Imam Besar Istiqlal: Jangan Menghukum Akidah Orang

Alquran, kata Nasaruddin, tidak mengisyaratkan perlunya persatuan dalam pengertian homogenitas masyarakat.

oleh Rochmanuddin diperbarui 11 Jun 2017, 21:43 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2017, 21:43 WIB
Nasaruddin Umar
Imam besar Istiglal KH Nasaruddin Umar (Ahmad Romadoni/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengingatkan kepada umat Muslim, agar tidak menghukum akidah seseorang. Selama dia sudah mengucap syahadat, itu sudah menjadi urusan antara dia dengan Allah SWT.

"Mau alirannya sesat mau aliran apapun juga, asal formalnya sudah bersyahadat, jangan dikorek-korek lagi. Hanya Allah yang tahu apa yang tersembunyi dalam hati orang," ujar Nasaruddin dalam ceramah saat buka puasa di rumah Ketua DPR Setya Novanto, Jalan Widya Candra, Jakarta Selatan, Senin 5 Juni 2017.

"Nah, jadi kalau ada orang yang menghakimi akidahnya orang, ya kamu tuh aliran sesat, misalnya," dia menegaskan.

Nasaruddin mengaku senang karena berhasil menemukan hadis setelah lama mencari hadis tentang kondisi sekarang ini.

"Nahnu nahkum mudawadir wallahu watayasir. Hadis ini sebenarnya, saya tidak mau keluarkan, ya, nanti tahun ini baru saya survei. Saya cari di buku Sittah, Bukhori Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Turmidzi, itu enggak ada," ujar dia.

Nasaruddin menemukan setelah menyisir buku hadis bernama Al Muwatha Imam Malik. Bagi ahli sunnah waljamaah, kitab Al Muwatha Imam Malik sama dengan kitab-kitab hadis di atas.

"Saya senang sekali, karena hadis ini relevan sekali dengan apa yang kita hadapi sekarang ini. Apa artinya di situ? Nahnu nahkum mudawadir wallahu watayasir, kita ini hanya menghunkum apa yang tampak, jangan menghukum akidahnya orang," ujar dia.

Nasaruddin pun mengingatkan, jangan terlalu gampang menganggap sesat seseorang, dan sebaliknya juga jangan terlalu gampang mengkafirkan orang. Karena dalam hadis nabi disebutkan, kalau umat muslim mengkafirkan orang yang tidak kafir, maka dia yang menjadi kafir.

"Tidak ada keuntungan menvonis seseorang untuk kafir atau sesat. Dalam masyarakat yang plural, saya ingin mengingatkan ayat bahwa enggak mungkin kita akan menyatukan umat dalam pengertian persatuan yang homogen," ujar Nasaruddin.

Bineka Tunggal Ika Cerminan Alquran

Menurut dia, dalam Surat An Nahl ayat 93 disebutkan, jika seandainya Allah SWT mengendaki, niscaya manusia akan dijadikan satu umat. Dalam ilmu Balaghah bahasa Arab, kata 'lau' 99,9 persen tidak akan terjadi atau mustahil.

"Jadi mustahil menciptakan masyarakat yang homogen di atas muka bumi ini. Yang terjadi adalah masyarakat heterogen, heterogenitas itu juga perlu bingkai dan itulah sebenarnya Bineka Tunggal Ika yang dicerminkan dalam Alquran," dia menegaskan.

Alquran, kata Nasaruddin, tidak mengisyaratkan perlunya persatuan dalam pengertian homogenitas masyarakat. "Ini Allah menggunakan 'lau', seandainya Allah mengatakan 'idza' itu mutlak, harus kita perjuangakan bagaimana kita bisa menjadi satu kesatuan di bumi ini hanya ada satu umat."

"Tapi Allah menggunakan kata 'lau', tidak menggunakan 'idza'. Kalau menggunakan 'idza' itu sebaliknya, wajib itu. Dan itu pasti harus dilakukan. Tapi kalau Allah menggunakan kata 'in' itu fifty-fifty persen. Ada kemungkinan boleh dan enggak boleh," dia melanjutkan.

Masyarakat yang heterogen itu yang penting, kata Nasaruddin, adalah bagaimana wa'tasimu bihablillahi jami'a atau berpegang teguh pada tali. Karena itu,
masyarakat di Indonesia tidak mungkin menjadi homogen.

"Tetaplah menjadi sukunya masing-masing, tapi yang paling penting adalah kita berpegang pada sebuah tali. Universal yang kita ikuti, inilah yang disebut wa'tasimu bihablillahi jami'a, semuanya kita harus berpegang teguh pada satu tali, kalau kita di sini mungkin itulah Pancasila itu. Ini perintah Quran, bukan perintah siapa-siapa," kata Nasaruddin.

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya