Liputan6.com, Yogyakarta - Usianya sudah lanjut, yakni 83 tahun. Tapi gerak tubuhnya masih memukau saat memperagakan jurus-jurus silat andalannya.  Â
Namanya Abdul Wahab, biasa dipanggil Mbah Dul. Dia merupakan pesilat pada era Sukarno. Pada 1957, Mbah Dul yang berasal dari Yogyakarta pernah menjadi duta seni dengan misi kebudayaan ke Eropa.
Saat itu, Mbah Dul pergi bersama 41 orang ke Cekoslovakia, Hungaria, Polandia, Rusia, dan Mesir. Selama 3,5 bulan Mbah Dul memperkenalkan budaya dan kesenian asli Indonesia.
"Saat itu pesilat dinamakan pesenam, ada empat orang. Saya, Rosidi, Jumali, dan Syuhada dari Bandung. Lainnya adalah kesenian tari," tutur kakek yang semasa kecil dipanggil Limo Tong di Yogyakarta, Rabu (26/8/2015).
Meski menguasai jurus-jurus silat, tapi Mbah Dul mengaku selama 83 tahun tidak pernah menggunakannya untuk berkelahi. Dia hanya memperlihatkan ilmunya saat kejuaraan silat dan latihan bersama pesilat lainnya. Bahkan, karena latihan bersama pesilat lain, dia mendapat saudara angkat.
"Saya belum pernah menggunakan pencak untuk berkelahi. Sekarang umur saya sudah 83 tahun. Selama itulah saya enggak pernah berkelahi menggunakan pencak," ujar kakek kelahiran Yogyakarta, 2 November 1932 itu.
Mbah Dul bercerita, dia belajar silat dari seorang pesilat bernama Ridwan. Ketika itu umurnya baru 7 tahun. Dia juga belajar dari beberapa guru silat di Yogya waktu itu. Untuk memperkuat kemampuannya, Mbah Dul juga berguru ilmu bela diri dari pelatih asal Tiongkok.
Oleh gurunya, Mbah Dul dikenal sebagai murid kreatif. Sebab, dia sering mengombinasikan antara silat dan ilmu bela diri lainnya.
"Seharusnya beberapa jurus enggak boleh dikombinasi, guru saya berpesan begitu, dan belum pernah ada murid yang coba-coba. Tapi saya coba-coba. Guru saya sampai nangis karena itu. 'Kowe (kamu) muridku sing (yang) paling kreatif Dul," ujar dia meniru ucapan gurunya saat itu.
Karena kemahirannya, Walikota Yogyakarta pada 1957 Soedarisman Poerwokoesoemo mengusulkan Mbah Dul menjadi duta kesenian ke pemerintah pusat. Mbah Dul pun akhirnya berangkat bersama rombongan ke Eropa pada 29 Agustus 1957. Â
"Tahun 57 jadi delegasi Indonesia melalui Dinas P dan K (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) waktu itu," ucap dia.
Kini, Mbah Dul tinggal di Kampung Kemetiran Kidul, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedong Tengen Kota Yogyakarta.
Advertisement
Pernah Disantet
Sikap yang selalu ditanamkan pada dirinya adalah tidak pernah merendahkan orang lain dan selalu bersikap rendah hati baik di dalam arena kejuaraan atau di luar arena.
Hal ini terkait kejadian yang pernah dialaminya. Pernah pada suatu kejuaraan silat, Mbah Dul merasa lebih dari orang lain. Ia tidak teringat pesan sang ibu agar selalu menjaga hati dari kesombongan.
"Jangan sok luwih pinter (jangan merasa lebih pinter). Ono sing luwih pinter (ada yang lebih pinter)," pesan sang ibu yang selalu dibisikkan ke telinganya.
Tapi, "Saat pas tanding saya merasa lebih secara teknik. Saya merendahkan lawan saat itu. Saya meludah sampai gurunya marah. Saya disantet tidak bisa turun panggung. Berobat ke dokter juga dikatakan tidak sakit apa-apa. Namun setelah minta maaf kepada guru tersebut, sakitnya hilang," kenang Mbah Dul.
Mengenai kejuaraan silat saat ini, Mbah Dul mengaku kecewa karena sudah berbelok arah. Kejuaraan hanya mementingkan satu hal dari empat poin penting dalam dunia silat, yakni aspek olahraga saja. Sedangkan aspek penting lainnya, yakni seni sudah memudar.
"Saya kecewa, soalnya hanya mementingkan olahraganya. Dan saat ini kaidah ciri khas pencak sudah hilang. Sekarang silat sikapnya sudah tarung tinju, karate. Ingin langsung meraih poin dan menang. Kalau dulu pencak silat lebih mengandalkan kelenturan gerakan tubuh," ujar dia.
Mbah Dul saat ini mempunyai kesibukan membuat topeng dan pesanan kepala Barongsai dan Naga Liong, untuk mengisi hari-harinya setelah pensiun dari Dinas P dan K.
Rencananya pada Sabtu 29 Agustus mendatang, Mbah Dul akan menerima penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga atas pengabdiannya di dunia pencak silat. (Sun/Sss)
Advertisement