High Heels, Ingin Modis vs Urusan Medis

Pada kenyataannya sepatu hak tinggi itu bak bunga Belladona yang indah tapi merugikan.

oleh Gde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 30 Agu 2017, 18:50 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2017, 18:50 WIB
Tren High Heels di Kalangan Perempuan
Perempuan pengguna high heels (Liputan6.com/Zulfikar)

Liputan6.com, Jakarta - Beauty is pain. Kalimat itu meluncur dari mulut Saras Sanchez, 32 tahun, saat menceritakan pengalaman menggunakan sepatu hak tinggi atau high heels.

Saras memang kerap menggunakan sepatu hak tinggi. Menurut dia, sepatu hak tinggi merupakan aksesori penting yang dapat menunjang penampilan. "Aku pakai dari umur 20 tahunan,” tutur Saras kepada Liputan6.com, Jakarta, Juli lalu.

Dulu Saras menekuni dunia model. Pekerjaan itu membuat Saras harus mengenakan sepatu hak tinggi selama dua hingga empat jam per hari. Pernah sekali dia terjatuh karena sepatunya. Namun, kejadian itu tidak membuat kapok.

Dia juga mengaku kerap merasakan sakit di kaki dan punggung. Dia sadar akan hal itu lantaran kerap beraktivitas mengenakan sepatu hak tinggi. Namun, Saras tak menghiraukan.

“Sudah kebiasaan. Kalau tidak pakai high heels itu tidak percaya diri,” ujar Saras.

Sekarang di usia 32 tahun, Saras masih aktif terlibat di dunia hiburan. Dia menjadi penyanyi dan disc jockey. Tak terhindarkan, sepatu hak tinggi masih setia menemani langkah Saras.

Namun, kini Saras merasakan kejanggalan di kaki. Entah efek menggunakan sepatu hak tinggi atau ada hal lain, Saras mengaku cepat merasa sakit di kaki saat duduk.

“Tidak tahu itu pengaruhnya atau bukan, sekarang kalau duduk, kaki jadi gampang sakit,” tutur Saras.

Meski demikian, Saras tetap tidak meninggalkan kebiasaan itu. Tak seberani dulu, kini ia tidak mau lagi menggunakan sepatu dengan hak terlalu tinggi.

“Sekarang maksimal 10 cm,” ungkap Saras sembari tersenyum.

Sebelum sering merasakan sakit di kaki, perempuan asal Malang, Jawa Timur, itu mampu menggunakan sepatu dengan tinggi hak 20 cm.

Hingga saat ini sepatu Saras terus bertambah. Ada lebih dari 50 pasang sepatu di rumahnya. Rata-rata tinggi hak sepatunya lebih dari 11 cm.

Lebih Pilih Sehat


Berbeda cerita dengan Penny Calista, 33 tahun. Perempuan yang saat ini berprofesi sebagai asisten dokter itu, rela melepas kecintaan pada sepatu hak tinggi. Padahal, dia sudah menyukainya sejak lulus SMA.

“Harus mementingkan kesehatan. Karena imbasnya nanti kalau sudah tua,” ujar Penny Calista kepada Liputan6.com.

Sama seperti Saras, Calista juga sempat berkarier di dunia modeling. Ketika show, setidaknya tiga jam Calista mesti berdiri menggunakan sepatu dengan tinggi hak 12 cm. Dia mengaku tidak nyaman dengan sepatu itu, tapi dia paksakan.

Tuntutan menggunakan sepatu hak tinggi kemudian bertambah sejak 2010 hingga 2016. Selama tujuh tahun bekerja di klinik kecantikan, Calista wajib menggunakan sepatu dengan tinggi hak minimal 7 cm.

“Saat itu, lebih dari delapan jam per hari aku pakai sepatu hak tinggi,” tutur dia.

Empat belas tahun berselang, Calista sadar sepatu hak tinggi tidak baik untuk kesehatan. Dia merasakan dampak negatifnya.



Calista juga telah melihat langsung foto rontgen kakinya. Dia sempat terkejut saat pertama kali melihat. Ada perubahan bentuk di tulang pangkal ibu jari dan tulang ujung jari-jari lainnya.

Pangkal tulang ibu jari perempuan yang memiliki klinik kecantikan itu menjorok keluar. Sementara ujung tulang jari-jari lain meruncing seperti menyesuaikan bentuk ujung sepatu hak tinggi.

Meski sudah ada perubahan bentuk di tulang kakinya, menurut dokter, kondisi itu belum parah. Dokter menyarankan Calista untuk tidak lagi menggunakan sepatu hak tinggi. Alhasil, perempuan kelahiran Surabaya itu beralih ke flat shoes.

Semula perempuan yang bekerja di RS MMC Jakarta itu merasa tidak nyaman. Setidaknya selama seminggu dia merasakan sakit dan sering kram di kaki. Namun, dia harus tahan demi kepentingan jangka panjang.

Calista mengaku, kini ia tidak pernah lagi menggunakan sepatu hak tinggi. “Boleh memperhatikan penampilan, tapi kesehatan harus diutamakan,” tegas dia.
 

Perempuan pengguna high heels (Liputan6.com/Zulfikar)

Solusi Sederhana

Tak dimungkiri, banyak perempuan melirik sepatu hak tinggi. Biasanya pemandangan kaki jenjang perempuan berhias sepatu hak tinggi itu tampak di pusat perbelanjaan, perkantoran, dan tempat-tempat pesta.

Tingginya peminat sepatu hak tinggi juga diungkapkan Dewi Arrum. Sebagai salah satu produsen lokal sepatu hak tinggi, dia dapat menjual 200 pasang sepatu dalam satu bulan.

“Lumayan banyak pesanan, mulai dari 3 cm sampai 12 cm,” ungkap Dewi Arrum kepada Liputan6.com.

Pada kenyataannya sepatu hak tinggi itu bak bunga Belladona: indah tapi merugikan. Tengok saja pengalaman Saras dan Calista.

Menurut spesialis ortopedi, dr Andjar Bhawono, bentuk sepatu hak tinggi pada dasarnya tidak sesuai dengan anatomi fisik manusia. Sepatu hak tinggi melulu klop untuk kebutuhan tren.

Andjar mengibaratkan perempuan yang menggunakan sepatu hak tinggi seperti orang berjingkat dalam waktu lama. Hal tersebut membuat tumpuan berat hanya di ujung kaki, sementara otot-otot di betis terus berkontraksi.

Selain itu, menggunakan sepatu hak tinggi juga membuat posisi badan tidak seimbang, condong ke depan. Posisi tersebut mengharuskan otot-otot tulang belakang berkontraksi menarik badan ke belakang supaya seimbang.

Alhasil, wajar bila menggunakan sepatu hak tinggi terlalu lama akan menimbulkan rasa tidak nyaman. “Mulai dari keluhan ringan sampai yang berat,” tutur lulusan FKUI ini.

Selama praktik, Andjar kerap menemui pasiennya yang mengeluh sakit karena menggunakan sepatu hak tinggi terlampau lama. Sebagian besar mereka mengeluhkan sakit di kaki, mulai dari jari hingga betis.

Di kaki pasien, Andjar biasanya menemukan kelainan seperti jari-jari kaki yang mengerucut mengikuti bentuk sepatu hak tinggi yang berujung runcing. Selain itu, Andjar juga kerap menemukan kelainan tulang yang disebut bunion, yaitu kelainan tulang dengan tulang pangkal ibu jari condong keluar.

Ada juga pasien yang mengeluh sakit di punggung. Biasanya pasien itu sudah mempunyai kelainan di tulang belakang. Kondisinya kemudian semakin parah karena sering menggunakan sepatu hak tinggi

Meski demikian, Andjar paham jika masing-masing orang mempunyai hak untuk menentukan pilihan. Jika kondisi belum parah, pasien biasanya disarankan mengubah kebiasaan.

“Jika tidak dapat menghindari high heels, gunakan seperlunya saja,” tutur dokter yang berpraktik di RS MMC Jakarta. Misal, saat berangkat kerja dapat menggunakan sandal atau flat shoes.

Begitu pun saat di kantor. Sepatu hak tinggi digunakan hanya saat meeting atau acara tertentu yang mengharuskan penggunaan sepatu hak tinggi.

Namun, bila kondisinya sudah parah, ditempuh tindakan operatif. Cara ini merupakan pilihan terakhir. Selain mahal, tindakan operatif juga membuat pasien merasa tidak nyaman selama masa pemulihan.

Di lain sisi, Dewi Arrum juga mempunyai trik sendiri untuk mencegah sakit berlebih pada pengguna sepatu hak tinggi. Dia memastikan lengkung punggung kaki sepatu buatannya tidak lebih dari 9 cm.

Dewi menyarankan tinggi hak lebih baik di kisaran lima cm sampai tujuh cm. "Kalau lebih dari 9 cm sebaiknya pakai platform depan,” ujar Dewi.

Pilihan di tangan Anda....

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya