Liputan6.com, Jakarta - Tim Kuasa Hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto mempermasalahkan alat bukti yang diajukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said saat melaporkan kliennya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Setya dilaporkan atas kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam proses perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Alat bukti yang dimaksud adalah rekaman percakapan yang diduga dilakukan kliennya dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan pengusaha Reza Chalid.
Anggota tim kuasa hukum Setya Novanto, Firman Widjaja menyatakan, pihaknya sedang mendalami keabsahan dan kewenangan Sudirman Said dalam menggunakan rekaman tersebut sebagai alat bukti sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE).
Baca Juga
"Kita sebagai penasehat hukum sedang mendalami. Ini juga penting bagi siapapun tentang keabsahan alat bukti, perolehan alat bukti, dan otoritas penggunaan alat bukti yang harus memperhatikan Undang-Undang ITE karena ini berkaitan dengan aktivitas penyadapan atau interception," kata Firman usai bertemu Setya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/11/2015).
Menurut Firman, tim kuasa hukum telah memberikan masukan-masukan dari sisi hukum kepada Setya terkait rekaman tersebut. Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11/2008, lanjut Firman, penyadapan hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang seperti Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas seizin pengadilan.
"Ini semua tentu ada otoritasnya. Nah, ini perlu penelitian yang mendalam terhadap bukti yang saat ini ada di MKD. Jangan sampai alat bukti ini bermasalah dari sudut validitasnya termasuk salah otoritasnya. Dalam UU ITE dilarang yang tidak berwenang sehingga dijadikan alat bukti kecuali otoritas yang diberikan dalam UU ITE," papar dia.
Namun, kata dia, Setya Novanto mengharagi proses yang berlangsung di MKD DPR.
"Pak Ketua DPR berpesan sama-sama kita menghormati marwah dan kehormatan MKD," tandas Firman. (Din/Mut)