Rokok Kretek, Bermula dari Obat Sakit Dada Haji Djamhari

Berawal dari obat untuk menyembuhkan sakit dada, cengkeh yang ditaburkan dalam tembakau, bertransformasi menjadi rokok kretek yang mendunia.

oleh Djibril Muhammad diperbarui 22 Agu 2016, 19:52 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2016, 19:52 WIB
Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Jakarta - Di dalam rumah, tembakau dilinting, dan dibungkus dengan kulit jagung. Tak lama kemudian, api menjalar di gulungan tembakau. Itulah rokok Indonesia bermula. Tidak sampai akhir abad ke-19 orang-orang mulai menambahkan cengkeh untuk rokok. Penemuan kretek, yang direkam sejarawan Onghokham, terjadi antara 1870 hingga tahun 1880.

Inovasi tersebut sebenarnya sebuah ketidaksengajaan. Sebab, bermula dari obat untuk menghilangkan rasa sakit dada, rokok bercampur cengkeh itu, bertransformasi menjadi rokok kretek.

Adalah Haji Djamhari yang memulai itu semua, sosok legendaris yang tinggal di Kota Kudus pada abad ke-19. Ia diyakini sebagai penemu atau peracik pertama kretek. Awalnya Djamhari mangaku sakit dada yang diduga karena asma. Ia pun mengambil minyak cengkeh dan mengoleskannya di dada dan punggung. Hasilnya, mujarab. Rasa sakit di dadanya berkurang.

Melihat penemuan itu, ia langsung meningkatkan dengan mengunyah cengkeh. Ternyata hasil lebih baik dirasakannya. Merasakan hasil yang maksimal, ia pun merajang cengkeh hingga halus kemudian ditaburkannya pada tembakau yang ia gunakan untuk merokok. Dan lagi-lagi, cengkeh yang dikombinasikan dalam tembakau tersebut, membuat penyakitnya sembuh.

Penemuan berhasil, ia lantas menyerbarluaskannya. Orang-orang yang dikenalinya mulai mencoba tembakau cengkeh. Kretek merupakan kombinasi tembakau dan cengkeh. Sedangkan kata 'Kretek' didapat dari bunyi gemeretak cengkeh yang timbul ketika rokok dibakar.

Tren ini berlangsung cepat dalam beberapa tahun kemudian di mana rokok kretek mulai diproduksi secara komersial. Djamharimulai memproduksi dan memasarkan penemuannya. Dengan meningkatnya popularitas kretek, berbagai industri rumahan turut menjamur memproduksi rokok kretek.

Kretek temuan Haji Djamhari ternyata sangat digemari masyarakat, sehingga terus berkembang. Dari Kudus pembuatan kretek menjalar ke kota-kota lain meliputi Semarang, Surakarta bahkan melintas ke Jawa Timur. Produsennya pun tidak hanya kalangan pribumi, tetapi juga keturunan China. Mungkin Djamhari tidak pernah menyangka idenya soal rokok kretek bisa menjelma menjadi sebuah industri besar. Tentu dengan penyempurnan dan pengembangan di sana sini.

Industri Rokok Kretek

Ilustrasi Pajak Rokok 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)


Haji Djamhari meninggal pada 1890. Ia wafat sebelum era produksi massal dari rokok kretek. Warga Kudus lainnya  Nitisemito mulai memproduksi secara massal rokok kretek. Ia menerapkan dua strategi dalam memasarkan produknya itu.

Langkah pertama, Nitisemito mengeluarkan mereknya sendiri dengan label 'Bal Tiga.' Dari merek ia membangun citra. Ia lantas memilih Jepang untuk memproduksi semua merek-mereknya. Tak lupa, ia memberikan hadiah secara cuma-cuma kepada para perokok setianya. Syaratnya, jika para pelanggannya itu mengembalikan bungkus kosong rokoknya.

Strategi kedua, mensubkontrakkan berbagai tanggung jawab produksi rokoknya. Seperti, soal kebutuhan para pekerja, Nitisemito memilih perusahaan khusus yang menangani. Sedangkan soal penyediaan tembakau, cengkeh dan sausnya berada dalam tanggung jawab Nitisemito. Pabrik rokok kretek yang lain pun langsung menerapkan strategi yang sama. Praktik bisnis itu pun berlanjut hingga pertengahan abad ke-20. Hal itu terlihat ketika perusahaan-perusahaan mulai merekrut para karyawan sendiri untuk menjamin kualitas dan loyalitas.

Rokok putih menemukan momentumnya, pada era 1960-an. Sebab, konsumsi rokok kretek mandek. Pangkalnya, rokok putih memberikan citra perokoknya lebih prestisius. Kondisi berbalik, yakni pada era 1970-an. Industri rokok kretek berevolusi dan berjaya hingga kini.

Pada pertengahan 70-an, kondisi ekonomi yang meningkat menarik investasi luar negeri ke Indonesia. Pemerintah menginvestasikan arus masuk uang ini untuk mengembangkan industri pribumi, dan menawarkan pinjaman berbunga rendah kepada produsen rokok kretek.

Rokok kretek buatan mesin juga pertama kali muncul pada era ini, sehingga pembuatan kretek dapat diotomatisasi. Bentuk dan ukuran rokok kretek jenis baru yang seragam ini menjadi kesukaan kalangan atas, dan pada akhir 70-an, rokok kretek telah bersaing langsung dengan merek luar negeri.

Akhirnya, kebijakan transmigrasi pemerintah pada era 70-an turut memastikan bahwa rokok kretek tersebar ke seluruh penjuru nusantara. Transmigrasi yang bertujuan mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dengan memindahkan masyarakat ke pulau-pulau lain ini mendorong perusahaan kretek untuk memperluas distribusinya secara nasional.

Rokok di Indonesia

Pabrik (Ilustrasi)
Sejumlah pekerja menyelesaikan proses pelintingan rokok di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jateng, Selasa (8/4). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)


Mengenai pastinya kapan rakyat Indonesia mulau merokok, belum diketahui secara pasti. Thomas Stamford Raffles dan De Condolle menjelaskan kebiasaan merokok dan tembakau sudah ada di Pulau Jawa sekitar 1600. Tembakau hadir di Indonesia ketika dibawa pedagang dari Portugis. Tembakau (tembako dalam bahasa Jawa) secara fonologis lebih dekat dengan kata "tumbaco" dalam bahasa Portugis.

Dalam buku yang berjudul "Rokok Kretek, Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1987)" Amen Budiman dan Onghokham menulis, Sultan Agung Raja Mataram tahun 1613-1645 merupakan seorang perokok berat.

Solichin Salam mengungkapkan orang-orang Indonesia memiliki kebiasaan menggulung rokoknya sendiri, dengan cara yang amat sederhana susunan maupun bentuknya.

"Oleh sebab itu rokok bagi penduduk asli di Indonesia di zaman itu belum merupakan dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh misalnya, atau damar dan akar-akar wangi, bentuk kesederhanaan rokok itu mulai beralih ke arah barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan," tulis Solichin dalam bukunya, 'Kudus dan Sejarah Rokok Kretek,' 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya