Liputan6.com, Jakarta - Permintaan Komodor Yos Sudarso membuat Letnan Kolonel Sudomo terhenyak. Siang itu, suatu hari di awal Januari 1962, ia menghadap Sudarso.
Sebagai Kepala Satuan Tugas Chusus 9 (STC-9), Sudomo melaporkan persiapan operasi infiltrasi ke Papua--dulu Irian Barat--dalam rangka operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Usai ia memaparkan rencana itulah, Sudarso mengutarakan keinginannya.
Advertisement
"Kalau kamu berangkat, saya juga berangkat," begitu kata Sudarso, seperti yang ditulis dalam buku Laksamana Soedomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan.
Advertisement
Sudomo sadar risiko di hadapannya. Operasi infriltrasi ke Papua memang melibatkan empat motor torpedo boat (MTB) canggih yang baru dibeli dari Jerman: KRI Harimau, Macan Tutul, Singa dan Macan Kumbang.
Masalahnya, armada itu tidak dilengkapi persenjataan. Sebagai negara yang baru kalah perang dunia, industri strategis Jerman terkendala aturan pembatasan senjata.
Apalagi, menurut Sudomo, MTB buatan Jerman baru beberapa bulan memperkuat Angkatan Laut RI. Jumlah ABK yang berpengalaman mengendalikannya masih terbatas.
Sudomo sempat mengusulkan menggunakan kapal selam untuk operasi ini. Tapi, Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Raden Eddy Martadinata menolaknya.
Keterbatasan armada kapal selam menjadi alasaannya. Waktu itu, Indonesia hanya punya dua kapal selam. Fasilitasnya pun belum mendukung untuk operasi infiltrasi yang butuh daya angkut personel besar.
Karena itu, Sudomo memilih MTB yang lebih lincah bergerak dan punya kapasitas personel lebih besar. Namun, keterbatasan yang ada juga membuatnya khawatir. "Kemungkinannya berhasil dalam perhitungan saya memang ada, tetapi saya juga sadar, tingkat kerawanannya sangat tinggi. Posisinya bisa dikatakan fifty-fifty," ungkap Sudomo.
Khawatir Dampak Politis
Ia menilai keikutsertaan Sudarso akan berdampak politis besar bila terjadi hal yang tak diinginkan. Sudarso merupakan Deputi I Bidang Operasi Kepala Staf Angkatan Laut, bisa dibilang ia adalah orang nomor dua di jajaran Angkatan Laut RI.
Karena itu, Sudomo membujuknya mengurungkan niat bergabung dalam operasi. Keduanya merupakan teman akrab saat pendidikan special operation di Telaga Sarangan akhir tahun 1946.
Yos Sudarso bersikeras. Perwira itu tahu Assiten II/Operasi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel Moersjid, ikut dalam operasi.
"Moersjid bisa ikut, kok malahan kamu, teman saya, melarang? itu kan kapal Angkatan Laut, masak saya kamu larang naik?" kata Sudarso sambil berteriak.
Kali ini Sudomo menyerah. "Siap, Komodor, silakan," jawabnya sambil memberi hormat.
Ada tiga titik perjalanan yang ditempuh MTB dalam rencana infiltrasi. Kapal-kapal itu akan mengisi perbekalan dan bahan bakar di tengah laut.
Hal itu untuk mencegah kapal terdeteksi. Infiltrasi ini merupakan operasi rahasia. Sementara personel infiltran akan dijemput di titik ke tiga. Menurut Sudomo, tidak efektif membawa pasukan sejak dari Tanjung Priok. Sebab, jaraknya ke Papua sampai 2 ribu mil laut.
Iring-iringan MTB pun berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 9 Januari 1962. Sementara pasukan infiltran menuju Bandara Udara Letfuan, di Pulau Kei Kecil, Ambon, menggunakan pesawat.
Mereka berangkat 11 Januari 1962 dari Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tiga hari sebelum operasi, mereka akan dibawa menggunakan kapal ke sebuah pulau di Kepulauan Aru. Di sana semua pasukan bergabung ke MTB.
Bertemu Yos Sudarso di Halim
Sewaktu pasukan infiltran tiba di Halim, Letnan Kolonel Oemar Dhani, dari Angkatan Udara RI, sempat bertemu Komodor Laut Yos Sudarso dan Kolonel Moersjid.
Mereka tampak di Apron depan Tower Halim. Oemar sempat berbicang dengan Yos Sudarso. Darinya ia mendapat informasi orang-orang yang diinfiltrasi merupakan masyarakat Irian Barat yang sudah dilatih RPKAD (Resimen Komando Angkatan Darat).
Dia mengaku terkejut ketika Yos Sudarso dan Moersjid ikut masuk ke Hercules menuju Letfuan.
"Hati kecilku mengatakan mereka mengantar ke Letfuan, pasti besok sudah pulang ke Halim," pikir Oemar Dhani seperti ditulis Julius Pour dalam buku berjudul Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul : Operasi Patria Menyergap STC-9 ALRI.
Keesokan harinya, 12 Januari 1962, ia sadar perkiraannya meleset. Perwira-perwira itu tidak kembali ke Halim bersama pesawat Hercules yang mengantarkannya. Mereka ikut dalam operasi ke Papua.
15 Januari 1962 sore, infiltran sudah bergabung dengan MTB. Namun, hanya tiga MTB yang tersisa, yakni Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang.
KRI Singa urung ikut operasi lantaran ada masalah pada mesin di tengah perjalan menuju titik penjemputan. Sebelum konvoi MTB bergerak menuju sasaran, Sudomo memimpin rapat. Meski paling junior di antara perwira yang ada, ia merupakan pemimpin operasi.
Formasi diputuskan KRI Harimau berada paling depan dan KRI Macan Kumbang paling belakang. Sementara di tengah KRI Macan Tutul.
Sebelum operasi dimulai, Sudomo mengingatkan Yos Sudarso; Misi mereka adalah mengantarkan infiltran ke wilayah di daerah Selatan Kaimana, sekitar Vlakke Hoek.
Sudarso menolak arahan itu. Ia malah meminta digabungkan dengan infiltran. Karena itu, Sudomo menempatkan Yos Sudarso di KRl Macan Tutul. Sudomo sendiri bersama Kolonel Moersjid berada di KRI Harimau. Rombongan pun bergerak.
Ketiga kapal berjalan menuju tujuan dalam kondisi gelap. Hanya KRI Macan Kumbang yang menyalakan radar. Informasi arah disampaikan melalui walkie-talkie.
Selepas pukul 21.00, di Perairan Aru, ketiga kapal dikagetkan suara pesawat Neptune dan Firefly. Tak lama kemudian di hadapan mereka muncul tiga kapal perusak Belanda berukuran besar.
Pertempuran pun pecah. Armada Belanda menembak ke arah tiga MTB. Sudomo lantas memberi perintah membatalkan operasi dan kembali ke perairan Indonesia.
KRI Macan Kumbang dan Harimau putar haluan. Namun KRI Macan Tutul malah bergerak ke arah kapal Belanda.
Yos Sudarso mengambil alih komando di kapal itu. Serangan armada Belanda lantas terfokus pada KRI Macan Tutul. Yos Sudarso sengaja menjadikan KRI Macan Tutul tameng untuk memberi kesempatan dua kapal lain menyelamatkan diri.
Julius Pour mendapat kesaksian dari seorang kelasi yang selamat, Nyoman Toya. Sebelum KRI Macan Tutul tenggelam ia melihat Yos Sudarso mengambil corong radio. "Kobarkan semangat pertempuran," teriaknya.
Tak lama berselang, Macan Tutul yang diserang habis-habisan terbakar. Menurut Nyoman, Yos Sudarso malah merayap ke ruang komando kapal. Kapal meledak dan akhirnya tenggelam.
Sementara KRI Macan Kumbang dan Harimau berhasil menjauh dari lokasi pertempuran. Kengototan Yos Sudarso ikut operasi infriltrasi berujung ajal. Pria bernama lengkap Yosaphat Soedarso itu wafat di usia 36 tahun.
Sudomo baru menyadari alasannya belakangan. "Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Irian. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk di serahkan kepada Bung Karno," katanya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement