Liputan6.com, Jakarta - DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta menerbitkan surat instruksi untuk Fraksi PDIP agar menghentikan pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) reklamasi di DPRD DKI Jakarta. Surat tersebut diterbitkan Plt Ketua DPD PDIP DKI Bambang Dwi Hartono dan bertanggal 2 April 2016 dan bernomor O30IN/DPD.03IV/2016.
Surat Instruksi itu terbit sebagai respons setelah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap Raperda Zonasi.
Dua raperda tersebut adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Raperda Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Baca Juga
"Dengan adanya kondisi sekarang ini, masalah OTT Sanusi, PDIP memutuskan untuk menginstruksikan fraksi supaya menghentikan pembahasan raperda zonasi dan tata ruang," ujar Sekretaris DPD PDIP Prasetio Edi Marsudi di Gedung DPRD DKI, Senin (4/4/2016).
Dengan keluarnya instruksi tersebut, maka Fraksi PDIP tidak akan ikut melanjutkan pembahasan Raperda zonasi.
"Saya sebagai Ketua DPRD sekaligus Sekretaris DPD PDIP DKI, kita punya komitmen yang sama. Kita semua berniat baik soal raperda ini. Tetapi ada kondisi terjadi OTT kepada rekan kami Sanusi sehingga DPD memutuskan untuk menghentikan pembahasan," ujar Prasetio.
KPK menangkap tangan anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Gerindra M Sanusi. Penangkapan tersebut terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Taufik Bantah Ahok Soal Reklamasi
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik membantah semua keterangan Pemprov DKI terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Taufik membantah dirinya yang disebut Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai pengusul agar kewajiban pengembang turun dari 15 persen menjadi 5 persen.
Menurut Taufik, yang dipermasalahkan oleh DPRD pada raperda tersebut adalah pencantuman izin pelaksanaan reklamasi bukan masalah kewajiban pengembang.
"Enggak masalah buat kita (15 persen). Yang ada masalah di perda itu sebenarnya soal izin. Kita tidak mau mencantumkan izin," ujar Taufik di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (4/4/2016).
Soal kewajiban pengembang, lanjut Taufik, tak pernah ada penyebutan besaran kewajiban bagi pengembang. Taufik mengatakan, kalau Ahok ingin mempertahankan kewajiban pengembang, maka penyebutannya dimasukkan dalam pergub tanpa melibatkan DPRD DKI.
"Yang namanya tambahan itu, bukan di perda, tapi di pergub. Coba aja lihat di Perda, ada enggak? enggak ada. Semuanya ada di Pergub," kata Taufik.
Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi Gerindra tersebut mengatakan aturan terkait penghitungan tambahan kontribusi tambahan tidak akan dipaparkan secara detail dalam perda, melainkan akan diatur dalam pergub atau peraturan gubernur.
"Di Perda enggak ada hitung-hitungannya, semuanya ada di pergub. Makanya, Pemprov DKI bisa narik keuntungan," imbuh dia.
Sebelumnya, Ahok mengatakan DPRD DKI sempat berupaya melobi dirinya agar menghilangkan kewajiban pengembang sebesar 15 persen.
"Kalian tanya sama Bu Tuti, Pak Sekda, Pak Yusuf, Pak Oswar. Beliau pergi membahas di Balegda. Suatu pagi, datang ke saya. Ini DPRD mau minta ubah 15%, mau dihilangkan, dan mau dianggap hitungan 5% seperti Keppres saja," beber Ahok.
Namun, dengan tegas Ahok menolak sebab yang mengusulkan adanya tambahan kewajiban 15 % dari pengembang adalah dirinya. Ahok bahkan membubuhkan catatan di dalam kertas berisi masukan dari legislatif kepada Pemprov DKI untuk menyelaraskan isi Raperda.
"Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi," ujar Ahok.
Ahok pun sempat mengancam akan memenjarakan anak buahnya yang berani melawan disposisinya tersebut.
Advertisement
KPK Klarifikasi Soal Cekal
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi klarifikasi mengenai pencegahan ke luar negeri yang dimintakan ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM terkait kasus dugaan suap Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Menurut Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, KPK hanya meminta pencegahan terhadap 2 orang, yakni Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Arieswan Widjaja dan Chairman PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan.
Khusus untuk Ariesman, KPK mencegahnya ke luar negeri karena sebelum menyerahkan diri, Ariesman sempat tidak diketahui keberadaannya.
"Saya ingin memberikan info pencegahan, karena banyak simpang siur. Bahwa sampai saat ini KPK hanya cegah untuk dua nama. Pertama Sugiyanto Kusuma. Kedua Ariesman yang pada Jumat lalu sudah menyerahkan diri ke KPK," ucap Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Senin (4/4/2016).
Dia membantah kabar adanya pihak lain yang turut dicegah. Kabar yang beredar, seorang berinisial ST yang disebut-sebut Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Tidak ada yang dicegah lagi, hanya ada dua nama," ujar Yuyuk.
Sebelumnya, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja.
Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Di mana kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.
Disinyalir pembahasan itu mandeg salah satunya lantaran para perusahaan pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah. Kewajiban itu yang menjadi salah satu poin dalam draf Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.
Para perusahaan diduga ngotot menginginkan hanya 5 persen dari NJOP yang dibayarkan ke pemerintah. Ditengarai terjadi tarik-menarik yang alot antara perusahaan dan pembuat undang-undang mengenai hal itu sebelum raperda itu disahkan menjadi perda.
Adapun selaku penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.