Liputan6.com, Jakarta - Proses menuju pernikahan bukan sekadar urusan dua insan, melainkan juga melibatkan restu orang tua dan pertimbangan syar’i yang tidak boleh dilanggar. Sebuah pertanyaan dari jemaah kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH) membuka kisah yang sangat menarik tentang perjuangan dalam menjaga cinta dalam koridor agama.
Seorang pria menyampaikan bahwa ia sudah mantap ingin menikahi seorang akhwat setelah mengenalnya secara objektif. Penilaian itu ia lakukan berdasarkan standar sunnah, mulai dari fisik, akhlak, ilmu agama, hafalan, hingga kematangan kepribadian.
Advertisement
Namun yang menjadi kendala, sang ayah dari pihak perempuan belum memberikan izin untuk menikah sebelum sang anak lulus kuliah. Dengan sisa waktu sekitar delapan bulan lagi, calon mertua hanya meminta agar proses pernikahan ditunda hingga momen kelulusan tiba.
Advertisement
Pria tersebut bertanya kepada UAH, apakah ia harus lebih mengutamakan perempuan shalihah yang telah siap menikah ataukah memenuhi kebutuhan menikah segera karena sudah merasa siap secara lahir dan batin.
Menanggapi pertanyaan tersebut, pendakwah muda ini menjawab dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam penjelasannya, UAH menekankan pentingnya peran wali dalam pernikahan bagi perempuan yang belum pernah menikah.
Dalam video ceramahnya yang dilansir dari kanal YouTube @ziyadmuhammad, UAH menyampaikan bahwa seorang wali, khususnya ayah, memiliki kedudukan penting dalam pernikahan anak perempuan. Bahkan jika salah dalam memilihkan pasangan, sang ayah turut menanggung dosa.
Baca Juga
Bolehkah Sholat Pakai Jersi Manchester United Berlambang Setan Merah? Ini Jawaban UAS dan Syafiq Riza Basalamah
Viral! Gus Iqdam Roasting Wakil Bupati Cantik, "Mambengi Nyanyi Sekop-Sekop, Saiki Jadi Mbak-Mbak Yali-Yali"
Film Jumbo Dituding Tak Ramah Akidah, Fantasi Anak atau Pelanggaran Prinsip Agama?
Simak Video Pilihan Ini:
Kalau Belum Sekarang, Ya Nanti
UAH kemudian mengutip Surah Al-Baqarah ayat 221. Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar para lelaki tidak menikahi perempuan musyrik, bahkan jika mereka tampak menarik secara fisik. “Kata Allah, perempuan mukmin yang tidak memikat secara fisik lebih mulia dari perempuan musyrik yang memesona,” kata UAH.
Dalam konteks itu, menurut UAH, ketika seorang ayah tidak mengizinkan anaknya menikah karena pertimbangan tertentu yang tidak bertentangan dengan syariat, maka itu bukan bentuk kezaliman. Justru hal itu adalah bagian dari tanggung jawab wali dalam menjaga kebaikan.
UAH juga mengingatkan agar para pemuda yang belum bisa menikah karena alasan teknis seperti waktu atau izin wali untuk memperkuat hubungan dengan Allah. Salah satunya adalah melalui ibadah puasa sebagai bentuk pengendalian diri.
“Kalau belum bisa menikah sekarang, mungkin nanti. Kalau belum nanti sepekan, mungkin sebulan. Kalau belum sebulan, mungkin setahun. Kalau belum juga, maka puasa,” ujar UAH sambil menyitir hadis Nabi tentang pentingnya menahan diri.
Dalam kisah yang menyentuh, UAH lalu berbagi pengalaman pribadinya. Ternyata, dirinya pernah berada dalam situasi serupa bahkan lebih menantang, yakni harus menunggu selama tujuh tahun sebelum menikah dengan istrinya.
Advertisement
Kisah Asmara UAH
Kala itu, UAH mengajukan proposal pernikahan kepada ibundanya. Namun sang ibu hanya memberikan izin setelah UAH menyelesaikan pendidikan minimal hingga jenjang S2. Alhasil, proses menanti itu pun dimulai. Lamnya sekitar tujuh tahun.
UAH melanjutkan pendidikannya hingga ke Tripoli. Dalam periode itu, ia dan calon istrinya hidup terpisah demi menjaga diri dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Mereka tidak pacaran, tidak berkirim pesan romantis, melainkan menjaga batas sebagaimana seharusnya.
Ia bahkan menyampaikan kepada calon istrinya, bahwa jika ada pria lain yang datang dan diizinkan oleh orang tuanya, maka menikahlah. Tetapi jika sang perempuan tetap ingin bersabar, maka silakan menunggu hingga selesai S2.
“Masya Allah, 7 tahun ditunggu dan sampai sekarang alhamdulillah kami menikah,” ucap UAH dengan penuh rasa syukur dan haru, mengingat kembali perjuangan tersebut sebagai salah satu episode penting dalam hidupnya.
UAH kemudian menyemangati jemaah yang bertanya agar tetap bersabar. “Antum cuma 8 bulan. Saya 7 tahun. Insya Allah, kalau memang itu jodoh yang terbaik, Allah akan jaga,” tegasnya.
Menurut UAH, apa yang dirasakan jemaah tersebut sesungguhnya adalah bentuk ujian kecil dari Allah. Jika dijalani dengan sabar dan niat lurus, maka hasilnya akan lebih indah dari yang dibayangkan.
Pernikahan bukan sekadar soal keinginan dua hati, tapi juga momentum tepat, kesiapan ruhani, serta peran penting wali yang mendapat amanah dari Allah. “Kalau ingin menikahi dia, puasa dulu. Perkuat ibadah, kuatkan kesabaran, dan biarkan Allah yang buka jalannya,” tutup UAH.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
