Ini Penjelasan KPK soal Dasar Hukum Pencegahan Setya Novanto

Pertama, pencegahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tertera di Pasal 12 ayat 1 huruf b.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 09 Nov 2017, 20:24 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2017, 20:24 WIB
Febri Diansyah
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menerbitkan setidaknya sembilan surat pencegahan ke luar negeri. Surat tersebut dikirim KPK kepada Ditjen Imigrasi pada Kementerian Hukum dan HAM untuk sembilan orang, terkait kasus korupsi e-KTP.

Mereka yang dicegah ke luar negeri oleh Imigrasi berdasarkan perintah KPK yakni Vidi Gunawan, Dedi Prijono, Made Oka Masagung, Irvanto Hendra Pambudi, Esther Riawaty Hari, Inayah, Raden Gede, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Setya Novanto.

"Dari sejumlah pihak yang dicegah, ada yang dicegah ke luar negeri dalam status sebagai tersangka dan sebagian besar sebagai saksi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (9/11/2017).

Menurut dia, pencegahan seseorang ke luar negeri memiliki dasar hukum yang kuat. Pertama, diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tertera di Pasal 12 ayat 1 huruf b.

Pasal tersebut berbunyi: Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.

Kedua, dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, diatur dalam BAB IX Pencegahan dan Penangkalan Pasal 91 sampai dengan Pasal 103. Pasal 91 ayat 2 huruf d berbunyi: Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Febri juga menerangkan, pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan UU Imigrasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2013 Pasal 226 ayat 2 huruf d. Bunyi pasal tersebut persis sama dengan Pasal 91 ayat 2 huruf d.

"Pasal 12 ayat 1 huruf b UU 30 Tahun 2001 tentang KPK tidak mengatur apakah seseorang itu harus tersangka, terdakwa atau tidak. Ini merupakan ketentuan yang bersifat khusus," kata Febri.

Terkait jangka waktu dalam pencegahan ke luar negeri, dia mengatakan, instansi penegak hukum hanya bisa mencegah seseorang dalam jangka waktu satu tahun. Jika lebih, maka pencegahan tersebut batal demi hukum.

"MK membatalkan ketentuan boleh memperpanjang cegah dan tangkal (cekal) tanpa batas. Dan MK putuskan bahwa cekal hanya 6 bulan dan hanya boleh diperpanjang sekali lagi maksimal 6 bulan. Dengan demikian cekal hanya maksimum 12 bulan saja. Lebih dari 12 bulan dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 45," kata dia.

Tidak Dicabut Hakim

Dalam putusan sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan yang diajukan Setya Novanto, hakim Cepi Iskandar tidak mengabulkan petitum keempat. Pertitum tersebut terkait permintaan pemohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK.

"Ditegaskan bahwa penetapan tersebut merupakan kewenangan administrasi dari pejabat yang mengeluarkan penetapan," terang Febri.

Dengan begitu, menurut dia, tindakan KPK mencegah Setya Novanto ke luar negeri merupakan tindakan yang sah secara hukum. Terkait penyalahgunaan wewenang yang disangkakan terhadap dua pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, menurut Febri, tidak berdasar.

Sebab, tindakan KPK melarang Ketua Umum Partai Golkar pergi ke luar negeri demi lancarnya penanganan kasus tindak pidana korupsi megaproyek e-KTP.

"Terutama untuk memastikan saat saksi atau tersangka dipanggil maka mereka sedang tidak berada di luar negeri," kata dia.

"Oleh karena itu kami ingatkan agar para saksi dan tersangka yang dipanggil mematuhi aturan hukum yang berlaku, terutama dalam pemenuhan kewajiban hukum untuk datang jika dipanggil sebagai saksi," terang dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya