Kiai Kotagede Berharap Polemik Keraton Yogya Cepat Selesai

Kiai Muhaimin bertemu adik Sultan HB X dan menyampaikan agar Keraton Yogyakarta harus utuh dan kembali pada filosofi awal.

oleh Yanuar H diperbarui 07 Mei 2015, 19:25 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2015, 19:25 WIB
Gunungan Grebeg Syawal Ludes Diserbu Warga
Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, (29/7/2014). Grebeg Syawal merupakan perwujudan Hajat Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk rakyatnya. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kiai Muhaimin hadir di Ndalem Yudhonegaran untuk memberikan aspirasinya terkait polemik yang terjadi di Keraton Yogyakarta. Kiai asal Kotagede tersebut bertemu adik Sultan dan menyampaikan agar Keraton Yogyakarta harus utuh dan kembali pada filosofi awal.

Menurut Muhaimin, polemik keraton jelas akan mempengaruhi budaya di Yogyakarta. Terlebih, keraton menjadi pusat budaya Islam yang hingga saat ini masih eksis. Keraton Yogyakarta adalah kerajaan berbasis Islam tumbuh menjadi kekuatan budaya yang masih terawat hingga kini.

"Boleh dikata ini menusuk jantung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Keraton Yogya ini satu-satunya kerajaan Islam sebagai center of culture. Ini menyangkut situs keislaman yang fundamental bagi kami, khususnya kiai pencinta Islam secara kultural," ujar Muhaimin di Ndalem Yudhonegaran, Yogyakarta, Kamis (7/5/2015).

Muhaimin menambahkan, Islam berbasis kerajaan seperti di Yogya ini memiliki basis sosiologi dan sejarah sendiri. Sehingga para kiai ingin menjaga dan merawatnya. Polemik yang terjadi di keraton telah membuat para kiai prihatin dan berharap polemik itu tidak berlarut-larut.

"Saya rasa Khalifatullah itu kan puncak dari gelar Sultan. Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun itu kan konsep kepemimpinan dalam kultur Jawa. Di sana pedomannya, ada Astobroto, ada Tajusalatin, ada Abdul Suko. Kemudian Kanjeng Sultan HB Senopati ing ngalogo pemimpin negara, Abdurahman Sayidin Panotogomo pemimpin agama, itu satu konsep di dunia ada di Yogya yang menyatukan tiga elemen konsep kepemimpinan, budaya, negara, dan agama," ujar Muhaimin.

Masih kata Muhaimin, jika gelar Sultan khususnya Khalifatullah yang merupakan puncak gelar Sultan itu dihilangkan, maka otomatis menghilangkan kebesaran sejarah, paham keagamaan, filosofi dan kebesaran yang dimiliki Yogya.

Namun Kiai Muhaimin belum bisa memberikan keterangan lebih jelas terkait gelar putri mahkota GKR Mangkubumi, putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Mangkubumi bikin masalah yang belum selesai jadi membikin masalah baru. Basis kebesaran (keraton) Yogyakarta jadi hilang," pungkas Kiai Muhaimin. (Ans/Sun)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya