Siksa Anak karena Tirakat dan Mengaku Titisan Raja Jawa?

Lima anak di Cibubur ditelantarkan orangtua mereka sendiri. Kini mereka tinggal di rumah perlindungan dalam kondisi trauma berat.

oleh SunariyahHanz Jimenez SalimLuqman RimadiFX. Richo PramonoAudrey Santoso diperbarui 25 Mei 2015, 20:24 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2015, 20:24 WIB
Ilustrasi Liputan Khusus Kasus Penelantaran Anak
Ilustrasi Penelantaran Anak

Liputan6.com, Jakarta - Bocah perempuan yang masih 5 tahun itu termenung. Dia seolah tak hirau meski anak-anak lain disekitarnya kegirangan mendengar dongeng kuda pemberani. Matanya hanya lurus ke depan, melihat tingkah sang pendongeng, Kak Iki Yosan.

Meski berkali-kali dibujuk oleh Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait agar berbaur dengan teman-temannya, bocah itu bergeming. Arist yang memangku gadis kecil itu pun menyerah, dia membiarkannya tenggelam dalam lamunannya.

Bocah berinisial AL itu merupakan adik D, anak yang ditelantarkan orangtuanya di Cibubur, Jawa Barat. Keduanya, juga 3 saudara kandung mereka yang lain yakni L, C (kembar 10 tahun), dan DN (4 tahun) saat ini tinggal di rumah perlindungan  anak, SOS Children’s Village, di Cibubur Jakarta Timur.

Kelimanya diungsikan ke tempat itu setelah Komisi Perlindangan Anak Indonesia (KPAI), Polisi, dan tim dari Kementerian Sosial menemukan mereka telah ditelantarkan oleh orangtuanya, UP dan NS, di rumah mereka di kawasan perumahan Citra Gran Cibubur.

Dari pengakuan D, bocah 8 tahun yang sempat luntang lantung selama sebulan karena dilarang masuk rumah, orangtua kandungnya juga kerap memukul dengan kayu atau botol. Tak heran jika tetangga pun mengaku sering mendengar jeritan dari dalam rumah UP dan NS.

Akibat ditelantarkan dan tinggal dalam lingkungan rumah yang tidak sehat, 3 dari 5 anak itu dinyatakan terkena infeksi. Kepala Bagian Pelayanan dan Perawatan Medis RS Polri Kramat Jati Kombes Pol Yayok Witarto mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis anak pada 19 Mei 2015, ketiga anak itu menderita infeksi akibat asupan gizi buruk.

Kondisi rumah yang ditinggali oleh 5 anak yang ditelantarkan orangtuanya di Perumahan Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat, Jumat (15/5/2015). Dua mobil tampak terparkir di depan rumah yang terlihat mewah tersebut. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

"Kita tidak bisa spesifik menjelaskan infeksi apa. Infeksi terjadi karena kondisi anak menurun, sehingga mudah terserang virus. Bisa disebabkan oleh makanan atau gizinya yang buruk," ujar Yayok.

Selain menderita penyakit fisik, kelima anak itu juga mengalami gangguan psikologi. Kelimanya mengalami trauma mendalam, terutama kembar sulung L dan C. Si Sulung bersembunyi ke kolong meja saat beberapa orang datang ke SOS Children’s Village dan berteriak histeris saat kamera media menyorot ke arahnya.

Melihat penderitaan yang dialami 5 anak itu, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Charliyan sampai menitikkan air mata.

"Saat saya mengunjungi mereka, saya tidak boleh pulang. Kondisi mereka cukup memprihatinkan. Terlihat sekali mereka butuh kasih sayang. Hanya baru sebentar bertemu saya saja sudah tidak boleh pulang," kata Anton sambil menyeka air matanya di pendopo SOS Children, Sabtu 16 Mei 2015.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charlian (tengah) didampingi Sekjen KPAI Erlinda saat memberikan keterangan usai menemui lima anak yang ditelantarkan orangtuanya, di pendopo Safe House Cibubur, Jakarta, Sabtu (16/5). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hasil pemeriksaan polisi, kelima anak itu ditelantarkan gara-gara kedua orangtuanya mengonsumsi narkoba. Berdasarkan hasil tes yang dilakukan polisi terhadap keduanya, urine UP dan NS positif mengandung afetamin dan metafetamin. Artinya positif menggunakan sabu.
 
"Sesuai dengan barang bukti yang didapatkan," ujar Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya Kombes Pol Musyafak. Saat mendobrak rumah UP dan NS, Kamis 14 Mei 2015, selain menemukan 4 bocah perempuan saudara kandung D dalam kondisi tak terurus, polisi juga menemukan paket sabu di kamar pasangan suami istri itu.

Dalam pengakuannya kepada penyidik Polda Metro Jaya, UP dan NS mengaku menggunakan sabu sejak 6 bulan lalu untuk kepentingan tirakat.

"Kalau hisap sabu, salah satu cara membuat tubuh menjadi kuat. Karena mereka kan harus melakukan tirakat. Sehari bisa membaca 100 ribu bacaan zikir," ujar kuasa hukum pasutri tersebut, Handika Honggowongso.

Handika menuturkan, ketika menjalani tirakat, kliennya berpuasa penuh dan tirakat dapat berlangsung seharian. Nah, karena fokus tirakat inilah, kata Handika, kliennya menelantarkan ke-5 anak mereka.

Menurut Handika, pasangan suami istri itu menjalankan tirakat karena mengaku sebagai titisan Raja Jawa. Sang suami, UP, mengaku keturunan Sanggobuwono atau Sambernyowo, raja Mangkunegaran di Solo. Sedangkan istrinya, NS, sebagai titisan Tribuana Tungga Dewi, ratu sekaligus anak pendiri Kerajaan Majapahit. Keduanya menjalani tirakat atas tuntutan dan petunjuk bisikan gaib.

Selanjutnya: Jatuh ke Keluarga Derajat Ketiga...

Jatuh ke Keluarga Derajat Ketiga

Jatuh ke Keluarga Derajat Ketiga

Lepas dari klaim tersebut, penyidik Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya menetapkan UP dan NS sebagai tersangka kasus narkoba dan telah ditahan. Keduanya dijerat Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengecam keras tindakan UP dan NS. "Darah daging sendiri ditelantarkan, itu sangat tidak terpuji sama sekali. Harus dihukum sesuai hukum yang berlaku," tandas Yohana.

Geram dengan ulah pasangan suami istri itu, Yohana pun mendukung upaya pengalihan hak asuh ke-5 anak tersebut dari tangan UP dan NS. Menurut dia, hak asuh 5 anak itu dapat dialihkan ke keluarga dekat.

"Saya mendorong untuk itu. Bagaimana nanti agar diserahkan atau dialihkan hak asuhnya kepada keluarga besar atau keluarga dekat," ujar Yohana.

Pengalihan hak asuh D dan 4 saudara perempuannya dari tangan orangtuanya ke keluarga mereka yang lain telah disampaikan sebelumnya oleh KPAI.

Sesuai Pasal 26 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, orangtua wajib mengasuh, memelihara, mendidik, dan merawat anak agar tumbuh kembangnya optimal.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise

Apabila orangtua tidak mampu melakukan hal tersebut, maka kewajiban ini berpindah sementara pada keluarganya, sampai orangtuanya dapat mengasuh lagi. Dasar hukum inilah yang digunakan KPAI untuk mengupayakan hak asuh ke-5 anak itu dicabut dari orangtuanya.

UP dan NS kemungkinan besar akan kehilangan hak asuh terhadap ke-5 anaknya jika keduanya terindikasi melakukan tindak kekerasan atau mengalami gangguan kejiwaan dan kesehatan.

"Kalau sampai kedua orangtuanya dinyatakan terganggu kesehatannya dan tidak bisa diandalkan lagi dalam mengurus anak-anaknya,  maka kita bisa memutuskan bersama untuk mencabut hak asuh dan nanti diserahkan lagi kepada keluarga besarnya," ujar Yohana.

Tapi jika penelantaran terjadi karena alasan ekonomi, lingkungan atau pendidikan, ucap Yohana, maka hak asuh diserahkan lansgung ke negara melalui Kementerian Sosial.

Kendati hak asuh ke-5 anak itu bisa dicabut dari orangtuanya, namun Menteri Yohana mengatakan, proses itu tetap harus melewati serangkaian prosedur dan pemeriksaan yang ketat. Termasuk memeriksa layak tidaknya sebuah keluarga mengurus anak terlantar.

Pemeriksaan dan penilaian dilakukan dari berbagai aspek. Antara lain aspek sosial, ekonomi dan tingkat pendidikan keluarga yang akan mengasuh. “Nanti itu semua kita periksa dulu. Kita kaji mendalam, tidak semudah itu kita berikan," pungkas Yohana.

Selain memeriksa aspek-aspek tersebut, Komisioner KPAI Susanto mengatakan, salah satu proses yang harus dilalui dalam pengalihan hak asuh anak dari orangtua ke orang lain yakni proses di pengadilan. “Pengadilan akan memastikan legalitasnya. Apa betul orang itu tepat mengasuh mereka," kata Susanto.

Jika semua proses sudah dilewati, maka pihak keluarga dari derajat kedua atau derajat ketiga dapat mengambil hak asuh ke-5 anak tersebut.

Sekjen KPAI Erlinda menjelaskan, yang dimaksud pihak keluarga derajat kedua yakni bibi dan paman. Sedangkan derajat ketiga yaitu nenek dan kakek.

Kemungkinan besar hak asuh ke-5 anak itu akan diserahkan ke keluarga sang ayah. Alasannya, KPAI menilai hubungan emosional antara lima anak dengan sang kakek dan nenek sudah terjalin erat.

"Kelima anak senang saat dikunjungi keluarga ayahnya, terutama ananda D (dekat) dengan kakek-neneknya," imbuh Erlinda. KPAI pun telah mengobservasi tempat tinggal keluarga UP dan hasilnya dianggap layak.

Jika kelima anak itu diasuh oleh keluarga sang ayah, KPAI akan tetap mendampingi hingga mereka pulih dari trauma. Pendampingan dilakukan dalam rentang waktu tentatif, tergantung perkembangan psikis kelima anak.
 
"Bisa 6 bulan atau sampai 3 tahun. Hingga KPAI melihat kelima bersaudara ini betul-betul bisa kami lepas," jelas Erlinda.

Namun sebelum kelima anak itu diserahkan ke keluarganya, KPAI terlebih dulu memulihkan dampak psikologis atau trauma pada anak-anak tersebut. Proses ini bisa memakan waktu 3 bulan atau lebih. Jika selama waktu itu anak-anak tersebut belum pulih, mereka akan didampingi KPAI sampai betul-betul pulih.
 
"Untuk rehabilitasi kelima anak kami menerapkan dua pola, yaitu tindakan bermain dan tindakan kembali ke lingkungan. Saat ini sudah diberikan tahapan awal rehabilitasi, kita sudah tempatkan di lingkungan sosial, seperti anak-anak lainnya dan kita kondisikan mereka tidak pernah terjadi apapun," ujar Erlinda.

Kasus penelantaran anak di Cibubur bukanlah satu-satunya kasus yang pernah terjadi. Psikolog yang akrab disapa Bunda Romi mengatakan, kasus penelantaran anak merupakan fenomena gunung es.

Kasus di Cibubur sendiri, lanjut dia, memperlihatkan ada ketidaksiapan mental dan juga kurangnya pengetahuan orangtua dalam mendidik anak, hingga melampiaskan kekesalan terhadap anak dengan hukuman yang justru menyakiti fisik dan psikis.

Meski bukan satu-satunya, kasus penelantaran anak dii Cibubur telah menyita perhatian DPR. Anggota Komisi VIII DPR Desi Ratnasari mengatakan, ia bersama rekan-rekan komisinya tengah menggodok pembentukan sistem yang dapat mendeteksi situasi emosional keluarga-keluarga di Indonesia. Dengan sistem tersebut, nantinya peristiwa penelantaran tidak terulang lagi.

Pemerintah sendiri berjanji akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk menangani kasus anak terantar. Menteri Yohana mengungkapkan, satgas tersebut nantinya akan melibatkan pihak-pihak terkait seperti KPAI, Kemensos, Polwan, ibu-ibu PKK, ibu Bhayangkari, pemuka agama, dan pemuka adat.

"Karena mereka yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan memantau isu sosial di sekitar," jelas Yohana. (Ein)


Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya