KPK Temukan Keris dan Tombak di Mes Ditjen Hubla

Barang-barang tersebut disita karena diduga merupakan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan tersangka.

oleh Nila Chrisna YulikaFachrur Rozie diperbarui 26 Agu 2017, 12:20 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2017, 12:20 WIB
PHOTO: OTT Pejabat Kemenhub, KPK Tunjukan Barang Bukti Uang Lebih dari Rp 20 M
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Petugas KPK menunjukan barang bukti tersangka penerimaan suap Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) A Tonny Budiono dan Adiputra Kurniawan di Gedung KPK, Kamis (24/08). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menggeledah mes perwira Ditjen Hubla di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada Jumat, 25 Agustus 2017.

Dalam penggeledahan itu, penyidik menemukan lima keris, satu tombak, lebih dari lima jam tangan, dan sejumlah batu akik dengan ikatan yang diduga emas kuning dan putih.

"Barang-barang tersebut disita karena diduga merupakan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan tersangka. Selanjutnya akan dilakukan penilaian," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Sabtu (26/8/2017).

Selain di mes, KPK juga menggeledah ruang kerja Dirjen Hubla di Ruang Karsa Kemenhub, apartemen kediaman tersangka Adiputra Kurniawan, dan Kantor PT Adhi Guna Keruktama di daerah Sunter, Jakarta Utara.

Sebelumnya, dari penangkapan di berbagai lokasi, KPK mengamankan 33 tas yang berisi uang dan empat kartu ATM bank yang berbeda. ATM tersebut diketahui dalam penguasaan Tonny Budiono. KPK mengamankan sejumlah uang dan kartu ATM yang totalnya Rp 20 miliar.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengungkapkan, 33 tas itu berisi uang dalam pecahan mata uang rupiah, US dolar, pound sterling, euro, dan ringgit Malaysia senilai Rp 18,9 miliar, dan dalam rekening Bank Mandiri terdapat sisa saldo Rp 1,174 miliar.

Saksikan video di bawah ini:

Peringatan Bagi Pejabat Negara

Febri memperingatkan kepada pejabat negara atau PNS bahwa kasus ini harus menjadi pelajaran bersama. Para pejabat negara dan PNS harus membiasakan menolak gratifikasi pada kesempatan pertama. Hal ini, kata dia, lebih tepat dilakukan agar tidak menjadi persoalan hukum di kemudian hari.

Jika dalam kondisi tertentu tidak dapat menolak, kata Febri, misalnya diberikan secara tidak langsung, maka wajib dilaporkan ke KPK dalam waktu paling lama 30 hari kerja sesuai aturan di Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Jika gratifikasi itu dilaporkan ke KPK, maka ancaman pidana Pasal 12 B UU Tipikor yang cukup berat, yaitu seumur hidup atau minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun dihapus sesuai Pasal 12 C UU Tipikor.

Pelaporan, kata Febri, dapat dilakukan dengan cara langsung datang ke KPK atau melalui email: pelaporan.gratifikasi@kpk.go.id atau melalui mekanisme pelaporan gratifikasi online di www.gol.kpk.go.id.

"Bahkan kami sudah lebih mempermudah proses pelaporan gratifikasi tersebut," ujar Febri.

Febri melanjutkan, jika menerima gratifikasi dan belum bisa secara langsung melaporkan ke KPK, pihaknya juga bekerja sama dengan UPG (Unit Pengendali Gratifikasi) yang dibentuk sebagai mitra KPK di inspektorat/unit pengawasan internal atau kepatuhan masing-masing kementerian/lembaga.

"Jadi, laporan bisa disampaikan ke UPG setempat, selanjutnya UPG yang akan berkoordinasi dengan KPK. Ini sepatutnya menjadi salah satu perhatian jika ingin memperkuat pencegahan korupsi dengan penguatan inspektorat," tandas Febri.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya