahok larang mobil melintas, kenapa justru motor yang dilarang lewat, yang ada justru bensin makin naik, tukang ojek makin tersiksa," keluh dia.
Selain orasi, para tukang ojek ini juga membentangkan berbagai macam spanduk penolakan yang berisi tuntutan. Beberapa di antaranya bertuliskan 'Batalkan Perda Sepeda Motor!', 'Hei Pemprov DKI, Ini jalan negara, bukan jalan Pemprov!'.
Setelah 1 jam berunjukrasa, 5 perwakilan tukang ojek pun dipersilakan untuk bertemu pejabat Pemprov DKI Jakarta yang terkait dengan kebijakan tersebut. Mereka pun dipersilakan masuk dan menyampaikan berbagai aspirasi dan penolakan terhadap larangan motor lintasi bundaran HI tersebut. (Ndy/Mut)
Advertisement