Liputan6.com, Jakarta - Kedatangan PPP kubu Djan Faridz ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Senin 9 Oktober 2017, ditanggapi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani pimpinan Romahurmuziy atau Romi. Dia menganggap kunjungan itu sebagai sekelompok warga negara yang ingin suaranya didengar oleh KPU.
Arsul yakin bahwa KPU menerima Djan dan kubunya sebatas menghormati rakyat yang bertamu ke KPU.
"KPU tentu telah mengkaji secara cermat dan teliti persoalan kepengurusan PPP dengan menggunakan parameter perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu," ujar Arsul di Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Advertisement
Dengan begitu, lanjut Arsul, siapa pun yang menggunakan parameter Undang-Undang, akan sampai pada kesimpulan bahwa klaim Djan dan segelintir pengikutnya sebagai pengurus DPP PPP tidak berdasar pada hukum. Kesimpulan ini akan sampai karena setidaknya ada empat hal.
"Pertama, satu-satunya legitimasi kelompok Djan selama ini adalah Putusan Kasasi MA Nomor 601 Tahun 2015. Nah, Putusan Kasasi Nomor 601 ini telah secara tegas dibatalkan MA (Mahkamah Agung) sendiri dengan Putusan PK Nomor 79 Tahun 2017. Jadi satu-satunya legitimasi kelompok DF sudah tidak ada lagi," papar dia.
Kedua, sambung Arsul, selama ini Djan merujuk pada Putusan Mahkamah Partai (MP) PPP dan menggunakan beberapa ahli hukum untuk membangun opini berdasar Putusan MP PPP ini di ruang publik.
"Ini merupakan bentuk penyesatan informasi (misleading information). Karena tidak ada Putusan MP PPP yang secara eksplisit menyatakan kepengurusan Djan adalah yang sah," kata dia.
"Bahkan ketika akan dilaksanakan Muktamar Pondok Gede tahun 2016 yang lalu, MP PPP menyampaikan pendapat hukum kepada Presiden dan Menteri Hukum dan HAM bahwa solusi penyelesaian kepengurusan PPP dengan Muktamar ulang yang diikuti oleh semua pihak," sambungnya.
Â
Cermati Undang-Undang
Karena itu, menurut Arsul, penyelenggaraan Muktamar di Pondok Gede dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan dihadiri para pejabat lembaga negara maupun menteri terkait.
"Penggunaan opini ahli hukum untuk membangun opini publik justru mengorbankan reputasi dan integritas keilmuan mereka. Karena para ahli hukum ini hanya diberi informasi dan bahan yang sepotong-sepotong saja. Misalnya, pendapat MP PPP sendiri yang terakhir sebelum Muktamar Pondok Gede malah tidak pernah diinfokan kepada para ahli hukum mereka," terang Arsul.
Ketiga, lanjut Arsul, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta telah menolak gugatan TUN Djan atas SK Menkumham terkait dengan kepengurusan PPP setelah Muktamar Pondok Gede tahun 2016.
"Penolakan gugatan ini seiring dengan penolakan Mahkamah Konsitusi (MK) atas tiga permohonan Djan dan kelompoknya terkait dengan uji materi pasal tentang pengesahan kepengurusan partai dalam UU Parpol dan UU Pilkada," tuturnya.
Keempat, sambung Arsul, apa yang digembar-gemborkan oleh Djan bahwa Menkumham tidak melaksanakan Putusan MA dalam perkara kasasi TUN Nomor 504 Tahun 2015 juga tidak benar.
"Menkumham telah melaksanakan putusan kasasi TUN tersebut dengan mencabut SK Kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya yang diperintahkan dalam Putusan tersebut dan mengembalikan SK Kepengurusan PPP kepada kepengurusan hasil Muktamar Bandung yang dipimpin oleh Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, yang kemudian menyelenggarakan Muktamar Pondok Gede April 2016," terangnya.
"Pertanyaannya mengapa kok bukan menerbitkan SK bagi kepengurusan Djan? Maka jawabannya, adalah karena satu, Putusan kasasi MA-nya tidak memerintahkan demikian, kedua permohonan pengesahan kepengurusan Djan tidak memenuhi syarat administratif, antara lain karena akta notaris yang Djan mohonkan sudah diubah oleh Djan sendiri," imbuh dia.
Oleh karena itu, Arsul pun mengimbau kepada Djan untuk membaca kembali secara cermat aturan perundang-undangan yang ada dan meneliti kembali seluruh dokumen terkait dengan persoalan PPP.
"Setelah itu, perlu introspeksi untuk berhenti terus menerus memelihara kesan di ruang publik bahwa PPP masih terpecah belah," jelas Arsul.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi muktamar Jakarta, Djan Faridz bersama jajarannya mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin 9 Oktober 2017 untuk berkonsultasi dengan pimpinan KPU terkait surat sah keputusan partai dan Pemilu 2019 mendatang.
"Kami hanya berkonsultasi dengan KPU. KPU sangat paham dan mengerti status hukum dari muktamar Jakarta. KPU akan plenokan masalah ini," ucap Djan Faridz.
Dalam pertemuan itu juga membahas soal permasalahan hukum PPP. Kemenkum HAM, kata Djan, dalam menerbitkan SK sebagai syarat pendaftaran pemilu kepada kubu Romahurmuziy bertentangan dengan UU.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement