PBNU: Politisasi Masjid Resahkan Umat, Menag Harus Turun Tangan

Menurut Wasekjen PBNU Imam Pituduh, masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai simbol akulturasi kebudayaan.

oleh Sunariyah diperbarui 01 Apr 2017, 16:26 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2017, 16:26 WIB
Wakil Sekretaris Jenderel PBNU H. Imam Pituduh
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Imam Pituduh (tengah) saat berdialog dengan takmir masjid di Jakarta, Jumat (31/3/2017). Dialog tersebut untuk menolak politisasi masjid dan melawan radikalisme agama. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Maraknya spanduk-spanduk yang berisi penolakan untuk menyalati jenazah pendukung salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI di masjid, membuat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) angkat suara.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Imam Pituduh megatakan, tidak tepat jika ruang agama ditarik untuk kepentingan politik.

Terkait hal ini, Imam menegaskan, politisasi masjid harus segera dihentikan. Sebab, hal ini bertentangan dengan kaidah dan fungsi masjid sesungguhnya.

"Karena masjid adalah rumah Tuhan untuk semua orang, semua golongan. Masjid simbolnya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai simbol akulturasi kebudayaan," ujar Imam saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (1/4/2017), di Jakarta.

Arsitektur masjid, lanjut dia, merupakan hasil akulturasi budaya. Dia mencontohkan, kubah yang berasal dari kultur dan arsitektur Nasrani, juga menara yang berasal dari kebudayaan dan arsitekstur Zoroaster.

Imam juga mencontohkan Masjid Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya Hindu. "Lihat menara Masjid Kudus, akulturasi budaya Hindu, bahkan tempat wudunya itu ada patung-patung kecil," papar dia.

Menurut Imam, keberadaan Masjid Kudus ini sebagai tanda para wali atau kiai zaman dulu mengajarkan bahwa masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga simbol dari akulturasi kebudayaan untuk menciptakan kehidupan yang damai dan toleran.

"Jadi kalau ada yang sampai jadikan masjid eksklusif dan dipolitisasi, apalagi tidak mensalati umat yang memilih paslon (pasangan calon kepala daerah) berbeda, wah itu salah besar itu, bertentangan dengan kaidah Islam yang sesungguhnya," kata Imam.

Guna mencegah meluasnya penyalahgunaan fungsi masjid, Imam menyerukan kepada pemerintah untuk segera hadir menegakkan lagi bahwa fungsi masjid bukan untuk politisasi.

"Khususnya Menteri Agama, Kementerian Agama tidak hadir di sini. Menteri Agamanya harus hadir untuk meluruskan hal ini. Selama ini mereka membiarkan, memberikan ruang, harusnya Menteri Agama menginstruksikan kepada seluruh jajaran di bawahnya untuk tidak mempolitisir masjid," ujar Imam.

Imam menilai, politisasi masjid telah meresahkan umat. Sehingga Menteri Agama harus secepatnya turun tangan mencegah meluasnya hal ini.

Dia juga mencurigai, aksi politisasi masjid sebagai akibat dari berkembangnya anti pluralisme, anti pemerintah, anti paslon tertentu, dan bahkan sebagai upaya untuk menjadikan situasi di Indonesia seperti negara-negara arab yang dilanda konflik.

Karena itu, kata  Imam, pemerintah harus mewaspadai munculnya kelompok-kelompok bawah tanah yang sudah lama bergerak, yang sengaja memanfaatkan momen pilkada untuk melancarkan aksi mereka.

"Jika pemerintah tidak segera bertindak, khususnya Menteri Agama, nanti masyarakat bisa mengambil tindakan sendiri. Khawatirnya, nanti akan muncul konflik horizontal, nanti yang rugi kita sendiri," tegas Imam.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya