Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Baleg DPR: Saat Ini Butuh Sejumlah Revisi Undang-Undang

Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan MK menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold merupakan momentum untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU).

oleh Tim News diperbarui 05 Jan 2025, 19:02 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2025, 19:02 WIB
Peran sentral Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia sangat terasa usai berhasil membawa Partai Golkar meraih suara cukup tinggi pada Pemilu 2024. Hal tersebut seperti disampaikan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda.
Peran sentral Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia sangat terasa usai berhasil membawa Partai Golkar meraih suara cukup tinggi pada Pemilu 2024. Hal tersebut seperti disampaikan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislatif atau Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (putusan MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold merupakan momentum untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) terkait Pemilu. Mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada sampai UU Partai Politik.

"Jadi putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden itu tidak akan punya makna besar kalau tidak diikuti dengan penyempurnaan sistem Pemilu bahkan sistem politik dan demokrasi kita," ujar Doli, dalam keterangannya, Minggu (5/1/2025).

"Itu jugalah kenapa MK pada setiap putusannya selalu memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk menindak lanjutinya dengan revisi UU secara komprehensif, bukan sekedar pasal per pasal," sambung dia.

Doli mengatakan, saat ini bola berada di tangan pemerintah dan para Ketua Umum Partai Politik untuk mendorong pembentukan Undang-Undang dan DPR segera melakukan revisi UU terkait Pemilu.

"Oleh karena itu, 'bola' sekarang ada di tangan Presiden dan para Ketua Umum Partai Politik agar mendorong Pemerintah dan DPR untuk bisa meng-konkret-kan agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik untuk segera dimulai," ujar Doli.

Menurut Doli, penghapusan ambang batas bukan satu-satunya solusi untuk menjawab masalah kepemiluan di Indonesia. Karena itu butuh revisi Undang-Undang secara komprehensif.

"Kita harus memaknai bahwa putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden oleh MK itu bukanlah jawaban yang menyelesaikan seluruh problematika ke-Pemilu-an kita," kata dia.

"Presidentially Threshold cuma salah satu isu dari sekian banyak isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem Pemilu kita," tandas Doli.

 

Reporter: Alma Fikhasari (Merdeka.com)

 

MK Hapus Syarat Ambang Batas 20 Persen untuk Pencalonan Presiden

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis 2 Januari 2025.

MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.

Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

 

Terbatasnya Hak Konstitusional

Tim Hukum Banjarbaru Hanyar Kalimantan Selatan
Tim Hukum Banjarbaru Hanyar (Haram Manyarah) di depan gedung MK. (Liputan6.co/ist)

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.

Dia berharap semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.

 

Jika Dibiarkan, Bisa Muncul Calon Tunggal

Dukung Mahkamah Konstitusi, Akademisi dan Aktivis Kritisi Sikap DPR
Forum Guru Besar menilai sikap DPR yang ingin menganulir putusan MK adalah bentuk ancaman serius terhadap demokrasi dan konstitusi Indonesia. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi," sebut Saldi.

Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya