Dubes AS: Pemasok Senjata ke Paspampres Tak Punya Izin Ekspor

Hal yang dilakukan oleh Audi Sumilat, ditegaskan Blake, merupakan bentuk pelanggaran hukum di AS.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 11 Jul 2016, 18:30 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2016, 18:30 WIB
2016118_Pengamanan-Ketat-Presiden-Jakarta-FF
Petugas paspampres dengan senjata lengkap berjaga diluar acara yang dihadiri Presiden di Jakarta, Senin (18/1). Pengamanan ketat terhadap Presiden tersebut dilakukan pasca teror bom pada Kamis (14/1) dikawasan MH.Thamrin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake angkat bicara terkait isu penjualan senjata ilegal yang dilakukan warga AS ke Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Blake mengaku sudah mendengar kabar tersebut. Dia pun tak menyangkal adanya pemberitaan itu. Tak cuma hal tersebut, Blake mengakui sudah tahu siapa warga AS yang menjual senjata ke Paspampres RI.

"Fakta dari kasus ini adalah, warga AS bernama Audi Sumilat oleh pengadilan federal telah diputuskan bersalah karena berkontribusi dalam menyelundupkan senjata ke Paspampres RI," sebut Blake di kantornya, Senin (11/7/2016)

Hal yang dilakukan oleh Audi, menurut Blake, merupakan bentuk pelanggaran hukum AS. Pasalnya, Audi Sumilat tidak memegang lisensi untuk mengekspor senjata ke Indonesia.

"Masalahnya, setiap orang memang biasa membeli senjata di Amerika. Namun, dia tidak memenuhi aturan dan tidak punya izin ekspor," papar Blake.

"Itu sebabnya, dia diadili di Pengadilan Federal  Amerika Serikat," sambung dia.

Seorang tentara Angkatan Darat AS mengaku terlibat dalam skema pembelian senjata dan mengirimnya ke pasukan pengamanan presiden dan wakil presiden (Paspampres) Indonesia.

Ia mengaku bersalah atas beberapa tuduhan di pengadilan federal pada Rabu 6 Juli 2016 waktu setempat.

"Audi Sumilat mengaku bersalah dan pembacaan vonis dilakukan pada Oktober 2016.," ungkap kantor Jaksa AS di New Hampshire seperti dikutip dari Military US, Sabtu (9/7/2016).

Pria berusia 36 tahun menghadapi ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda $250 ribu atau sekitar Rp 3,2 miliar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya