Menelusuri 'Jejak Terakhir' WNI di Nepal

3 WNI masih dinyatakan hilang di Nepal. Lainnya selamat meski menghadapi hujan batu dan terancam jatuh ke jurang.

oleh Nadya IsnaeniKukuh SaokaniThariq GibranAndreas Gerry TuwoReza Efendi diperbarui 04 Mei 2015, 23:22 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2015, 23:22 WIB
Ilustrasi lipsus gempa Nepal
Ilustrasi gempa Nepal

Liputan6.com, Jakarta - Dengan logat Medan yang kental, Ahmad Taufan Damanik, bercerita. Suaranya berapi-api, begitu bersemangat mengisahkan pengalamannya terjebak gempa dahsyat di Nepal.

Kisah Taufan, nama panggilannya, bermula saat keberangkatannya ke Nepal, negeri tempat 8 puncak tertinggi Dunia berada. Dari Medan, Sumatera Utara, ia bertolak ke kaki Himalaya sejak 19 April 2015, untuk menjadi wakil Indonesia di ASEAN Commision on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC).

Hari-hari di sana dihabiskan dengan tenang. Hingga tiba saatnya untuk menikmati keindahan Nepal pada 25 April 2015. Siapa sangka, gempa 7,9 skala Richter mengguncang Bumi yang tengah dipijaknya.

Kala itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) tersebut berada di Pokhara -- kota terbesar kedua di Nepal.

Pagi itu Taufan berjalan-jalan santai dengan sang istri, Sri Eni Purnamawati. Setelah puas, mereka memutuskan kembali ke penginapan dengan menaiki mobil sewaan. Namun dalam perjalanan, pasangan suami-istri ini dibuat panik oleh tingkah polah orang-orang di jalan.

Ternyata gempa sedang mengguncang…

(Reza Perdana/Liputan6.com)

“Di tengah jalan saya lihat kok ada orang-orang berlarian, teriak-teriak, sempat panik juga. Saya dan istri memutuskan untuk keluar mobil,” cerita Taufan kepada Liputan6.com di Medan, Sumatera Utara, Jumat 1 Mei 2015.

“Dan ternyata ada gempa, saat itu saya lihat tiang-tiang bergoyang,” imbuh dia.

Namun pasangan suami-istri ini tetap tenang melihat gejala-gejala alam tersebut. Mereka sudah terbiasa menghadapi gempa di Tanah Air.

“Secara pribadi saya cukup merasa tenang karena di Indonesia saya juga sudah beberapa kali merasakan gempa dan tidak begitu terkejut,” ujar Taufan.

Yang tak mereka sadari, lindu 7,9 skala Richter baru saja meluluhlantakkan Nepal. Ribuan nyawa melayang dan belasan ribu lainnya luka-luka. Pusat gempa terletak sekitar 50 km sebelah barat laut dari Kathmandu, pada kedalaman 9,3 kilometer. Atau 80 km di timur Pokhara.

Hingga keesokan harinya, Minggu 26 April 2015, mereka memutuskan untuk kembali ke Kathmandu, jaraknya sekitar 200 kilometer perjalanan darat dari Pokhara. Hari itu, Bumi kembali berguncang.

Taufan yang sebelumnya tenang mulai bergidik. Bagaimana tidak, di sisi-sisi jalan yang mobil mereka lewati, jurang-jurang terjal terbentang. Salah-salah, gempa susulan itu bisa menggiring mereka ke mulut ngarai.

“Saya sempat panik, karena di daerah tersebut banyak jurang. Saya menyuruh sopir untuk memberhentikan mobil dan kami keluar,” kenang Wakil Indonesia untuk Komisi Hak Asasi ASEAN itu.

Namun begitu pintu mobil dibuka, hujan batu menyambut mereka. Batu-batu di sekitar jalan itu berjatuhan. Maka dia pun memutuskan untuk kembali menutup pintu mobil mereka. Dan tancap gas. “Untungnya yang mengenai mobil kami hanya batu kecil.”

Maka sampailah mereka di Kathmandu sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Kehancuran kota tersebut membuat mata Taufan dan istri terbelalak. Sejauh mata memandang luluh lantak. Sinyal telepon pun raib.

Gempa di Nepal. (Reuters)

Suasana kota, kata dia, kacau-balau. Akhirnya, bersama dengan turis lainnya, pasangan ini berjalan menuju Istana Kepresidenan Nepal yang dekat dengan kawasan perkantoran. Niatnya untuk mencari tempat perlindungan.

Namun tak ada apapun yang bisa mereka dapatkan kala itu. Tak ada makanan apalagi tenda. Mereka pun terpaksa tidur di luar Istana Kepresidenan. Penderitaan bertambah hingga pukul 22.00, tiba-tiba hujan mengguyur kawasan itu.

Tak mungkin bertahan dalam hujan, maka mereka pun memberanikan diri berbicara kepada anggota militer yang berjaga di sana untuk bisa masuk ke salah satu area perkantoran di dekat Istana.    

“Awalnya tidak dikasih masuk, setelah kami berbicara, akhirnya kami dikasih tempat di depan kantor KPU-nya (Komisi Pemilihan Umum). Nah di situlah kami tidur bersama dengan ratusan turis asing lainnya,” ucap dia.

Keesokannya, Senin 27 April 2015, Taufan memutuskan untuk langsung ke Bandara Tribhuvan Nepal demi mencari tiket pulang ke Indonesia. Namun itu pun tak mudah. Dia mendapatkan kabar, sejumlah maskapai harus mengantre di beberapa negara tetangga Nepal lantaran Bandara Tribhuvan yang kecil serta pengaruh letak topografinya. “Kami harus menunggu lagi.”

Orang berebut antre tiket di Bandara Nepal (Reuters)

Staf Ahli Kantor Gubernur Sumatera Utara itu mengaku, sebenarnya dirinya juga menerima email dari pemerintah RI yang menawarkan fasilitas pulang ke Tanah Air dengan pesawat Garuda Indonesia. Namun setelah menimbang, Taufan yang ingin pulang secepatnya memutuskan untuk mencari sendiri tiketnya.

Kabar baik datang. Selasa, 28 April 2015, dia mendapatkan tiket ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk Rabu 29 April 2015.

Taufan akhirnya pulang dengan menumpang pesawat Malaysia Airlines pada pukul 04.00 waktu setempat. Sedangkan sang istri menaiki Malindo Airlines pada pukul 14.00.

Setelah bertemu di Kuala Lumpur, keduanya langsung melanjutkan perjalanan ke Kota Medan, Sumut, menggunakan maskapai Malaysia Airlines dan sampai di Bandara Kuala Namu pada Kamis 30 April 2015.

Taufan masih bersyukur bisa kembali ke Tanah Air. Sementara puluhan WNI yang lain masih harus menunggu kepulangannya ke Indonesia.

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengungkapkan, kemungkinan pemulangan WNI dilakukan pada Selasa 4 Mei 2015. 2 Armada pesawat juga telah siap untuk memulangkan mereka.

"Hampir semua WNI di Nepal sudah berada di tempat yang aman. Kalau tidak ada halangan, besok kita akan evakuasi ke Indonesia," ujar Moeldoko, Senin (4/5/2015).

"Kita masih ada 2 pesawat untuk evakuasi, Hercules dan Boeing. Saya pikir cukup untuk mengevakuasi," imbuh dia.

Namun masih ada 6 WNI yang belum juga bisa ditemukan keberadaannya. Meski harapan masih digantungkan, satu per satu kantong jenazah diperiksa untuk kemudian dicocokkan dengan foto para WNI yang masih berstatus hilang.

Moeldoko mengaku, seorang warga negara asing mengaku sempat bertemu 3 WNI yang saat ini hilang di sebuah hotel di kawasan pegunungan Himalaya. Hotel itu kini telah rata dengan tanah.

"Salah seorang WNA, yang pernah duduk di tempat itu (hotel), mengatakan ada 3 WNI sebelum dia meninggalkan tempat itu. Dan hotel yang ditempati itu runtuh.”

Selanjutnya: Jejak Terakhir 3 Pendaki...

Jejak Terakhir 3 Pendaki

Jejak Terakhir 3 Pendaki

Bukan citra yang kami cari, tapi cinta
Bukan lara yang kami gelar, tapi tawa
Selamat jalan Gyaista Sampurno, Viktor Tumaang, dan Agung Adijana. Semoga semua lancar dan kembali membawa sahabat, bukan pangkat

(THC, 29 April 2015)

Dengan tas carrier yang menggantung di bahu-bahu kokoh mereka, 3 pendaki yang tersebut namanya dalam untaian kalimat di atas berangkat membawa niat mulia. Mereka akan menempuh perjalanan panjang mencari 3 sahabat pendaki lain yang hilang sejak gempa dahsyat mengguncang Nepal.

Gyaista dkk berangkat dari Tanah Air ke Nepal pada Rabu 29 April 2015. Mereka baru sampai di Negeri Atap Dunia pada Kamis 30 April 2015.

Sudah 5 hari berada di Nepal, namun 3 pendaki yang mereka cari, Alma Parahita (32), Kadek Andana (27), dan Jeroen Hehuwat (39) tak kunjung ditemukan.

Kali ini tim gabungan yang telah tiba di Nepal melakukan pencarian lewat udara.

Alma dkk tiba di Kathmandu pada 19 April 2015 malam.  Ketiganya berencana mendaki Yala Peak di Langtang, Nepal. Saat gempa terjadi  pada 25 April 2015 lalu, ketiga WNI itu kemungkinan sedang mendaki di wilayah Dhunce dan hilang kontak di sana.

Dhunce adalah area yang lebih rendah dan paling dekat dengan Kathmandu, yakni sekitar 7-8 jam perjalanan darat menggunakan mobil dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Maka pencarian 3 pendaki itu diintensifkan di sekitar wilayah tersebut. Lewat darat maupun udara.

Karena itu butuh orang terlatih untuk melacak jejak 3 pendaki tersebut. Dan Gyaista serta 2 temannya bukanlah orang-orang sembarangan.

Gyaista Sampurno dan Viktor Tumaang adalah anggota Taruna Hiking Club (THC) – tempat 3 pendaki yang hilang bergabung. Sementara Adijana Gustiansyah  atau Agung merupakan perwakilan dari Kelompok Pencinta Alam Wanadri yang ikut bergabung dengan THC. Mereka akan bergabung dengan tim evakuasi dari TNI dan Kemenlu.

(Facebook Taruna Hiking Club (THC))

Nantinya tim gabungan ini bakal dibagi menjadi 3 bagian. Tim evakuasi di Dhunce, udara, dan di titik-titik penanganan korban gempa serta safehouse WNI di Kathmandu.

Bukan tanpa alasan 3 orang ini dipilih untuk berangkat ke Nepal. Mereka dinilai paling mumpuni dan memiliki kedekatan dengan 3 pendaki yang hilang, Alma Parahita (32), Kadek Andana (27), dan Jeroen Hehuwat (39).

“Selain mempunyai pengalaman pendakian yang cukup lama, ketiganya mempunyai sertifikasi SAR atau search and rescue. Ketiganya memiliki kapabilitas yang baik dan pengalaman untuk menghadapi berbagai medan,” papar Ketua THC Grahito Handaru di Bandung, Jawa Barat, 1 Mei 2015.

Gyaista dkk, sambung Grahito, juga sudah menjalin komunikasi dengan operator perjalanan Mountain Experience yang digunakan Kadek, Alma, dan Jeroen untuk mendaki di Nepal.

"Itu yang menjadi alasan kita memilih ketiganya untuk berangkat sebagai tim assessment," ucap dia.

Sebenarnya, 3 pendaki yang hilang, Kadek, Alma, dan Jeroen juga bukan pendaki sembarangan. Sebelum berangkat ke Nepal, mereka telah menjalani seleksi ketat bersama puluhan calon pendaki lain yang diadakan THC selama beberapa bulan.

Ekspedisi ke Nepal memang salah satu program yang dibuka THC sejak 2012. Tujuannya, untuk memberikan dan berbagi pengalaman kepada para anggota THC. Selain itu ada pula program pendakian ke Argentina.

Dari puluhan orang itu, terpilihlah 6 orang. Tiga di antaranya Kadek, Alma, dan Jeroen. Seperti diungkapkan Ketua THC Grahito Handaru.

"Sebetulnya ada 6 orang yang terpilih. Tiga ke Nepal dan tiga ke Argentina. Yang ke Argentina terkendala visa sehingga kita berangkatkan tim ke Nepal terlebih dahulu," kata Grahito Handaru pada 1 Mei 2015.

"Keputusan pun dilakukan matang-matang. Sebelum berangkat ada beberapa latihan fisik dan juga pendakian kebeberapa gunung yang ada di Indonesia jadi saat berangkat telah siap baik fisik maupun mental," ujar dia.

Pengalaman ketiganya memang sudah tak diragukan lagi. Jeroen, kata dia telah menjadi anggota THC sejak 1989. Sementara Alma sejak 2003 dan Kadek sejak 2007.

"Bahkan Jeroen memiliki kemampuan yang baik. Dia itu guru saya untuk climbing jadi bisa dibilang expert di bidangnya. Kalau Jeroen domisili di Jakarta, kalau Kadek dan Alma di Bandung," ucap dia.

Sementara Yala Peak yang menjadi tujuan pendakian ini juga tak terbilang ekstrem.

"Itu kan sebetulnya bukit meski di puncak sudah ada salju namun untuk pendakian relatif aman. Untuk  kejadian ini di luar perkiraan,” ucap Grahito.

Namun belum juga 3 WNI itu ditemukan, pemerintah Nepal meminta tim bantuan dan SAR internasional untuk meninggalkan Kathmandu. Menteri Informasi Nepal Minendra Rijal mengatakan, untuk sisa evakuasi sudah bisa ditangani oleh Nepal secara mandiri.

Gunung Everest Pascagempa (Reuters)

Sementara itu kisah berbeda dialami pendaki Indonesia lainnya, Ahmad Novel, sempat membuat cemas sang istri di Tanah Air, Meidy Handayani. Dokter di Bekasi, Jawa Barat yang tengah mendaki Gunung Everest itu sempat tak bisa dihubungi pasca-gempa mengguncang Nepal.

Pada 16 April 2015 Novel berangkat ke Nepal bersama 3 rekannya, Eko, Meinardi, dan Prabudi. Rencananya mereka akan merayakan ulang tahun kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Kedokteran (Mapadoks) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

"Saya terakhir kontak itu pada Jumat siang (24 April 2015). Saya masih bisa menanyakan keadaan dia di sana," kata Meidy ketika ditemui Liputan6.com di kediamannya, Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa 28 April 2015 lalu.

Dan pada Senin 25 April 2015, Meidy akhirnya bisa mengontak sang suami lewat Blackberry Messenger (BBM). Namun alih-alih mencari jalan pulang, para pendaki itu malah memutuskan untuk menetap sementara di Nepal

Dokter-dokter tersebut memilih mengulurkan tangannya untuk membantu korban gempa di Nepal. Novel mengabarkan pada Meidy jika mereka tengah berada di Namche Bazaar dan menjadi relawan di sana. (Ndy/Ein)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya