Liputan6.com, Jakarta - Calon tunggal masih menjadi polemik antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR dan pemerintah. Lantaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 hanya mengatur pilkada akan dilaksanakan sesuai jadwal di daerah bersangkutan, jika sekurang-kurangnya diikuti 2 pasang calon.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengungkapkan Undang-Undang Pilkada lahir dari situasi yang tidak ideal sehingga dalam prosesnya. UU itu memang membutuhkan peraturan lanjutan untuk menyelesaikan masalah. Namun, Presiden Jokowi harus berhati-hati dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu).
Sebab, perppu tidak bisa langsung menyelesaikan masalah pilkada serentak ini.
"Tidak bisa titip presiden bikin perppu langsung selesai masalah. Perppu itu muncul yang sifatnya insindentil, kalau ada perppu yang melegalisasi satu calon, yang diperdepatkan adalah keabsahannya, belum lagi ada debat jika perppu ditolak," jelas Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Menurut dia, UU Pilkada saat ini juga warisan perppu presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Ini merupakan bukti nyata perppu tidak serta merta menyelesaikan masalah.
Advertisement
"Dari awal UU pilkada lahir dari situasi yang tidak ideal sehingga memerlukan perppu. Perppu bukan instrumen yang ideal karena hanya datang dari 1 orang," ujar Fahri.
Sebelumnya, dia menyampaikan polemik pilkada serentak ini kepada presiden terkait masalah sebelum pilkada, pelaksanaan pilkada dan setelah pilkada.
DPR, kata Fahri, segera mengadakan rapat konsultasi dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor di antaranya tentang pidato kenegaraan, nota keuangan dan pilkada.
"Karena itu, kami mencoba memberi tahu presiden agar kita dapat mengambil keputusan yang tuntas. Kita prihatin dengan hilangnya begitu banyak suara karena ditolak KPU, itu luar biasa sekali karena kehilangan hak daripada representasi rakyat. Kita minta Presiden tidak sepihak," pungkas Fahri. (Bob/Mut)