Liputan6.com, Jakarta - Bang Buyung, begitu panggilan berbagai kalangan kepada almarhum Adnan Buyung Nasution. Sosok pengacara senior itu telah tutup usia pada Rabu 23 September 2015 pagi.
Namun, kenangan kepada sosok Bang Buyung tak mudah hilang, khususnya pada 2 menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Sofyan Djalil dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution serta Jaksa Agung HM Prasetyo.
Sebagai yuniornya di Universitas Indonesia, Sofyan mengingat sosok Buyung sebagai seorang pendekar hukum.
Advertisement
"Sebagai yunior beliau di UI, kita merasa kehilangan dengan berpulangnya Bang Buyung yang selalu memberikan terbaik bagi bangsa ini dalam kapasitas beliau sebagai aktivis dan seorang pendekar hukum," ujar Sofyan di rumah duka, Rabu 23 September 2015.
Hampir sama dengan Sofyan, meski tak sekampus Jaksa Agung Prasetyo pun mengingat sosok Buyung sebagai salah satu penegak hukum yang berani.
"Bang Buyung penegak hukum, patut jadi panutan. Ini sosok pendekar hukum yang selalu berjuang untuk kebenaran. Kita kehilangan sosok pendekar itu," kata Prasetyo.
Namun, berbeda halnya dengan Darmin, yang justru terkenang karena pernah berjuang bersama.
"Pernah dahulu, kita pernah satu periode, menghadapi listrik swasta di era Habibie. Waktu itu, di zaman Pak Habibie. Benar-benar periode berjuang itu. Saya sekretaris timnya. Bang Buyung megang legalnya," tutur Darmin.
Meski berjuang untuk kepentingan negara dalam hal melawan listrik swasta, Darmin tak malu mengungkapkan bahwa usahanya dengan Buyung tak berhasil 100%.
"Itu yang dihadapi bukan main. Kekuatan dunia yang dihadapi. Kalau ditanya berhasil, ya tidak 100% berhasil. Tapi bagaimana prosesnya. Pada waktu itu listrik, pihak swasta sudah kontrak, rupiah juga jatuh. Tiba-tiba tarif yang disepakati terlalu mahal. Berapa tahun kita coba berunding terus," ungkap dia.
Bang Buyung meninggal di usia 81 tahun. Dia meninggalkan 4 anak, 11 cucu dan 5 cicit. Bukan hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang menjadi maha karyanya kini benar-benar berjalan sendiri, tanpa sosok 'guru dan ayah'. (Ado/Mar)