Membidik Pembakar Pria Hidup-Hidup di Bekasi

Polisi menyarankan keluarga membuat laporan terkait kasus pembakaran Joya hidup-hidup di Bekasi.

oleh SunariyahNafiysul QodarNanda Perdana PutraFernando Purba diperbarui 06 Agu 2017, 00:06 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2017, 00:06 WIB
Keluarga Joya, pria dibakar hidup-hidup di Bekasi.
Keluarga Joya, pria dibakar hidup-hidup di Bekasi. (Liputan6.com/Fernando Purba)

Liputan6.com, Jakarta - Kepergian M Alzahra alias Joya (30) dengan cara mengenaskan masih meninggalkan duka mendalam bagi istri dan keluarganya. Sang istri, Siti Jubaida, yang kini tengah mengandung anak keduanya, tak percaya suaminya mencuri amplifier seperti dituduhkan warga Babelan, Bekasi, Jawa Barat.

Namun, ibu muda ini tidak bisa berbuat banyak. Suaminya telah tiada. Kini dia hanya menunggu polisi mengusut tuntas kasus suaminya, yang dianiaya dan dibakar hidup-hidup, Selasa 1 Agustus 2017 lalu oleh warga Babelan, setelah dituduh mencuri amplifier musala setempat.

Berdasarkan keterangan Kapolres Bekasi Kombes Asep Adi Saputra, sebelum dibakar, dua saksi yang jadi pengurus musala telah memperhatikan gerak-gerik korban. Dia tampak mengambil air wudu sebelum masuk ke musala.

Setelah keluar, dia diduga membawa amplifier milik musala. Salah seorang saksi pun langsung menegur. Namun, Joya memilih kabur menggunakan sepeda motornya.
"Pelaku langsung melarikan diri sehingga warga melakukan pengejaran," kata Asep di Bekasi, Jumat 4 Agustus 2017.

Kondisi jalanan yang cukup padat di Pasar Muara, Bekasi membuat pelarian Joya tersendat. Dia sempat turun dari motor dan hampir melompat ke sungai. Namun, warga yang mendengar teriakan "maling" langsung berkerumun dan menangkap pekerja reparasi amplifier itu.

Joya langsung dikeroyok hingga babak belur. Tak berhenti sampai di situ, ada pelaku yang berinisiatif membakar tubuh Joya. Dia akhirnya meninggal setelah aksi pembakaran tersebut.

"Kalau kita melihat dari persesuaian, keterangan saksi, barang bukti, dan olah TKP (tempat kejadian perkara) ulang, dan kita dalami kembali, kita menyimpulkan bahwa benar adanya dugaan atas peristiwa tersebut. Dan dugaan terhadap pelaku yang mengambil itu juga semakin kuat dengan fakta-fakta itu," jelas Asep.

Polisi Bidik Pelaku

Keluarga pria korban pembakaran hidup-hidup di Bekasi.
Keluarga pria korban pembakaran hidup-hidup di Bekasi. (Liputan6.com/Fernando Purba)

Saat ini, Polres Bekasi sudah memeriksa 10 saksi atas kasus pengeroyokan dan pembakaran ini. Meski belum ada yang ditetapkan jadi tersangka, polisi mengaku sudah berhasil mengidentifikasi pelaku pengeroyokan.

"Kita sampaikan sampai saat ini sudah 10 yang diperiksa," tutur Kapolres Bekasi Kombes Asep Adi Saputra saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 5 Agustus 2017.

Menurut dia, keberadaan tersangka sendiri masih dalam proses pengembangan kasus. Hanya saja, dari keterangan saksi dan barang bukti yang ada, sudah ada terduga pelaku yang akan dijangkau petugas.

"Iya sudah ada (terduga pelaku penganiaya dan pembakaran hidup-hidup). Tapi sekali lagi kami sampaikan kami belum menetapkan tersangka," jelas dia.

Satu dari 10 saksi yang diperiksa adalah istri Joya. "Kita tangani peristiwa pembakaran ini, istri korban sudah kita periksa dan saksi warga yang mengetahui sudah kami periksa," ujar Asep.

Polisi menyarankan keluarga Joya membuat laporan terkait peristiwa tersebut. Dengan begitu, penyidik memiliki alasan kuat dan mempercepat pengungkapan kasus itu.

"Kalau ada (laporan) lebih bagus lagi. Jadi ada korbannya. Kalau tidak ada pelapornya, dasar polisi memeriksa orang gimana. Lebih bagus seperti itu," tutur Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu 5 Agustus 2017.

Polisi berjanji akan mengusut tuntas kasus pembakaran hidup-hidup ini, meski korban diduga kuat sebagai pencuri amplifier musala. Sebab bagaimanapun, aksi main hakim sendiri merupakan tindakan pidana.

"Kami tangani betul masalah pengeroyokan itu. Intinya sudah kami sambangi, kita berikan rasa simpatik. Biar bagaimanapun, orang yang diduga sebagai pelaku ini adalah korban amuk massa," kata Asep.

Asep menyatakan, masyarakat yang main hakim sendiri dapat dipidana. "Iya, pelaku bisa dipidana. Itu (aksi main hakim sendiri) tidak bisa dibenarkan," ujar Asep kepada Liputan6.com.

Asep mengimbau agar masyarakat tidak langsung mengambil keputusan hukum ketika mendapati kasus kejahatan di lapangan. Sebab, sebagai negara hukum, aksi main hakim sendiri sangat tidak dibenarkan apapun alasannya. Ada aparat penegak hukum yang memiliki tanggung jawab menangani perkara tersebut.

"Jangan main hakim sendiri. Kita negara hukum. Kalau ada kejadian begini segera laporkan saja ke pihak berwajib," Asep menandaskan.

Apalagi dalam proses hukum di Indonesia selalu menjunjung asas praduga tak bersalah. Ada tahapan-tahapan hingga akhirnya seseorang dinyatakan bersalah. "Dalam hal tertangkap tangan, semua orang itu berhak mengamankan, setelah itu harus segera memberi tahu ke aparat," ucap Asep.

Pelaku Menyesal?

Kediaman Joya, pria dibakar hidup-hidup di Bekasi.
Kediaman Joya, pria dibakar hidup-hidup di Bekasi. (Liputan6.com/Fernando Purba)

Kasus pengeroyokan dan pembakaran hidup-hidup pria berusia 30 tahun di Bekasi menjadi sorotan.

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, kasus tersebut tak lepas dari adanya crowd atau kerumunan. Memang kerumunan tak selalu negatif. Namun jika sudah mengarah pada mob, maka bisa dikategorikan kriminal.

"Karena ini sudah berkerumun, berkumpul, berubah besar, dan mengamuk, dan melakukan hal yang tidak bisa dilakukan individu pribadi," ujar Adrianus saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat 4 Agustus 2017.

Mob adalah sekelompok orang tanpa dukungan masyarakat yang dengan marah menyerang dan berusaha melukai atau merusak suatu objek tanpa mengindahkan norma sosial dan hanya berpegang pada pertimbangan yang sederhana.

"Sehingga ketika mob ini terjadi, memang harus dilakukan upaya paksa untuk kemudian mob itu bubar," sambung dia.

Kendati, menciptakan mob juga tidak gampang. Menurut Adrianus, butuh proses untuk menciptakan mob, setidaknya dengan adanya sosok pemimpin atau yang dituakan dalam kerumunan tersebut. Selain itu juga harus ada isu bersama yang membuat orang mudah terkoordinir.

Dalam kasus pengeroyokan dan pembakaran terhadap Joya, Adrianus mempertanyakan keberadaan sosok orang tua atau tokoh di sekitar lokasi yang seharusnya dapat meredam aksi main hakim sendiri.

"Jangan-jangan mereka masuk di bagian mob itu, ikut mukulin dan ikut bakar juga. Itulah ngerinya mob, ketika orang sudah dipengaruhi oleh perasaan kelompok yang kadang-kadang irasional, maka dia bisa bertindak sesuatu yang tidak bisa dilakukan sendirian," ucap Adrianus.

Sosok orang tua di sini tak selalu tokoh masyarakat. Bisa saja jawara atau orang yang dituakan dan memiliki pengaruh terhadap masyarakat sekitar. Mereka memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya mob. Sebab, aksi ini sulit terjadi jika hanya dilakukan oleh individu.

"Mereka itu pasti mendengar kata senior, kata ustaz, kiai, sehingga mob bisa tercegah. Tapi kalau tidak ada, ya tergantung siapa yang paling kuat di situ, kalau bilang ayo dibakar, ya dibakar," tutur dia.

Adrianus yakin, orang-orang yang terlibat dalam aksi pengeroyokan dan pembakaran terhadap Joya saat ini menyesal. Setidaknya dalam hatinya mereka mengakui bahwa telah menjadi pembunuh.

"Ketika mereka sibuk berperang dengan kata hatinya maka diharapkan besok-besok ada orang yang tiba-tiba mengaku, tiba-tiba datang ke polisi, mengatakan bahwa dia ikut bertanggung jawab," harap dia.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya