Tindakan AM Fatwa Paksa Ketua DPD Teken Tatib Dinilai Tak Etis

Apa yang telah dilakukan AM Fatwa justru bisa diajukan ke Badan Kehormatan

oleh Liputan6 diperbarui 29 Mar 2016, 22:47 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2016, 22:47 WIB
AM Fatwa Pimpin Perolehan Suara Sementara DPD DKI Jakarta
Calon incumbent atau petahana ini meraih meraih 172.875 suara.

Liputan6.com, Jakarta - Tindakan Ketua Badan Kehormatan DPD RI, AM Fatwa yang memaksa pimpinan DPD menandatangani usulan draf tatib masa jabatan 2,5 tahun dinilai tidak dewasa.

"Kami dulu juga pengusung ide 2,5 tahun, tetapi tidak kasar seperti ini. Tindakan ini memalukan dan menurut saya perlu diambil tindakan tegas," kata Mantan anggota DPD RI periode 2004-2009, M.Yunus Syamsuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (29/3/2016).

Sidang paripurna DPD pada Kamis 17 Maret 2016 malam berlangsung ricuh. Kericuhan terjadi setelah AM Fatwa memaksa Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad menandatangani draf usulan tatib. Selanjutnya AM Fatwa dkk menduduki kursi pimpinan begitu Irman dan Farouk meninggalkan ruang sidang paripurna.

Berdasarkan pengalamannya menjadi anggota DPD, Yunus menegaskan tindakan AM Fatwa itu tak lazim dilakukan. Karena tidak pernah ada proses penandatanganan dokumen dalam sidang paripurna. 

Yunus menjelaskan, seharusnya AM Fatwa memberikan contoh yang baik sebagai seorang politisi senior.

"Aneh juga, jika AM Fatwa melakukan tindakan pemaksaan kepada pimpinan untuk menandatangani konsep tatib yang akan diberlakukan, namun kenyataannya agenda meminta tanda tangan kepada pimpinan di sidang Paripurna tidak mendapat persetujuan dari pleno Badan Kehormatan," ujar dia.

Menurut Yunus, apa yang telah dilakukan AM Fatwa justru bisa diajukan ke Badan Kehormatan. "Layak untuk diajukan ke Badan Kehormatan sebagai bentuk pelanggaran etika," ucap dia.

Anggota DPD RI asal Sulawesi Utara, Marhany juga menyayangkan terjadinya konflik yang membuat nama DPD RI menjadi semakin terpuruk di mata publik. Jika bisa menahan diri, seharusnya isu ini terkelola di internal di DPD RI.

"Sikap dewasa berpolitik harusnya dikedepankan," kata Marhany.

Menurut dia, secara pribadi dirinya tidak setuju jika masa jabatan pimpinan DPD RI dipotong hingga 2,5 tahun karena tidak sesui dengan UUMD3. "Masa jabatan pimpinan DPD RI semestinya mengikuti rezim hasil pemilihan umum yaitu lima tahun," jelas Marhany.

Di sisi lain, kata Marhany, pimpinan DPD RI saat ini tidak pernah melanggar etika sebagai pimpinan sehingga tidak ada alasan mengganti mereka di tengah jalan.

"Justru yang harus kita lakukan adalah memperkuat posisi DPD RI dalam sistem tata negara dan menjadikan lembaga ini semakin berdaya guna bagi kepentingan daerah dan rakyat," tegas dia.

Pengamat politik dari Institute of Democracy and Education (IDE), Hasan Basri melihat ada upaya kudeta yang dilakukan secara sistematis terhadap pimpinan DPD RI. Kudeta ini dilakukan lewat isu memotong masa jabatan pimpinan menjadi 2,5 tahun itu.

Hasan mengingatkan agar upaya kudeta lewat isu 2,5 tahun dihentikan karena bisa mengganggu stabilitas politik nasional dan hanya merugikan kepentingan daerah dan rakyat.

"DPD RI lebih baik fokus kepada hal-hal substantif," ujar Hasan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya