Pertemuan Terdakwa dengan Setya Novanto Jadi Pertimbangan Putusan

Pertemuan itu juga dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong

oleh Moch Harun Syah diperbarui 20 Jul 2017, 14:27 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2017, 14:27 WIB
20170406-Mega Korupsi e-KTP, Novanto dan Anas Beri Kesaksian-Afandi
Ketua DPR Setya Novanto memberikan kesaksian dalam sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4). Delapan orang saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang kelima kasus mega korupsi e-KTP ini. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan pertemuan dua terdakwa kasus e-KTP dengan Ketua DPR Setya Novanto yang telah menjadi tersangka pada kasus sama, menjadi pertimbangan dalam mengambil putusan. Pertemuan itu terjadi di Hotel Grand Melia, Jakarta.

Pertemuan itu juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pada pertemuan tersebut, Novanto sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar diduga menyatakan kesediaannya membantu proses pembahasan anggaran di DPR.

"Pertemuan di Grand Melia, Setya Novanto mengatakan akan mendukung proyek e-KTP," kata hakim Franky Tambuwun membacakan pertimbangan putusan Irman dan Sugiharto di PN Tipikor, Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Selanjutnya, majelis juga mempertimbangkan pertemuan antara terdakwa Irman dan Andi Narogong yang terjadi di ruang kerja Novanto di Lantai 12 Gedung DPR RI. Saat pertemuan itu, Andi Narogong dan Irman meminta kepastian Novanto mengenai persetujuan DPR terkait anggaran proyek e-KTP.

"Dalam pertemuan, Setya Novanto mengatakan bahwa ia akan mengoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya," tambah hakim Franky.

Sebelumnya, Setya Novanto telah membantah tudingan sejumlah saksi dalam sidang korupsi itu.

Sementara, dua mantan pejabat Dukcapil Kementerian Dalam Negeri yang menjadi terdakwa dalam kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto, divonis tujuh tahun dan lima tahun penjara. Vonis majelis hakim ini sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menjatuhkan pidana kepada Irman selama tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan jika tak dibayar pidana kurungan enam bulan. Menjatuhkan pidana kepada Sugiharto penjara lima tahun denda 400 juta dengan ketentuan jika tak dibayar pidana kurungan enam bulan," ujar hakim ketua, Jhon Halasan Butarbutar.

Menurut hakim, keduanya secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-sama dalam proyek e-KTP. Oleh karena itu, hakim juga mewajibkan keduanya membayar uang pengganti. Irman harus membayar uang pengganti US$ 500 ribu dikurangi pengembalian US$ 300 ribu dan Rp 50 juta.

Uang ini harus dibayarkan selambat-lambatnya, satu bulan dari putusan. Jika tidak, harta benda Irman akan disita jaksa dan dilelang. Ketika hasil lelang hartanya tidak mencukupi, akan diganti dengan hukuman penjara 2 tahun.

Sementara, Sugiharto harus membayar uang pengganti US$ 50 ribu. Namun, dia sudah mengembalikan uang sebesar US$ 30.000, harta benda satu unit Honda Jazz, dan Rp 150 juta.

Sisanya, harus disetor kepada negara selambatnya satu bulan putusan keluar. "Kalau tidak membayar, harta benda akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Kalau tidak cukup, terdakwa dipidana penjara 1 tahun," ujar Jhon dalam sidang kasus e-KTP.

Saksikan video berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya