5 Cerita Pilu Kekerasan Anak yang Berakhir Tragis

Sepertinya kisah pilu Arie Hanggara yang tewas di tangan kedua orangtuanya pada 1984 belum cukup menjadi pelajaran.

oleh Nadya Isnaeni diperbarui 23 Jul 2017, 20:41 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2017, 20:41 WIB
Ilustrasi Pelecehan Seksual Anak
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi momok. Tiap tahun ada saja kisah bocah korban penganiayaan yang menjadi headline sejumlah media di Indonesia. Kisahnya pun makin 'perih'.

Seperti yang dialami oleh bocah Angeline dari Bali. Anak perempuan ini dibunuh oleh ibu angkatnya dengan kejam lalu dikubur di bekas kandang ayam di halaman belakang rumahnya di Jalan Sedap Malam Nomor, 26 Sanur, Bali pada 2015 lalu.

Angeline bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib tragis, masih ada kisah bocah Yuyun yang menjadi korban pelecehan seksual oleh 14 orang hingga meninggal dunia, juga kisah Fabian dan Amora yang dimutilasi oleh orangtuanya, Brigadir Petrus Bakus.

Sepertinya kisah pilu Arie Hanggara yang tewas di tangan kedua orangtuanya pada 1984 belum cukup menjadi pelajaran. Kasus kekerasan terhadap anak selalu terulang.

Berikut deretan kisah kasus kekerasan terhadap anak yang dirangkum Liputan6.com, Sabtu (23/7/2017):

Saksikan video menarik di bawah ini:



Kisah Pilu Arie Hanggara

Makam Arie Hanggara
Makam Arie Hanggara

Arie Hanggara lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1977 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984. Arie adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece.

Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5.

Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Karena sang bocah masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya.

Setelah sang ibu tiri, giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.

Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Arie telah tiada.

Angeline

[INFOGRAFIS] Jawaban Teka-Teki Hilangnya Angeline
Angeline, bocah berusia 8 tahun yang pada Bulan Mei lalu dilaporkan hilang dan ditemukan tiga minggu kemudian dengan keadaan tak bernyawa.

Angeline dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015 dan ditemukan meninggal pada 10 Juni 2015. Jasadnya dikubur di halaman belakang rumah ibu angkatnya, Margriet Megawe, di Jalan Sedap Malam, Sanur, Bali.

Dari hasil autopsi jenazah bocah yang bernama asli Engeline itu ditemukan banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Luka bekas sundutan rokok dan jeratan tali juga ditemukan di leher bocah Angeline.

Semasa hidupnya, di kalangan guru-guru di SDN 12 Kesiman Sanur, Angeline dikenal sebagai sosok yang pendiam dan jarang bergaul dengan teman-temannya.

Putu Sri Wijayanti, Wali Kelas 2-B menjelaskan bahwa Angeline memiliki kepribadian tertutup dan terkadang tidak mengikuti pelajaran tepat waktu karena sering terlambat datang ke kelas.

Menurut dia, Angeline kerap terlambat karena harus memberi makan ayam peliharaan Margriet sebelum ke sekolah dan harus berjalan kaki 2 km ke sekolah.

Bahkan, ia bersama guru lainnya sempat memandikan bocah malang itu karena penampilannya yang kotor dan bau kotoran ayam.

Selain penuh luka, jasad Angeline ditemukan terbungkus kain dalam keadaan tertelungkup sedang memeluk boneka.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, memvonis ibu angkat Angeline, Margriet Christina Megawe dengan hukuman penjara seumur hidup. Margriet dinyatakan terbukti membunuh Angeline secara berencana.

Selain itu Ketua Majelis Hakim Edward Harris Sinaga menjatuhkan vonis 10 tahun penjara. Agus Tay, mantan asisten rumah tangga (ART) di rumah Angeline terbukti secara sah dan meyakinkan mengetahui adanya pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 juncto 56 KUHP.

Bocah Yuyun

Kasus Yuyun
Rekonstruksi kasus pencabulan dan pembunuhan bocah Yuyun di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putra)


Yuyun, remaja SMP berusia 14 tahun menjadi korban pemerkosaan sekaligus pembunuhan oleh 14 pelaku secara sadis.

Kala itu, Sabtu, 2 April 2016 sekitar pukul 13.30 WIB, warga Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, tersebut baru pulang dari sekolah. Ia pulang dengan membawa alas meja dan bendera merah putih untuk dicuci sebagai persiapan upacara bendera Senin.

Dalam perjalanan menuju rumah sejauh 1,5 km itu, dia melewati kebun karet milik warga. Yuyun tak sengaja berpapasan dengan 14 orang yang kemudian melecehkan dirinya secara seksual kemudian membunuhnya.

Ke-14 orang itu bernama Dedi Indra Muda (19), Tomi Wijaya (19), DA (17), Suket (19), Bobi (20), Faisal Edo (19), Zainal (23), Febriansyah Syahputra (18), Sulaiman (18), AI (18), EK (16) dan SU (16). Dua nama terakhir adalah kakak kelas korban.

Para pelaku yang melihat Yuyun langsung mencegat dan menyekap Yuyun. Kepala Yuyun dipukuli kayu, kaki dan tangannya diikat, leher dicekik, kemudian dicabuli secara bergiliran.

Para pelaku lalu mengikat dan membuang tubuh korban ke jurang sedalam 5 meter dan menutupinya dengan dedaunan dalam kondisi telanjang. Hasil visum menyebutkan Yuyun sudah meninggal saat pelecehan seksual berlangsung.

Pada 19 April 2016, Polres Rejang Lebong menggelar rekonstruksi pemerkosaan sekaligus pembunuhan. Sebanyak 65 adegan rekonstruksi dilakukan dengan menghadirkan para pelaku dan peraga pengganti korban Yuyun.

Perjalanan kasus Yuyun berlanjut di pengadilan. Berdasarkan umur, persidangan dibagi menjadi dua gelombang. Persidangan gelombang pertama menghadirkan tujuh terdakwa anak ke meja hijau.

Ketujuh orang itu AL, SL, FS, EK, SU, DE dan DH. Dalam persidangan yang berlangsung pada 10 Mei 2016, majelis hakim yang diketuai Heny Faridha itu menjatuhkan vonis pidana penjara selama 10 tahun kepada tujuh terdakwa kasus kejahatan seksual itu. Mereka juga dijatuhi hukuman tambahan atau subsider berupa pembinaan sosial selama 6 bulan.

Setelah 45 hari berlalu, JA (13), salah seorang buron, akhirnya menyerahkan diri dengan ditemani keluarga dan pemuka kampung. Majelis hakim Pengadilan Negeri Rejang Lebong menghukumnya dengan rehabilitasi sosial selama satu tahun.

Lima orang terdakwa kategori dewasa terdiri atas Suket (19), Bobi (20), Faisal Edo (19), Zainal alias Bos (23) dan Tomi Wijaya (19) didakwa dengan pasal berlapis melakukan pelanggaran Pasal 79 huruf c, Pasal 80 ayat 3 dan Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan pelanggaran Pasal 340 KUHP.

Mereka diancam setinggi-tingginya hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup atau kurungan selama 20 tahun penjara. Sedangkan, terdakwa kategori anak hanya didakwa dengan pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Polisi Mutilasi Anak

Polisi Mutilasi Anak Kandungnya di Kalbar
Brigadir Petrus Bakus tega mutilasi dua anak kandungnya yang masih balita. Meski tega melakukan hal itu, Bakus tidak menyesali perbuatannya (Liputan6.com/Raden AMP)

Brigadir Petrus Bakus, anggota polisi Sat Intelkam Polres Melawi, membunuh dua anak kandungnya, Fabian (5) dan Amora (3) di asrama Polres Melawi pada Jumat dinihari, 26 Februari 2016, pukul 00.15 WIB. Saat itu, ia mengaku mendengar bisikan yang memerintahkannya untuk berbuat keji pada kedua anak kandungnya.

Dari pemeriksaan sementara, Brigadir Petrus Bakus memiliki sejarah menderita skizofrenia atau halusinasi, dan kerap kesurupan. Gejala skizofrenia tersebut rupanya sudah diidap Brigadir Petrus sejak berusia 4 tahun.

Pada saat yang hampir bersamaan, pukul 00.20 WIB, Kapolsek Menukung AKP Sofyan yang menginap di Rumdin Kasat Intelkam --samping lain rumah pelaku-- mendengar keributan. Kemudian, dia membangunkan Kasat Intelkam Polres Melawi.

Keduanya segera mengeceknya. Mereka melihat pelaku sedang duduk bersama Brigadir Sukadi. Kemudian, Kasat Intelkam Polres Melawi menanyakan apa yang terjadi, dan pelaku mengaku telah membunuh buah hatinya.

Sang polisi kemudian mendatangi istrinya, W, sembari membawa parang. Dia kemudian berkata, "Mereka baik, mereka mengerti, Mereka Pasrah. Maafkan papa ya, Dik."

Panti Asuhan Maut

Akhir Kasus Pemilik Panti Asuhan Maut di Pekanbaru
Hakim menyatakan pemilik panti asuhan maut di Pekanbaru itu tidak terbukti menganiaya dan melakukan kekerasan pada balita M Ziqli. Kok bisa? (Liputan6.com/M Syukur)

M Zikli yang berusia 18 bulan meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad pada 14 Januari 2017. Menurut pengelola panti, korban mengalami demam tinggi sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Namun, paman korban justru melihat ada yang tidak beres pada tubuh keponakannya. Pemeriksaan kala itu, MZ mengalami beberapa gangguan kesehatan, di antaranya mencret, anemia, dan kekurangan cairan alias dehidrasi.

Beberapa jam dirawat, kondisi MZ semakin buruk. Perut korban mengalami pembesaran hingga dibantu dengan alat pernapasan. Tak lama kemudian, mulut korban keluar cacing.

Berdasarkan sidak yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak Riau, kondisi panti asuhan jauh dari kata bersih. Sampah bertebaran di dalam dan luar rumah. Bahkan, anggota LPA menemukan makanan kedaluwarsa dan makanan bekas digigiti tikus masih tersimpan di dapur.

Kisah penelantaran anak hingga berujung tewasnya Muhammad Ziqli di Panti Asuhan Tunas Bangsa berakhir dengan vonis 4 tahun 3 bulan penjara bagi Lili Nurhayati. Pemilik yayasan dari panti tersebut juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta.

"Jika tidak dibayar terdakwa wajib menjalani kurungan selama 3 bulan," kata majelis hakim yang diketuai Yudi Silaen di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis petang, 13 Juli 2017.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal subsider, yakni Pasal 80 ayat 1 dan Pasal 77b Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaannya menyebutkan, dugaan kekerasan dilakukan kepada M Ziqli pada April 2016 hingga Januari 2017 di Panti Asuhan Tunas Bangsa di Jalan Lintas Timur, Kilometer 13, Kecamatan Tenayan Raya.

Korban dititipkan orangtuanya untuk diasuh di Panti Asuhan Tunas Bangsa untuk diasuh terdakwa. Korban tidak diberi makan dan dipukuli. Korban sempat dibawa ke RSUD Arifin Achmad, tapi nyawanya tidak tertolong.  Di tubuh korban ditemukan banyak luka. Keluarga korban melapor ke Polresta Pekanbaru.

Dari penyelidikan kepolisian, ditemukan adanya unsur kekerasan akibat benda tumpul pada tubuh korban. Terdapat luka akibat benda tumpul pada bagian pelipis, perut, dan punggung.‎

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya