Menkumham: SEMA Soal Peninjauan Kembali Tak Bisa Jadi Acuan

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie membenarkan SEMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 09 Jan 2015, 22:23 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2015, 22:23 WIB
Yasonna Laoly
Yasonna Laoly (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa diajukan satu kali, tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menangani perkara.

"SEMA tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menangani perkara. Hal ini karena SEMA hanya imbauan yang berlaku bagi internal MA," ujar Yasonna di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat (9/1/2015).

Menurut dia, MA harus mengganti SEMA dengan Peraturan MA (Perma) lantaran bisa berlaku di semua lembaga penegak hukum.

Akan tetapi, lanjut Yassona, MA menyatakan tidak bisa menerbitkan Perma lantaran kewenangannya untuk membatasi PK hanya satu kali sudah diwadahi oleh Undang-undang (UU) MA dan Kekuasaan Kehakiman.

"Soal Perma, MA mengatakan lebih bagus janganlah, karena kami (MA) sudah punya peraturan sendiri. Dalam perundang-undangan Kekuasaan Kehakiman, PK itu kan satu kali. Di UU MA juga satu kali," jelas dia.

Yassona menuturkan, terdapat kewajiban bagi MA untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PK yang bisa diajukan berkali-kali. Untuk itu, dia mengatakan pemerintah akan membuat PP agar pengajuan PK harus memenuhi syarat secara ketat.

Di tempat yang sama, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie membenarkan SEMA tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga, perlu ada aturan yang bisa dipakai oleh semua lembaga penegak hukum.

"SEMA memang bukan peraturan. Hanya petunjuk bagi hakim. Wajar hakim harus memperhatikan itu. Semua penegak hukum harus tunduk pada PP," jelas dia.

Ketua DKPP yang diminta pandangannya itu pun menerangkan penerbitan SEMA merupakan bentuk pelanggaran MA atas perintah UU dan bukan penentangan terhadap putusan MK. Sehingga, MA sudah seharusnya menjalankan UU meski sudah dibatalkan oleh MK.

"Itu tugas pelaksana UU (MA), hanya menjalankan UU. Jangan disebut pelaksanaan putusan MK, tapi UU," tandas Jimly. (Mvi/Ado)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya