DPR Nilai Putusan MK soal Calon Tunggal Rugikan Pemilih

Masyarakat tidak terbiasa dengan mencoblos 'setuju' atau 'tidak setuju' dalam pilkada serta dianggap pemborosan anggaran.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 29 Sep 2015, 22:51 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2015, 22:51 WIB
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pilkada serentak 2015 tetap bisa berlangsung, meski sebuah daerah hanya terdapat satu pasangan calon. Komisi II DPR sebagai mitra penyelenggara pemilu berpandangan, putusan MK tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Sebab, putusan tersebut merugikan masyarakat yang tidak terbiasa dengan mekanisme seperti referendum yang mencoblos 'setuju' atau 'tidak setuju' dalam pilkada serta dianggap pemborosan anggaran negara.

‎"Kita jangan biasakan NKRI ini dengan hal-hal referendum, ini norma baru. Ini juga terjadi perdebatan, tahu-tahu referendum itu sangat bijaksana. Berikutnya, kalau diputuskan tidak setuju, apakah terus mau pemilihan lagi? Itu kan artinya pemborosan juga," kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2015).

Sebab, lanjut dia, referendum ini dapat dimanfaatkan oleh partai politik untuk mengarahkan berbagai kekuatannya dukungan politiknya untuk mempengaruhi pemilih. Ini terkait dengan materi dan massa.

"Kalau begitu lebih mudah membuat masyarakat setuju dari pada tidak. Umpama kamu sama saya, kita dorong saja seluruh parpol dan buat masyarakat setuju. Lama-lama masyarakat maunya referendum," ujar Riza.

‎Politikus Partai Gerindra ini menuturkan putusan MK juga tidak sesuai dengan semangat efesien anggaran dari pelaksanaan pilkada serentak. Sebab, putusan tersebut semakin memperlebar kemungkinan pemilihan ulang, apabila calon tunggal tidak disetujui oleh pemilih. Selain itu, MK tidak memutuskan secara tegas apakah putusan ini berlaku di Pilkada serentak 2015 atau Pilkada 2017.

"Padahal dari 269 daerah, kan cuma 3 daerah (calon tunggal). Kalau 1 persen tidak bisa puaskan semua orang," ungkap Riza.

Anggota Komisi II DPR lainnya, Arteria Dahlan menambahkan ‎putusan MK menyisakan permasalahan dalam menghasilkan pemimpin yang dipilih oleh rakyat.

"Putusan ini masih menyisakan permasalahan. Yang jadi persoalan di sini, kalau banyak pemilih tidak setuju maka pilkada tersebut harus ditunda di periode selanjutnya. Artinya tetap tidak solutif, harusnya dicarikan rumusan yang memberikan kepastian hukum di mana dalam situasi terburuk sekalipun akan terlahir pemimpin hasil pilkada serentak tanpa menunggu Februari 2017," papar Arteria.

‎Harapan

Namun, Riza Patria menghormati putusan MK tersebut. DPR pun segera menindaklanjutinya dengan merevisi UU Pilkada terutama ketentuan pencalonan kepala daerah.

‎"Ke depan kita ingin cari solusi buat regulasi jangan dorong orang monopoli. Bisa ke depan dengan bumbung kosong atau minimal 70 persen dukungan. Sehingga, ada 30 persen uang bisa buat pasangan calon kepala daerah lain," kata Riza.

Selain itu, Riza berharap ke depan, sebelum memutuskan sebuah uji materi UU, MK sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan melibatkan para pakar.

"Komisi II wakili DPR kalah dengan MK yang 9 orang. Harapan kita, MK sebelum ambil keputusan lebih bijaksana dialog undang pakar dalam rangka kurangi kontroversi," ucap Riza.

‎Sementara itu, Arteri Dahlan menambahkan putusan MK ini harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan mengubah Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur soal pencalonan kepala daerah.

"Solusinya harus bisa terkover di PKPU. Artinya KPU harus revisi PKPU pasca putusan MK yang mampu memastikan hak milih dan dipilih rakyat ini tidak tertunda. Walau saya optimis bumbung kosong akan terkalahkan dari pasangan calon terdaftar," tandas Arteria Dahlan.‎ (Bob/Ado)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya