Liputan6.com, Jakarta - Cerita hidup Rani Andriani sungguh menjadi pelajaran berharga. Nyawa sang terpidana kasus narkoba berakhir dalam eksekusi mati yang berlangsung pagi buta di sebuah pulau terpencil, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Tak ada yang menyangka. Padahal Rani muda dikenal sosok yang taat beribadah dan mudah bergaul. Dia juga sering terlibat dalam kegiatan di lingkungan rumahnya. Rani sempat tercatat sebagai pengurus Karang Taruna dan remaja masjid.
Namun, garis hidup Rani berubah sejak dia ikut jaringan peredaran narkotika yang dikendalikan sepupunya, Meirika Franola alias Ola. Selain Rani, sepupunya yang lain, Deni Setia Marhawan alias Rafi Muhammed Majid, juga terlibat.
Pada 12 Januari 2000 lalu, tiga bersaudara ini ditangkap di Bandara Soetta, Tangerang, Banten. Saat itu mereka hendak menyelundupkan 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain ke London, Inggris. Karena kasus ini, pada 22 Agustus 2000, mereka divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim PN Tangerang.
Rani cuma kurir, namun nasibnya jauh berbeda dengan sepupunya Ola dan Deni. Ola yang disebut sebagai salah satu pengendali jaringan pengedar narkoba pada 2011 mendapatkan grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu juga Deni, yang sebelum mendekam di jeruji besi merupakan seorang lurah. Ola mendapatkan hukuman seumur hidup pada 2011, kemudian disusul Deni pada tahun berikutnya.
Sementara permohonan grasi Rani baru diputus pada era Presiden Jokowi. Namun usaha terakhirnya untuk menghindari hukuman mati itu kandas lantaran sang Presiden menolak permohonannya.
"Saya yakin Rani tidak tahu barang apa yang dibawanya bersama Ola dan Deni itu," ujar Tuti (56), bibi Rani, usai pemakaman di Cianjur, Jawa Barat, Minggu 18 Januari 2015.
Tuti lalu mengusap air matanya. "Saya tahu persis Rani pergi ke luar negeri untuk membawa narkoba itu atas ajakan Ola dan Deni, namun keduanya mendapat grasi. Sedangkan keponakan saya Rani tidak."
Sejak Rani terbelit hukum, hidup keluarganya juga turut berubah. Sang ayah, Andi, terus berupaya membebaskan anak pertamanya itu dari jeratan hukuman mati.
Advertisement
Dia terpaksa menjual rumah miliknya di Gang Edi II Cianjur untuk membayar sejumlah pengacara. Namun usahanya tak membuahkan hasil. Rani tetap dieksekusi mati pada 18 Januari 2015.
Selanjutnya: Gerimis Itu...
Gerimis Itu...
Gerimis Itu...
Hingga hari eksekusinya, Rani tak pernah ketinggalan melaksanakan salat taubat. Lafal doa-doa juga selalu diucapnya. Di detik-detik terakhir hidupnya, dia terlihat ikhlas dan pasrah.
Hal ini diceritakan Hasan Makarim, rohaniwan yang mendampingi Rani di detik-detik terakhir hidupnya. Dia mengaku bangga melihat ketegaran Rani. Hasan pun berdoa agar segala tobat dan amal ibadah Rani diterima Allah SWT.Â
"Insya Allah Rani khusnul khotimah. Ya saya banyak berdoa khusus buatnya," kata Hasan.
Seperti permintaan terakhir Rani, dari Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tubuhnya yang telah terbujur kaku pun dibawa ke tanah kelahirannya di Cianjur, Jawa Barat untuk dimakamkan di samping pusara ibunda.
Mobil jenazah berhenti. Dari dalamnya, jasad Rani dikeluarkan untuk dimandikan dan disalati di masjid setempat. Setelah rampung, Rani kemudian dimakamkan di bawah rintik gerimis. Meski begitu, gerimis tak menyurutkan niat 2 ribu orang untuk tetap hadir dalam pemakaman Rani. (Ndy/Sun)
Advertisement