Kisah Sunan Gunung Jati dan Wihara Avalokiteswara Banten

Ada peran ulama bernama asli Syarif Hidayatullah terkait keberadaan wihara yang dibangun pada 1952 itu.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 19 Feb 2015, 20:02 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2015, 20:02 WIB
Wihara Avalokiteswara Banten
Wihara Avalokiteswara di Banten. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Liputan6.com, Serang - Masyarakat Tionghoa di Banten merayakan Imlek di Wihara Avalokiteswara. Mereka datang untuk berdoa dan sembahyang.

Wihara yang terletak di dekat Masjid Agung Banten Lama ini ternyata menyimpan sejarah tentang Sunan Gunung Jati. Ada peran ulama bernama asli Syarif Hidayatullah terkait keberadaan wihara yang dibangun pada 1952 itu.

Humas Vihara Avalokitesvara, Asaji Manggala Putra menuturkan, perdagangan Kesultanan Banten kala itu mengalami kemajuan pesat melalui Pelabuhan Karangantu. Hal ini pun mengundang para saudagar dari berbagai negara untuk datang ke Banten.

Para saudagar berasal dari Tionghoa, Arab, dan Eropa. Sehingga, menjadikan Banten waktu itu sebagai pusat perdagangan yang bercirikan masyarakat kosmopolitan. Salah seorang saudagar yang berlabuh di Banten adalah Putri Ong Tin Nio dari China.

"Putri Ong Tien Nio bersama para anak buah kapal waktu itu memutuskan untuk bermalam di Pamarica, karena saat itu daerah sini (Banten) banyak merica," kata Asaji Manggala Putra saat ditemui di ruangannya, Kamis (19/2/2015).

Alasan Putri Ing Tien Nio bermalam Pamarica karena persediaan di kapal yang semakin menipis. Bekal itu digunakan untuk melanjutkan perjalanan dari China menuju Surabaya.

Setelah menginap beberapa hari, ternyata sang putri merasa betah untuk tinggal di Banten. Namun, kedatangannya membuat beberapa warga sekitar merasa terganggu dan resah. "Karena dianggap ancaman merusak tradisi dan kepercayaan masyarakat," terang Asaji.

Akibatnya, hal ini membuat pergesekan semakin memanas. Ditambah dibangunnya wihara yang pada awalnya berada di bekas kantor bea (douane) yang digunakan untuk sembahyang warga Tionghoa.

Kehadiran wihara ini kian membuat masyarakat di Banten gerah dan ingin mengusir warga Tionghoa karena dinilai bisa merusak keimanan masyarakat Islam waktu itu.

"Dari situlah figur Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mengambil perannya dengan melakukan mediasi antara warga dengan Sang Putri," jelas Asaji.

Putri Ong Tien Nio Masuk Islam

Sunan Gunung Jati menegur keras masyarakat Banten karena tidak ada paksaan dalam beragama. Khususnya memaksa warga pendatang harus memeluk Islam. Hingga akhirnya, Sunan Gunung Jati bertemu Putri Ong Tien Nio dan menawarkan untuk memeluk Islam tanpa ada paksaan.

Bahkan salah seorang pengawal Sunan Gunung Jati menyarankan Putri Ong untuk masuk Islam dan menikah dengan sang Sunan agar masyarakat setempat bisa menghormati sang Putri.

Usai pertemuan tersebut, Putri Ong 'galau' apakah akan menerima tawaran Sunan Gunung Jati untuk memeluk agama baru dan menikah dengannya, atau tidak. Namun begitu, ternyata sang Putri Ong pun menaruh hati pada Sunan Gunung Jati.

Sehingga pada suatu hari, Putri Ong dan rombongan pun menyatakan diri memeluk agama Islam yang disaksikan langsung Sunan Gunung Jati.

Guna menyimbolkan persatuan antara 2 agama dan 2 kebudayaan yang berbeda itu, Sunan Gunung Jati membuat Masjid Agung Banten Lama dan wihara yang bernama Avalokitesvara.

"Posisinya yang dekat (wihara dan masjid) menandakan hubungan harmonis antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat yang memeluk Islam," jelas Asaji.

Mengenai kedatangan masyarakat Tionghoa ke Banten terdapat banyak versi, ada yang menyebutkan bahwa mereka datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 masehi.

Pada abad itu, banyak ditemukan perahu China yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada.

Berdasarkan catatan sejarah dari J. P. Coen, banyak perahu China yang membawa dagangan senilai 300 ribu real. Dimana, dalam kelanjutannya, masyarakat China tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan lebih dari 1.300 kepala keluarga.

Vihara Avalokiteswara yang dibangun pada 1952 masehi ini mengalami perpindahan beberapa kali. Pada 1659, wihara ini menempati Loji Belanda, lalu pada 1725 pindah ke sebelah selatan menara Masjid Pecinan Tinggi, baru pada tahun 1774 hingga kini berlokasi di kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. (Ali/Mvi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya