Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembelian helikopter kepresidenan baru dengan jenis AgustaWestland AW-101 menuai pro dan kontra. Proses pembelian helikopter kepresidenan itu diajukan dan diproses oleh Sekretariat Negara.
Rencana itu mendapatkan kritikan dari Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq. Sebab, yang menjadi mitra Komisi I DPR adalah Kementerian Pertahanan. Sementara Setneg bukan mitra komisi yang membidangi masalah pertahanan, luar negeri, komunikasi informatika, dan intelijen itu.
"Yang saya dengar itu ada di Sekretariat Negara. Nah saya tidak mengerti apa yang jadi pertimbangan Setneg," ujar Mahfudz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Senin 23 November 2015.
"Karena Setneg bukan mitra Komisi I DPR, jadi kita tidak pernah bahas program itu di Komisi I. Di Kemhan/TNI sendiri tidak ada program pengadaan helikopter VVIP baru," imbuh dia.
Baca Juga
Baca Juga
Menurut Mahfudz, helikopter Kepresidenan yang lama, yakni jenis Super Puma buatan 1980 masih bisa digunakan. Dia mengatakan, walaupun sudah lebih dari 10 tahun, helikopter kepresidenan jarang dipakai. Karena itu usia pakainya dinilai masih cukup panjang.
Advertisement
"Dengan pesawat yang ada saja sebetulnya masih memadai, karena kita punya 2 heli Super Puma VVIP, itu kan dirawat dengan baik oleh TNI AU," sambung dia.
Dia menuturkan, 'Capung besi' buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) itu juga bisa diubah interiornya hingga bisa sekelas AgustaWestland AW-101.
"Itu (helikopter) kan dimodifikasi saja. Kalau soal interior, itu perkara mudahlah, karena tidak menyangkut teknologi. Jadi kalau betul memang ada kebutuhan yang sangat mendesak, pesawat helikopter kepresidenan yang baru, ya menurut saya lebih baik memprioritaskan produksi dalam negeri," ucap dia.
"Wong kita bisa kok, PT DI sudah lama memproduksi helikopter berbagai kelas," imbuh Mahfudz. (Ndy/Mvi)