Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, menilai sidang yang digelar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto tak substantif. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tak fokus terhadap dugaan pelanggaran etik oleh Setya Novanto dan justru melebar ke mana-mana.
"Proses yang kita saksikan 2 kali sidang ini, harusnya sidang etik, karena ini bukan pidana. Pertanyan-pertanyaan MKD jauh sekali dari substansi pokok persoalan yang terjadi," ucap Sebastian usai diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015).
Meski demikian, lanjut Sebastian, melencengnya pertanyaan MKD dari pokok permasalahan tak bisa dikendalikan. Namun, justru akibat melebarnya pertanyaan-pertanyaan MKD, justru persoalan lain malah terungkap.
"Dengan demikian ini bisa mendorong proses yang lain, yaitu proses hukum dan bisa ditindaklanjuti oleh DPR dalam rapat dengan mitra kerja atau rapat dengar pendapat misalnya," ujar dia.
Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, sejatinya kata Sebastian, MKD membuat jebakan untuk mereka sendiri. Apalagi, sidang tersebut transparan dan terbuka untuk dipublikasikan. Sehingga masyarakat mengetahui persoalan lain yang terungkap.
Baca Juga
"Kalau semua ini transparan ke publik, lalu publik sudah punya kesimpulan sendiri, kita tunggu kesimpulan MKD nanti apa. Saya khawatirkan dengan begitu banyak pertanyaan ke saksi dan pengadu, MKD jadi bingung buat kesimpulan. Padahal buat saya tidak perlu banyak untuk buktikan atau tidak kepada Setya Novanto," ujar dia.
Setya Bisa Turun
Sebastian menambahkan, bahwa Setya bisa turun dari jabatannya sebagai Ketua DPR jika dia terbukti melanggar etik dan sanksi yang diberikan MKD nantinya masuk kategori sedang atau berat. Sebab, dalam kasus dugaan pelanggaran etik ketika pimpinan DPR bertemu kandidat calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Setya sudah mendapat sanksi teguran lisan.
"Novanto kan sudah mendapat sanksi teguran lisan karena ketemu dalam kampanye Trump. Kalau dia terbukti melanggar lagi, maka dia kena pelanggaran sedang. Kalau pelanggaran sedang maka Setya mundur dari Ketua DPR. Tapi kalau pelanggarannya berat, maka tidak cuma berhenti jadi Ketua DPR, tapi berhenti juga jadi anggota DPR," kata Sebastian.
Namun, soal kemungkinan Setya turun dari Ketua DPR ada beberapa kemungkinan lain yang menyertai. Misalnya ada kompromi antara pimpinan DPR bahwa pengganti Setya nantinya berasal dari Partai Golkar juga. Atau pergantian seluruh pimpinan DPR sebagai akibat dari terbuktinya pelanggaran etik berat Setya.
"Kalau itu terjadi, ini perubahan yang cukup radikal (di tubuh DPR). Jadi kita lihat saja perkembangannya dari proses yang ada," kata Sebastian.
Sebagai informasi, MKD DPR sudah menggelar 2 kali sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto terkait pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden soal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Sidang ini merupakan buntut dari pelaporan Menteri ESDM Sudirman Said atas dugaan lobi dan permintaan saham oleh Setya jika berhasil memuluskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Dalam sidang itu, MKD telah meminta keterangan Sudirman dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Syamsudin.‎ Kedua orang itu mendapat banyak cecaran pertanyaan dari MKD.