Liputan6.com, Denpasar - Gunung Agung genap satu bulan menyandang status Awas pada Minggu, 22 Oktober. Warga terdampak dari zona bahaya Gunung Agung masih mengungsi di beberapa titik pengungsian.
Dua hari belakangan, gempa-gempa di Gunung Agung mengalami penurunan. Kendati begitu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani menyebut penurunan gempa itu tak bisa dijadikan indikasi penurunan aktivitas gunung setinggi 3.142 mdpl tersebut.
"Banyak yang bertanya kapan meletusnya? Atau pertanyaan bisakah statusnya diturunkan?" kata Kasbani membuka pembicaraan di Pos Pengamatan Gunung Api Agung di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Sabtu (21/10/2017).
Advertisement
Soal kapan meletus, Kasbani menyatakan tak ada satu pun di dunia yang mampu memprediksi kapan gunung api akan meletus. Sementara untuk penurunan status, ia mengisyaratkan hal itu bisa dilakukan dengan sejumlah persyaratan yang sangat ketat.
Menurutnya, penetapan status secara berjenjang mulai Waspada, Siaga, dan Awas lantaran terjadi aktivitas yang meningkat secara signifikan pada perut Gunung Agung. Salah satu contohnya adalah embusan asap yang mengandung uap air dan MC gas di atas kawah yang semakin signifikan.
Selain itu, ada pula semburan air dan manifestasi termal yang semakin meningkat berdasarkan analisis data melalui satelit. "Ada rekahan juga di sana yang semakin berkembang. Juga ada lubang-lubang yang semakin banyak. Lalu tanah di kawah terbakar, itu semua data yang mengindikasikan aktivitas Gunung Agung terus meningkat," ungkap dia. ‎
Jika ditinjau dari sisi data instrumen yang dimiliki PVMBG, hal tersebut juga konsisten menunjukkan hal sama. Data instrumen yang dimaksud Kasbani diambil dari sembilan stasiun seismik, empat stasiun GPS, dua stasiun tieltmeter, CCTV, satelit dan thermal camera serta alat mobile pengukuran geo-kimia.
"Data-data itu dianalisis untuk menetapkan apakah statusnya tetap atau bisa diturunkan," ujarnya.
Sejauh ini, dari data seismik yang terekam beberapa bulan sebelum status Gunung Agung dinaikkan bertahap,‎ gempa tektonik lokal sudah terekam sebelum September 2017. Gempa tektonik lokal itu makin berkembang, mendekat, dan akhirnya berpusat di perut Gunung Agung. ‎
"Awalnya gempa tektonik lokal berasal dari sisi barat laut. Kemudian dia mendekat dan sekarang berada di bawah gunung itu. Gempa tektonik lokal itu pada akhirnya memengaruhi gempa-gempa vulkanik dalam dan dangkal yang terekam semakin banyak pula," jelas Kasbani.‎
Â
Belum Waktunya Siaga
Untuk data thermal camera, Kasbani menyebut indikasi yang sama. Lantaran terus terjadi peningkatan aktivitas signifikan, maka pada 18 September 2017 status Gunung Agung dinaikkan ke level III (siaga).‎ Jika saat masih level II gempa vulkanik terekam hanya satuan, maka pada level III sudah berada di angka puluhan.
"Kemudian pada 22 September itu terjadi peningkatan luar biasa. Gempa vulkanik dangkal dan dalam pada saat itu mencapai 720 kali. Sejak saat itu gempa vulkanik fluktuasi hingga saat ini. Dia berada di kisaran antara 500 bahkan sampai di atas seribu," beber Kasbani.
Dengan melihat kondisi aktivitas yang masih tinggi itu, Kasbani menyebut saat ini bukan situasi tepat untuk menurunkan status Awas Gunung Agung menjadi Siaga. "Kita masih lihat perkembangannya," ucapnya.
Jika nantinya data-data menunjukkan konsistensi pelemahan, bukan tak mungkin penurunan status diberlakukan. Data yang dimaksud Kasbani, yakni‎ dari sisi kegempaan turun pelan-pelan, dari sisi deformasi menunjukkan hal sama, tidak terjadi up-lifting, secara visual aktivitasnya sudah menurun, tidak terjadi semburan air, emisi gas yang relatif kecil, dan suara gas yang semakin mengecil.
"Maka hal itu bisa dijadikan pedoman menurunkan status. Artinya, status itu bukan dari kami, tapi status itu berdasarkan apa yang dikeluarkan oleh Gunung Agung itu sendiri," Kasbani memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement