Soal Putusan MA Stop Swastanisasi Air, Pemprov DKI Tunggu Pusat

Pemerintah pusat juga menjadi tergugat dalam gugatan menolak privatisasi air. MA sendiri memenangkan penggugat dalam putusannya.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 12 Okt 2017, 20:51 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2017, 20:51 WIB
20151030-Gedung-Mahkamah-Agung
Gedung Mahkamah Agung (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI belum menentukan langkah menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan penghentian swastanisasi air. Kepala Biro Hukum Provinsi DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan, menunggu arahan pemerintah pusat.

"Biasanya ada arahan dari pemerintah pusat, waktu itu dari Pak Menko Ekonomi atau dari Menteri Keuangan, kami dikumpulin, nanti langkah-langkahnya seperti apa. Jadi kami juga nunggu itu," ujar Yayan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Pemprov DKI melalui BUMD PT Perusahaan Air Minum Jaya bekerja sama dengan perusahan swasta untuk mengelola air. Sejak 1997, dua perusahaan, PT Aerta Air Jaya dan PT PAM Lyonnasie Jaya, digandeng.

MA, dalam putusannya, menyatakan bahwa kontrak kerja sama dengan swasta merupakan tindakan melawan hukum. Karena itu, MA memerintahkan Pemprov DKI memutus kontrak pengelolaan air dengan kedua perusahaan itu.

Menurut Yayan, pemerintah pusat juga menjadi tergugat dalam perkara tersebut.

"Paling enggak, kami harus punya satu suara yang sama di antara para pihak tergugatnya. Kami mau seperti apa, mau upaya hukum PK atau kami mau melaksanakan (putusan) kasasi," kata dia.

Yayan mengaku belum menerima salinan putusan MA tersebut dan baru membaca putusan yang diunggah di laman MA.

Adapun tergugat dalam perkara ini yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, dan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya selaku tergugat. PT Aetra Air Jakarta dan Palyja juga menjadi turut tergugat dalam perkara itu.

Jangan Membangkang Putusan MA

Pengacara Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (“KMMSAJ”), Arif Maulana, meminta Pemprov DKI segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung. Dalam putusan nomor 31 K/Pdt/2017, MA memutuskan pengalihan kewenangan pengolahan air dari Pemprov DKI kepada swasta melanggar undang-undang.

"Jangan sampai pemerintah membangkang putusan ini," kata Arif, ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis (12/10/2017).

Arif mengakui amar putusan MA tidak memberi tenggat kapan pemutusan kontrak Pemprov DKI dengan dua perusahaan swasta dalam pengelolaan air harus dilakukan. Realisasinya akan tergantung niat baik Pemprov DKI.

Menurut Arif, hal ini menjadi tantangan bagi penegakan putusan itu ke depan.

Ia masih meyakini Pemprov DKI akan mematuhi putusan MA. Arif juga tidak memungkiri pemutusan kontrak bukan persoalan sederhana.

"Kami memahami persoalan ini kompleks, banyak aspek yang harus diperhitungkan," Arif berujar.

Ia berharap proses transisi nantinya berjalan mulus. Yang terpenting, menurut dia, pelayanan air bersih bagi masyarakat menjadi lebih baik.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya