Liputan6.com, Jakarta - Tak ada asap tak ada kebakaran hutan, tiba-tiba saja muncul kabar kalau mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharani telah ditetapkan Polda Jawa Timur sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang pemindahan kios untuk pembangunan Pasar Turi, Surabaya.
Awalnya, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharani dari Polda Jawa Timur. Dia mengaku bingung, ketika ada pernyataan dari pihak kepolisian yang menyebutkan bahwa Risma belum menjadi tersangka.
"Saya coba menanyakan dengan Kejati Jatim. Tapi ya kalau Kapolda menyatakan tidak (tersangka) ya aneh itu. Saya bahkan menerima SMS, ada nomor SPDP, ini kan nomornya (nomor SPDP) dari polisi ya. Seperti itu kira-kira. Saya belum dapat penjelasan dari Kejati," kata Prasetyo saat dihubungi di Jakarta, Jumat 23 Oktober 2015.
Advertisement
Dia menjelaskan, saat ini pihaknya akan meminta penjelasan lebih dalam terkait adanya SPDP Risma. Ia pun tidak mau berspekulasi soal apakah ini murni pidana atau ada kesalahan komunikasi di Jawa Timur, antara Polda Jatim dan Kejati Jatim.
"Coba tanyakan ke Reskrimum sana ya. Ya makanya kenapa harus seperti itu. Kalau misalnya itu enggak bener, berarti ada penyesatan. Ada upaya-upaya untuk mengganggu (pelaksanaan Pilkada). Coba tanya ke Polda, soalnya kejaksaan menerima (SPDP) itu," tutup Prasetyo.
Anehnya, pihak Polda Jatim mengatakan belum mengetahui penetapan status tersangka terhadap politisi PDI Perjuangan itu. "Saya belum dapat konfirmasi dari resersenya," kata Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.
Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Setiadji juga menegaskan perihal ini. Menurut dia, sampai saat ini penyidik belum memeriksa Risma terkait kasus ini. "Saya sampai sekarang belum terima berita dan yang bersangkutan (Risma) belum diperiksa," singkat dia.
Dugaan Rekayasa Politik
Kesimpangsiuran informasi tersebut mengundang komentar dari rekan Risma di PDI Perjuangan. Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya yang juga Juru Bicara Tim Kampanye Risma-Whisnu, Didik Prasetiyono, menegaskan adanya rekayasa politik yang ingin menjegal Tri Rismaharini untuk maju dalam pemilihan Walikota Surabaya, Desember 2015.
"Ada beberapa hal ini kami sampaikan, di antaranya hingga pukul 17.00 WIB kami belum terima konfirmasi maupun salinan SPDP, baik dari Polda Jatim maupun Kejaksaan Tinggi Jatim, tentang hal tersebut," kata Didik, Jumat malam.
Dia menambahkan, kabar Risma tersangka merupakan rekayasa untuk menjegal Risma dalam pilkada mendatang. "Rekayasa tersebut untuk mempengaruhi opini masyarakat dan merusak nama baik yang ujungnya berkeinginan mempengaruhi agar elektabilitas Risma-Whisnu turun," tegas Didik.
Didik menyatakan, pihaknya menghormati proses hukum tapi akan melawan segala bentuk rekayasa. "Kami akan koordinasikan segera hal ini dengan DPP PDI Perjuangan," jelas Didik.
Didik mengungkapkan, upaya penjegalan bukan sekali ini saja, tetapi sudah dilakukan beberapa kali, di antaranya penggagalan pencalonan hingga ujungnya adalah keinginan pembatalan Pilkada Kota Surabaya.
"Kami meminta Kapolda Jatim dan Kajati Jatim memberikan klarifikasi segera duduk masalah ini agar tidak menjadi black campaign untuk pasangan Risma-Whisnu," pungkas Didik.
Kampanye Hitam Pilkada Serentak
Adanya upaya penjegalan terhadap Risma juga dibenarkan Wisnu Sakti Buana, Ketua DPC PDIP Surabaya sekaligus pasangan Risma maju dalam Pilkada Kota Surabaya. Kabar itu dinilai sebagai kampanye hitam jelang Pilwalkot Surabaya pada Desember 2015.
"Dari hasil survei internal kita, sudah mencapai 87 persen, makanya kita melihat ini sebagai upaya politik yang cukup membabi butalah. Sudah hilang akal, hingga mempolitisir SPDP itu sebagai surat penetapan tersangka," kata Wisnu di Surabaya, Jumat malam.
Dia juga mengaku bahwa saat isu ini muncul, dirinya langsung konsultasi ke Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Yan Fitri. "Beliau menerangkan kalau SPDP ini bukan penetapan tersangka, makanya kalau pemberitaannya penetapan tersangka, ya sangat jauhlah," ujar Wisnu.
Pihaknya sangat yakin, SPDP itu bukan masalah dan sangat aneh jika di-blow-up besar-besaran. Dia berharap pihak kepolisian dan kejaksaan tetap ikut menjaga netralitas.
"Karena kami juga sangat yakin Bu Risma tidak salah apa-apa. Saya yakin 9 Desember nanti kita akan menang telak," ujar Wisnu
Tidak hanya kalangan internal PDI Perjuangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun tak kalah kaget mendengar hal tersebut. "Hah? (Tersangka) Dalam hal apa?" celetuk JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Menurut JK, Risma seharusnya tidak terkait dengan kasus Pasar Turi. "Setahu saya, kasus Pasar Turi itu kejadiannya bukan zaman Bu Risma. Yang saya tahu kebakaran itu bukan zaman dia," tandas JK.
Risma Tahu Soal SPDP
Sementara, Risma yang kini menjadi calon Walikota Surabaya mengakui dirinya pernah dipanggil sebagai saksi dalam kasus yang bermula dari tempat penampungan sementara (TPS) di sekitar gedung Pasar Turi Baru.
Risma menjelaskan, pengembang Pasar Turi Baru meminta pemerintah kota membongkar TPS yang saat itu masih ditempati pedagang. Namun berdasar aturan, mekanisme pembongkaran aset pemerintah daerah harus melalui teknis-teknis yang melibatkan DPRD Surabaya.
Di sisi lain, Risma masih memikirkan nasib para pedagang yang tidak mampu menyewa gerai di gedung Pasar Turi Baru.
"Apakah salah kalau saya memikirkan nasib warga saya (pedagang) yang tidak mampu membayar tarikan-tarikan yang nggak masuk akal itu. Saya harus melindungi warga saya," tutur Risma di Gedung Wanita Jalan Kali Bokor Surabaya, Jumat malam.
Risma menambahkan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan SPDP tersebut memang sudah dikeluarkan Mei 2015 lalu dan statusnya sebagai saksi. "Kalau soal SPDP itu sudah lama. Sudah sejak bulan Mei munculnya," tandas Risma.
Keterangan Risma didukung oleh kuasa hukum 7 Asosiasi Pedagang Pasar Turi penghuni tempat penampungan sementara (TPS), I Wayan Titip. Dia menilai penetapan Risma sebagai tersangka adalah upaya menjatuhkan calon walikota petahana. Diduga, ada upaya-upaya tertentu untuk merusak citra Risma.
"Bu Risma tidak mungkin menyalahgunakan wewenangnya menyangkut kasus Pasar Turi," kata Wayan, Sabtu 24 Oktober.
Wayan menjelaskan, sebelum Pasar Turi dibangun, termasuk TPS, sudah mendapat restu dari Pemkot Surabaya. Bahkan dana anggaran pembangunan yang diambil dari APBD senilai Rp 18 miliar itu, juga disokong dari Pemprov Jawa Timur sebesar Rp 5 miliar.
"Kan sudah disetujui. Jadi ini akal-akalan kontraktor saja. Jadi saya tidak heran kalau ada yang menjatuhkan Bu Risma secara terus-terusan," imbuh Wayan.
Konfirmasi dari Kepolisian
Keterangan yang lebih jelas kemudian disampaikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang menyatakan pihaknya sudah menerima informasi terkait status tersangka Risma.
Sepengetahuan Badrodin, penyidikan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pemindahan kios pembangunan di Pasar Turi, Surabaya itu telah dihentikan Polda Jatim.
"Jadi informasi sementara sekitar sebulan yang lalu, penyidikannya sudah dihentikan. Tapi kok ini bisa ramai lagi, saya enggak tahu nih," ucap Badrodin saat dihubungi di Jakarta.
Mantan Kapolda Jatim ini memastikan, pihaknya akan mengonfirmasi langsung terkait status tersangka itu. "Tapi ini masih saya cek dulu benarnya gimana, nanti dulu ya," pungkas Badrodin.
Polda Jatim pun akhirnya buka suara dan segera menggelar konferensi pers. Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim, Kombes Pol Wibowo menjelaskan, masalah ini bermula dari adanya pembangunan di Pasar Turi usai kebakaran yang kemudian terjadi relokasi.
"Setelah kejadian itu, ada suatu laporan yang masuk di Ditreskrimum pada tanggal 21 Mei dengan pelapor atas nama Adhy Samsetyo dengan terlapor Tri Rismaharini," tutur Wibowo di Mapolda Jatim, Surabaya, Jumat malam.
Wibowo menambahkan, dari laporan itu pihaknya segera memproses penyidikan dengan adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pada 28 Mei 2015. Pihaknya menyangkal adanya SPDP di luar tanggal tersebut.
"Kami sampaikan bahwa tidak ada SPDP yang per tanggal 30 September, bahwa itulah surat SPDP kita yang diterima Kejaksaan Tinggi," ucap Wibowo.
"Jadi SPDP Bu Risma ini hanya satu, yang per tanggal 28 Mei bukan tanggal 30 September," imbuh dia.
Wibowo menegaskan tidak ada bukti keterlibatan Risma dalam kasus tersebut. Hal ini setelah pihaknya memproses penyidikan mulai dari pemanggilan saksi-saksi, maupun alat bukti, bahkan sampai pada tingkat gelar perkara.
"Bahwa kasus ini tidak ditemukan ada suatu cukup bukti terhadap sangkaan tindak pidana yang dilakukan oleh Bu Risma. Ini nanti akan segera kami lakukan penghentian," pungkas Wibowo.
Pembocor di Kejati Jatim
Dengan adanya kejelasan itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, semua pihak harusnya tak membikin gaduh menjelang penyelenggaraan pilkada serentak yang dimulai 9 Desember mendatang, seperti kasus Risma ini.
Kabar penetapan Risma sebagai tersangka dihembuskan oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat (Kasipenkum Humas) Kejaksaan Tinggi Jatim, Rony Arizyanto berdasarkan SPDP Polda Jatim yang diterimanya. Namun, SPDP yang diterima Kejati Jatim pada 28 Mei 2015, baru dibocorkan oleh Kejati Timur sekarang ini.
"Contoh-contoh kecil yang bikin gaduh, masalah (SPDP) keluarnya Mei, kenapa baru sekarang (dibacakan)?" ucap Tjahjo di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Sabtu.
Karenanya, Tjahjo menduga ada 'udang di balik batu' terkait pengumuman sprindik Polda Jatim itu oleh Kejati Jatim. Dalam arti, masalah 'tersangka' Risma ini sangat bermuatan politis. "Pasti dong (politis)," ucap mantan Sekjen PDI Perjuangan itu.
Karenanya, Tjahjo geram dengan masalah yang menyeret nama Risma ini. Apalagi, Risma tengah mencalonkan diri kembali dalam Pilkada Kota Surabaya 2015. "Tidak ada tersangka, kok munculnya tersangka," kata Tjahjo.
Untuk itu, Tjahjo mendesak agar Jaksa Agung berani mengambil langkah untuk mengganti Rony dari posisinya sebagai Kasie Penkum dan Humas Kejati Jatim. Sebab, masalah itu telah menimbulkan kegaduhan politik menjelang pilkada serentak yang dimulai 9 Desember mendatang.
"Masalah Ibu Risma itu kan masalah perdata, untuk urusan pasar, seorang walikota membagi lapak dan sebagainya. Kepolisian mendapat laporan ya memang wajib menindaklanjuti. Tapi yang membocorkan itu yang harus diganti. Karena bikin gaduh kayak begini ini," tegas Tjahjo.
"Surat itu diserahkan Mei, kok dibacakan sekarang sama Humas Kejati Jatim. Ya ganti saja (humasnya)," pungkas Tjahjo.
Jika analisa Tjahjo kalau ini bagian dari kegaduhan yang diciptakan menjelang pilkada serentak 2015 benar, maka besar kemungkinan kegaduhan lain akan muncul di daerah lain yang juga menggelar pilkada akhir tahun ini.
Politik sejatinya memang tak boleh bermain di wilayah hukum. Namun, hal itu kerap tak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Pilkada tahun ini pun akan menjadi batu ujian bagi keteguhan sistem hukum kita ketika berhadapan dengan pengaruh politik yang tak terlihat namun bisa dirasakan. (Ado/Ali)