Liputan6.com, Jakarta - Tim Pengacara Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana menilai, penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah. Sederet klaim kejanggalan dibacakan, salah satunya mempertanyakan kewenangan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ambarita Damanik.
"Pengangkatan penyidikan berasal dari Polri, dan yang bersangkutan belum resmi menjadi penyidik KPK, itu bertentangan dengan Undang-Undang KPK, itu abuse of power," kata Ketut saat membaca dalil pemohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2017).
Baca Juga
Menurut Ketut, saat pengangkatan Ambarita, statusnya belum mengundurkan diri dari Polri. Artinya, yang bersangkutan masih sebagai pegawai aktif kepolisian.
Advertisement
"Jadi Ambarita diangkat sendiri oleh KPK, dan bukan penyidik berwenang karena faktanya dia bukan penyidik Polri atau pihak penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau kejaksaan. Ini bertentangan sehingga menyalahi Undang-Undang KPK sendiri," jelas dia.
Karenanya, Ketut menegaskan surat perintah penyelidikan (Sprindik) dan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Setya Novanto adalah tidak sah, sesuai Pasal 39 ayat 3 UU KPK.
"Yang hanya mengakui penyelidik, penyidik, dan penuntut umum dari instansi kepolisian kejaksaan yang diberhentikan sementara dari instansi tersebut selama menjadi pegawai KPK, sehingga Sprindik dan SPDP itu tidak sah menurut hukum," tegas dia.
Ambarita adalah salah satu penyidik yang turut menangani kasus Setya Novanto. Sosoknya ikut terjun ke kediaman sang ketua DPR pada Rabu malam, 15 November 2017.
KPK Dapat Rekrut Penyidik Sendiri
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Advokat OC Kaligis. Pembacaan putusan perkara Nomor 109/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Rabu 9 November 2016 di Ruang Sidang MK.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.
Pemohon mendalilkan terkait aturan pemberhentian sementara penyelidik, penyidik dan penuntut umum dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU KPK yang selama menjadi pegawai pada KPK.
Menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak seharusnya dimaknai bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum hanya boleh berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan, tapi harus diartikan bahwa KPK dapat merekrut, dalam hal ini, penyidik baik dari instansi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
"Serta dapat juga merekrut sendiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat 1 UU KPK. Hanya saja jika penyidik dimaksud berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan maka mereka harus diberhentikan sementara dari instansi asalnya itu," jelas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Namun demikian, dalam merekrut penyidik, KPK tidaklah sepenuhnya bebas, sebab sistem rekrutmen penyidik yang dilakukan sendiri oleh KPK harus memerhatikan Pasal 24 ayat 2 UU KPK. Menurut Wahid, ketentuan a quo menyebutkan Pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK, sehingga dalam rekrutmen penyidik KPK harus memperhatikan keahlian calon pegawai yang bersangkutan.
Selain itu, dengan berlakunya UU ASN pelaksanaan rekrutmen harus mendasarkan pada ketentuan kepegawaian dalam UU ASN, karena menurut UU ASN ditegaskan bahwa ASN adalah profesi bagi PNS dan PPPK yang bekerja pada instansi pemerintah dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya.
"Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Pasal 45 ayat 1 UU 30/2002 tidak dapat ditafsirkan bahwa KPK hanya dapat merekrut penyidik dari Kepolisian sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, namun KPK juga dapat merekrut sendiri penyidiknya. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum," tandasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon menyampaikan penilaiannya bahwa Pasal 45 ayat 1 UU KPK secara harfiah mengandung muatan multitafsir. Ketentuan yang berbunyi "Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi" tersebut digugat karena tidak jelas mengatur tentang siapa yang dimaksud dengan jabatan penyidik KPK dan hanya memuat kejelasan formil terkait surat keputusan administratif berupa surat pengangkatan yang tidak menjelaskan asal usul atau kriteria formal penyidik KPK.
Pasal a quo pun dinilai menimbulkan pertanyaan tentang apakah KPK dapat mengangkat penyidik sendiri yang sebelumnya belum memiliki status penyidik.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement