Liputan6.com, Jakarta - Sebuah makam berukuran 2x1 meter di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi penanda akan kekejaman orangtua serta ibu tiri terhadap anaknya. Setelah 30 tahun, makam itu kini tak terurus. Namun, ceritanya tak pernah usang karena terus berulang.
Di makam itu bersemayam jasad bocah berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang hingga kini selalu diidentikkan dengan kekerasan orangtua terhadap anaknya. Arie lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1977 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984.
Advertisement
Arie Hanggara adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 memunculkan kesedihan sekaligus kegeraman publik.
Advertisement
Ia boleh dikatakan lahir di tengah keluarga yang timpang. Sang ayah Tino adalah seorang yang pemalas dan tukang janji kelas kakap. Bahkan, saudara dari pihak istrinya menggunjingkan Tino sebagai pejantan yang hanya mampu bikin anak.
Karena tak punya pekerjaan, sementara dia punya harga diri yang tinggi di tengah kondisi Jakarta yang menuntut terlalu banyak, Tino dan istrinya Dahlia Nasution kerap bersitegang. Sang istri akhirnya kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek.
Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan hidup bersama istri barunya bernama Santi. Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Tino dan Santi serta 3 anak Tino yaitu Anggi, Arie, dan Andi.
Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.
Sindiran Santi yang menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.
Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5.
Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.
Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. "Ayo minta maaf dan mengaku," teriak Santi.
Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.
Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.
Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.
Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.
Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.
Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.
Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.
Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.
Setahun kemudian, sebuah film yang disutradarai Frank Rorimpandey mengisahkan nasib tragis Arie. Dibintangi Yan Cherry Budiono sebagai Arie, Deddy Mizwar memerankan Toni dan Joice Erna sebagai ibu tiri, film berjudul Arie Hanggara ini mendapat tempat di hati penonton.
Film dengan durasi yang cukup panjang ini, 220 menit, kemudian menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak pada 1985. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekitar 382.708 orang.
Kini, publik tersentak dengan nasib tragis yang menimpa Angeline, bocah seusia Arie yang tewas dengan sangat keji. Angeline tewas saat tinggal bersama ibu angkatnya dan jauh dari orangtua kandungnya.
Namun, Angeline bukanlah bocah korban kekerasan dan kekejaman yang menandai ketiadaan cerita serupa sejak kasus Arie Hanggara. Kekerasan dan kekejaman di dalam rumah tangga tak pernah berhenti. Banyak sudah kasus serupa yang luput dari perhatian publik sejak kasus Arie Hanggara pada 3 dasawarsa silam.
Dipicu Rasa Kesal dan Cemburu
Dipicu Rasa Kesal dan Cemburu
Tewasnya Angeline membuat publik terhenyak, seolah baru menyadari kalau orang dekat pun bisa berbuat keji terhadap seorang anak. Padahal, Angeline bukanlah bocah pertama yang tewas di lingkungan keluarga.
Setelah tragedi Arie Hanggara pada 1984, banyak sudah bocah lain yang mengalami penyiksaan serupa oleh orangtua tiri hingga berbuah kematian, jauh sebelum maut menjemput Angeline.
Misalnya nasib yang menimpa Davina Lira Putri (5). Hanya karena tidak mau segera bangun dan mandi, Davina dianiaya ibu tirinya yang berinisial DS, hingga tewas, Sabtu 16 Maret 2013. Vina menderita luka parah di kepala. Pada sekujur tubuh Vina juga ditemukan sejumlah luka.
Kisah pilu ini berawal pada Sabtu sekitar pukul 08.00. Saat itu, Vina masih tergolek di kasur dalam kamar tidur rumah kontrakan orangtuanya di RT 002 RW 001, Kampung Peusar, Desa Binong, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, Banten. Tubuh bocah ini kurang sehat.
Melihat anak tirinya tidak mau bangun dan segera mandi, DS yang dinikahi Agus Wasito (36) pada Oktober 2012, menjadi kesal. DS yang harus masuk kerja pukul 10.00 WIB di sebuah tempat refleksi di sekitar Binong itu akhirnya memaksa korban segera bangun dan mandi.
"Sekitar pukul 08.00, saat mandi, saya mendengar DS marah-marah. Tidak lama kemudian terdengar bunyi seperti benturan dari dalam kamar mandi. Kebetulan kamar mandi kami berdempetan dan hanya dibatasi tembok," kata Kurnia, tetangga DS.
Saat di kamar mandi itu, DS rupanya mendorong Vina hingga terjatuh dan kepalanya terbentur di lantai keramik. Vina yang kejang-kejang dan kemudian tidak sadarkan diri dibawa ke Rumah Sakit Siloam Karawaci. Dalam perjalanan, Vina akhirnya mengembuskan napas terakhir.
Hasil autopsi menunjukkan, di tubuh korban terdapat luka lecet di dahi, batang hidung, dan bawah kelopak mata kiri. Ada juga luka memar pada dahi, mata kiri dan kanan, perut kanan, resapan darah pada kepala depan dan tengah. Beberapa luka itu adalah luka lama. Selain itu, terjadi juga pendarahan pada otak dan adanya resapan darah pada usus.
Menurut Kurnia, para tetangga pernah melihat Vina dengan pipi, jidat, tangan, dan mata yang lebam. Namun, setiap ditanya, Vina selalu menjawab akibat terbentur tembok atau kena kayu.
Guru korban dari Taman Kanak-kanak PAUD Binong juga pernah datang ke rumah dan meminta DS menghentikan penganiayaan itu. Bahkan, guru pernah mengancam akan melaporkan ke polisi. "Eh, belum sempat dilaporkan, Vina sudah pergi selamanya," kata dia.
Masih di tahun yang sama, bocah berusia 3 tahun bernama M Rizky Zacky juga mengalami nasib serupa. Rizky tewas setelah disiksa ibu tirinya, Rosalina binti M Tahan (23) dan ayah kandungnya Achen Saputra bin Mustofa di Perumahan Puri Mas Blok E3 No 13, Batam, Kepulauan Riau, Rabu 18 Desember 2013.
Rosalina mengaku kejadian bermula saat anak tirinya yang menangis tanpa sebab. Agar korban diam, dia mencekik leher dan menginjak perut Rizky 2 kali.
"Saya pukul dan injak perutnya pada Selasa malam pukul 21.00 WIB. Terakhir saya banting kepalanya ke dinding 3 kali," kata Rosalina di Kantor Polsek Batuaji.
Usai kejadian itu, barulah korban diam dan tidur. Pagi hari baru diketahui korban dalam kondisi tegang dan tak sadarkan diri. "Saya larikan ke RSUD dan dokter menyatakan nyawanya sudah tidak ada sekitar pukul 07.00 WIB," kata dia.
Siksaan Rosalina kepada Rizky bukan kali ini saja. Wanita kelahiran Talang, Sumatera Selatan ini mengaku sudah berkali-kali menyiksa anak tirinya selama 2 hari sebelum kematiannya.
"Senin malam saya pukuli juga. Saya tampar dan cekik. Habis dia sering menangis dan nakal. Ia menangis terus katanya perut kembung," tutur dia.
Ayah kandung korban, Achen Saputra saat diminta keterangan menuturkan tidak tahu sama sekali bahwa istrinya sering menyiksa anaknya. "Saya baru pulang bekerja pukul 21.00 WIB. Saat saya sampai di rumah, Rizky menangis dan saya tampar agar diam," ujar Achen.
Achen dan Rosalina diketahui sering bertengkar, terutama selama 6 bulan menjalani bahtera rumah tangga. Rosalina adalah istri kedua Achen. Istri pertamanya yang juga ibu kandung Rizky, Leniwati sudah diceraikan dan bekerja di luar negeri sebagai TKW.
"Kami sering bertengkar, tapi saya bersabar saja karena saya pikir dia sarjana agama. Tapi malah akhirnya begini. Itu anak kandung saya, mana mungkin saya mau menganiaya. Istri saya itu yang tak suka dengan Rizky karena anak dari istri pertama saya," tutur Achen.
Sementara Rosalina mengaku memang dia sempat menganiaya sebelum Rizky meninggal. Namun, dalam penganiayaan itu, suaminya juga terlibat pada malam kedua. "Achen juga memukul anaknya itu. Malah anaknya dibanting ke tempat tidur," ujar dia.
Sementara hasil autopsi di Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB), diketahui kondisi tubuh Rizky mengalami pendarahan. Tak hanya itu, sekujur tubuhnya mengalami lebam-lebam dan membiru.
Pantauan sebelum jenazah diautopsi, nampak sekujur badannya mulai dari dahi, pipi kanan-kiri, mata, hidung, tangan perut hingga kedua kakinya dipenuhi lebam biru bekas pukulan.
Bahkan di telinga sebelah kiri masih nampak sisa darah yang sudah mengering. Bagian perut nampak membengkak dan besar seperti anak yang menderita kekurangan gizi atau perut kembung.
Di organ dalam juga banyak terjadi pendarahan, memar dan pembengkakan karena pukulan benda tumpul. Terutama di bagian dada, hingga kaki. Bahkan ada yang sampai pendarahan seperti di rongga perut, dada serta kepala.
Cerita tentang penyiksaan anak yang berujung kematian terus berlanjut. Seorang balita di Desa Bocor, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah meninggal dunia akibat dianiaya ibu tirinya. Kasus penganiayaan balita hingga tewas terbongkar 2 hari setelah kematian korban.
Balita malang itu diketahui bernama Wakhidatul Akma, berusia 3 tahun. Sedangkan ibu tiri yang menjadi tersangka penganiayaan itu bernama Ningsih (24). Untuk keperluan penyidikan, polisi bersama warga membongkar makam korban di pemakaman Desa Bocor.
Korban sendiri meninggal dunia pada Selasa 23 November 2014 sekira pukul 13.30 WIB. Oleh tersangka, korban disebutkan meninggal akibat terjatuh beberapa hari sebelumnya. Atas kematian anaknya, ayah korban Kuswanto (28) mengaku tidak mempermasalahkan hingga jenazah langsung dimakamkan.
"Namun, dari informasi yang berkembang di masyarakat desa, kami kemudian melakukan penyelidikan. Setelah meminta keterangan sejumlah saksi kami bertekad untuk mengungkap penyebab kematian korban," ujar Kapolres Kebumen AKBP Faizal.
Sementara itu, tersangka akhirnya mengaku tega menganiaya anak tirinya disebabkan rasa iri lantaran Kuswanto yang lebih menyayangi korban ketimbang anak yang dibawanya. Karena jengkel, saat suaminya bekerja, bocah itu dia pukul di bagian matanya hingga terjatuh dan kepala bagian belakangnya membentur tembok.
Tak cukup, bocah itu dibangunkan lagi lalu ditendang perutnya hingga terjatuh. Setelah anaknya pingsan, tersangka kemudian memandikan korban dan menidurkan di tempat tidur seolah-olah bocah itu sedang sakit.
Ketua RT 05 RW 03 Wisman Irianto mengakui warga sempat mencurigai adanya kejanggalan atas kematian korban. Apalagi, sebelum kejadian warga sering mendengar keanehan di rumah yang dihuni oleh pasangan tidak resmi tersebut. "Kadang ada suara anak menangis keras, tapi tiba-tiba langsung terdiam," ujar dia.
Lain lagi dengan Nasri Nasution yang tega menganiaya anak tirinya, Isra Safitri yang masih berusia 2,5 tahun. Usai penganiayaan pada Jumat 27 Maret 2015 sekitar pukul 15.00 WIB, korban pun tewas. Nasri melakukannya di rumah kontrakannya di Desa Kasikan, Kecamatan Tapung Hulu, kabupaten Kampar, Riau.
Sore saat kejadian, hanya ada Nasri dan sang anak di rumah. Sementara ibu Isra sedang bekerja sebagai buruh di salah satu perusahaan sawit. Ketika itu anak tirinya menangis dan buang air besar. Melihat itu dia langsung geram.
"Pelaku menganiaya dengan cara menyeret korban dengan posisi kaki yang ditarik ke dalam kamar dan kemudian menampar kepala bayi 5 kali. Lalu meninju dada korban sebanyak 3 kali sehingga korban telentang," ujar Kapolsek Tapung AKP Nurman.
Tak sampai di situ, pelaku kemudian menginjak perut korban sebanyak 2 kali lalu mencekik leher korban sebanyak 1 kali, dan membenturkan kepalanya sebanyak 3 kali ke lantai rumah sampai akhirnya korban tidak bergerak lagi.
Dari pengakuan tersangka kepada polisi, bayi malang tersebut disiksa hingga tewas lantaran dirinya kesal dengan anak tirinya yang tidak mau makan dan selalu menangis dan sering buang air besar kalau ibunya tidak di rumah.
Dari kejadian itu terungkap bahwa sang ibu yang sebelumnya janda beranak satu itu dinikahi oleh tersangka secara siri pada 13 Januari 2015. "Pelaku mengaku nikah siri dengan ibu korban belum lama ini, sekitar 2 bulan lalu," ujar Nurman.
Kerapnya terjadi penyiksaan terhadap anak yang menimbulkan kematian memunculkan pertanyaan tentang lambatnya penyiksaan itu diketahui. Karena penyiksaan umumnya terjadi berulang dan terus menerus, seharusnya sejak awal bisa diketahui jika seorang anak mendapat perlakuan kasar yang serius.
Karena itu, bagi orangtua dan lingkungan, ada baiknya mengetahui tanda-tanda atau ciri dari anak yang mendapatkan perlakuan tak patut dari orang-orang di sekitarnya.
Advertisement
Kenali Ciri Anak Korban Kekerasan
Kenali Ciri Anak Korban Kekerasan
Child abuse atau tindak kekerasan yang terjadi pada anak jarang dilaporkan. Bahkan, umumnya baru terungkap apabila kekerasan telah berlangsung untuk waktu lama atau setelah jatuh korban.
Kekerasan pada anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan, dapat secara fisik, emosional, penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan kerugian yang nyata terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan martabat anak dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Jenis-jenis kekerasan pada anak itu meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang menghasilkan luka yang bukan disebabkan oleh kecelakaan. Kondisi ini dapat terjadi akibat hukuman fisik. Kekerasan emosional yaitu perilaku yang menimbulkan trauma psikologis pada anak, misalnya menghina, merendahkan, dan mengancam anak.
Pada kasus kekerasan pada anak, beberapa faktor risiko dapat ditemukan, baik dari segi anak, orangtua maupun dari lingkungan masyarakat. Faktor masyararakat di antaranya adalah tingkat kriminalitas, kemiskinan, dan pengangguran yang tinggi, perumahan yang padat dan kumuh, adat-istiadat mengenai pola asuh anak, serta pengaruh media massa.
Faktor orangtua atau keluarga di antaranya adalah riwayat orangtua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil, orangtua remaja, orangtua dengan imaturitas emosi, adanya kekerasan dalam rumah tangga, riwayat depresi atau masalah kesehatan mental lainnya, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat penggunaan zat dan obat-obatan terlarang atau alkohol.
Faktor anak adalah adanya "vulnerable children", yaitu anak dengan cacat fisik, cacat mental, anak yang tidak diinginkan, anak yang memiliki riwayat kekerasan sebelumnya, anak dari orangtua tunggal, anak dari orangtua pecandu obat-obatan terlarang, bukan anak kandung, dan anak dengan kepercayaan diri serta prestasi yang rendah.
Anak dengan kondisi di atas memiliki risiko lebih besar untuk memperoleh kekerasan seksual. Pada kasus tindak kekerasan pada anak, faktor-faktor risiko tersebut dapat memberikan kontribusi baik sebagai faktor risiko tunggal maupun kontribusi dari beberapa faktor risiko. Hal tersebut dapat menerangkan patogenesis terjadinya tindak kekerasan pada anak.
Tindak kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan seksual, yaitu penganiayaan seksual di mana terdapat hubungan ketergantungan pada kegiatan seksual antara pelaku terhadap anak yang perkembangannya belum matang dan belum menyadari betul sehingga anak tidak dapat menyetujui.
Tindakan ini meliputi incest, perkosaan dan pedofilia, yang meliputi tindakan meraba-raba (fondling), kontak oral genital, bersetubuh atau penetrasi, eksibisionisme, veyorisme, eksploitasi atau prostitusi, dan produksi pornografi yang menggunakan anak.
Sementara kekerasan fisik adalah perbuatan yang menghasilkan luka atau trauma yang tidak terjadi oleh karena kecelakaan. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat hukuman fisik.
Penganiayaan fisik tersering dilakukan oleh pengasuh atau keluarga dan dapat pula oleh orang asing bagi si anak. Wujud penganiayaan ini bisa ditemukan meliputi memar, luka bakar, patah tulang, trauma kepala, dan cedera pada perut.
Kekerasan psikis atau emosi adalah perilaku yang menimbulkan trauma psikologis pada anak (menghina, merendahkan, mengancam, dan sebagainya). Sebagian besar kasus kekerasan psikis atau emosi menyertai kejadian tindak kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada anak.
Lantas, bagaimana kita mencurigai adanya tindak kekerasan pada anak?
Hal yang mudah adalah bila ditemukan luka yang tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipercaya. Jika luka tidak sesuai dengan cerita yang diberikan atau dengan perkembangan anak, kecurigaan kekerasan harus dilaporkan.
Ketika anak sakit atau terluka, orangtua akan membawa mereka secepatnya untuk diperiksa. Terlambatnya mencari pertolongan medis meningkatkan kecurigaan ke arah penganiayaan atau penelantaran.
Memar adalah gejala yang paling sering ditemukan pada child abuse dan dapat ditemukan di berbagai tempat di permukaan tubuh. Memar yang tidak disengaja, dari trauma benturan adalah yang paling sering ditemukan pada permukaan yang tipis di atas tulang seperti tulang kering, lengan bawah, dagu, dan alis.
Memar pada bokong, punggung, genitalia, telinga, dan telapak tangan lebih jarang disebabkan karena kecelakaan. Anak dapat diracuni, dipukul, dibenturkan, dibakar, digigit, dicakar, atau ditusuk.
Dari bentuk, kedalaman dan tipe luka dapat diketahui obyek yang digunakan. Tongkat, ikat pinggang, tangan, atau alat lain meninggalkan tanda yang spesifik.
Memar yang baru biasanya berwarna biru, atau merah-keunguan. Memar yang sudah lama berwarna kuning, hijau, atau coklat.
Memar dengan warna yang beragam di permukaan tubuh yang sama biasanya tidak sesuai dengan satu kejadian. Kulit yang gelap menyamarkan memar.
Tanda anak yang diabaikan dapat berupa anak yang sering absen dari sekolah, mencuri atau mengemis makanan atau uang, atau kurang terpenuhinya kebutuhan perawatan gigi serta imunisasi.
Anak juga sering terlihat kotor, bau, dan merokok. Pada orangtua dapat terlihat orangtua yang depresi, berperilaku aneh atau irasional, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Pada anak perlu dipikirkan mengalami pelecehan seksual jika terdapat perilaku seksual, gangguan tidur, timbul fobia, prestasi sekolah menurun, enuresis (mengompol), atau enkopresis (BAB tidak pada tempatnya).
Anak juga dapat mengeluh nyeri, gatal, kemerahan, adanya sekret, atau perdarahan. Adanya kutu pada bulu mata juga perlu dicurigai adanya sexual abuse. Bila dijumpai tanda dan gejala seperti itu, segera periksakan ke dokter dan mencari pertolongan segera.
Tindakan pencegahan terjadinya kekerasan pada anak sebaiknya dimulai sejak dini, dimulai dari kontak antara ibu dengan anak sejak dalam kandungan dan setelah lahir.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan orangtua untuk mencari cara lain selain memukul dalam mendisiplinkan anaknya, karena hal itu dapat mengakibatkan kecenderungan perilaku agresif pada anak, serta meningkatkan risiko terjadinya tindakan kriminal dan penggunaan zat terlarang pada anak saat dewasa.
Khusus untuk kasus Angeline, masalah tak hanya seputar kekerasan yang dialami, melainkan juga statusnya sebagai anak adopsi yang belakangan dipersoalkan lantaran tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan undang-undang. (Ein)
Baca juga: `Wasiat` Terlupakan dari Kuburan Arie Hanggara...