Profesionalitas Polisi Tangani Kasus JIS Memprihatinkan?

Koordinator Kontras Haris Azhar mencontohkan kasus yang mencoreng Polri, seperti dugaan kriminalisasi pimpinan KPK, nenek Asiani, dan JIS.

oleh Oscar Ferri diperbarui 31 Mar 2015, 22:59 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2015, 22:59 WIB
TSK-JIS
TSK-JIS

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan prihatin, dengan indikasi menurunnya profesionalitas Polri dalam penegakan hukum di tanah air. Hal itu semakin terlihat dalam beberapa waktu terakhir muncul sejumlah kasus yang mencoreng kredibilitas kepolisian.

Koordinator Kontras Haris Azhar mencontohkan kasus yang mencoreng Polri, seperti dugaan kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus nenek Asyiani, kasus anggota polisi terindikasi narkoba yang diikat di tiang bendera di Polsek Metro Gambir, dan kasus dugaan kekerasan seksual Jakarta International School (JIS).

"Situasi yang saat ini terjadi sungguh memperihatinkan. Agenda reformasi Polri penting segera dilakukan, terutama pada bagian reserse," ucap Haris, Jakarta, Selasa (31/3/2015).

Kasus JIS, kata Haris, belakangan ditemukan fakta baru dari Rumah Sakit di Singapura, yang menunjukan tidak ada dugaan bekas kekerasan seksual terhadap siswa JIS--yang diklaim menjadi korban oleh 2 guru JIS yang kasusnya kini sudah sampai di pengadilan.

Menurut Hariz, fakta tersebut semakin menambah daftar kejanggalan dalam kasus JIS. Seperti adanya pekerja kebersihan JIS yang meninggal dan diduga disiksa polisi. Namun, polisi tidak menindaklanjuti kejadian tersebut.

Hakim Diminta Fair

Pada kesempatan berbeda, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibun berharap, majelis hakim yang mengadili 2 guru JIS mampu mengungkap kebenaran dan tidak mengabaikan fakta-fakta yang muncul di persidangan. Apalagi, sejak mengikuti kasus JIS dari awal, dirinya melihat bukti-bukti medis menunjukkan tidak ada perlakuan kekerasan kepada anak yang disebut-sebut menjadi korban.

"Saya mengikuti  kasus JIS ini sejak awal, yang melibatkan para pekerja kebersihan dari PT ISS. Belajar dari vonis terhadap para pekerja kebersihan yang tidar fair itu, saya berharap hakim dapat mengungkap kasus ini secara jelas dan gamblang. Bukti-bukti medis yang menunjukkan bahwa anak yang dikatakan korban ternyata tidak mengalami kekerasan seksual," ujar Bara.

Bara menilai, bukti-bukti medis itu merupakan satu fakta penting yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena itu, dia berharap majelis yang menyidangkan tersangka 2 guru JIS ini dapat mempertimbangkan fakta tersebut.

"Jangan sampai guru yang tidak bersalah jadi korban atas dasar prasangka," ujar dia.

Sebagai salah satu orangtua siswa di JIS, Bara menilai, kasus ini sangat aneh. Salah satu contoh adalah besarnya dukungan dari orangtua siswa kepada 2 guru dan pekerja kebersihan yang menjadi korban kriminalisasi ini.

Menurut Bara, besarnya dukungan dalam kasus ini menunjukkan keyakinan kasus yang menimpa 2 guru JIS ini sesungguhnya tidak pernah ada. Apalagi seiring adanya laporan ke polisi, ibu korban berinisial MAK juga menggugat JIS triliunan rupiah atas dugaan adanya kekerasan seksual kepada si anak.

"Orangtua murid tidak punya kepentingan dalam kasus ini. Jika ada sebersit keraguan atas tuduhan ini, pasti semua sudah akan ikut membela si ibu yang mengaku jadi korban. Di sini, yang terjadi malah sebaliknya. Begitu banyak orangtua murid yang mendukung Neil dan Ferdi," kata Bara.

Karena itu, Bara berharap, kasus ini dapat segera terungkap dan hakim dapat meluruskan kesalahan yang terjadi dalam kasus pekerja kebersihan. Ia yakin hukum masih akan berpihak kepada kebenaran, bukan opini publik.

"Hakim harus berani untuk memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti yang dipresentasikan di pengadilan. Sangat jelas bukti-bukti itu sangat lemah dan justru membuktikan para terdakwa tidak bersalah," kata Bara.

Sejumlah fakta medis dalam kasus ini menyebutkan, kekerasan seksual tidak pernah terjadi. Yang terbaru adalah hasil laporan dari KK Women's and Children,s Hospital Singapura, yang sudah dilengkapi dengan dokumen asli putusan High Court of Singapore pada 11 Februari 2015. Dalam laporannya, pihak rumah sakit menyebutkan kondisi bocah AL normal dan tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai korban kekerasan seksual.  

Fakta medis berikutnya berdasarkan keterangan Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di persidangan, yang dihadirkan sebagai ahli. Menurut Lufti, MAK atau anak pertama yang mengaku korban kekerasan seksual tidak pernah mengidap penyakit herpes. Laporan adanya nanah di tubuh MAK bukan disebabkan virus, melainkan diduga bakteri.

Lutfi juga menyatakan, hasil pemeriksaan UGD yang digunakan ibu MAK untuk melaporkan kasus dugaan kekerasan seksual anaknya ke polisi, baru pemeriksaan awal. Untuk menentukan ada tidaknya dugaan kekerasan seksual, harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, dan hal itu tidak pernah dilakukan ibu MAK. (Rmn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya