Liputan6.com, Jakarta Penyakit kusta atau lepra adalah salah satu penyakit tertua yang telah dikenal manusia sejak ribuan tahun lalu. Penyakit kusta merupakan infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, saluran pernapasan, dan mata. Meskipun penyakit kusta sering diasosiasikan dengan stigma dan diskriminasi sosial, pengetahuan medis modern telah membuktikan bahwa penyakit ini dapat diobati dengan efektif jika terdeteksi sejak dini. Angka kejadian penyakit kusta di Indonesia masih cukup tinggi, bahkan berdasarkan data WHO tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia dengan jumlah kasus mencapai 8% dari total kasus global.
Baca Juga
Advertisement
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang memiliki masa inkubasi sangat panjang, berkisar antara 40 hari hingga 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun setelah terinfeksi hingga munculnya gejala pertama. Karakteristik unik dari penyakit kusta adalah kemampuannya menyerang sistem saraf perifer yang menyebabkan mati rasa pada kulit dan kerusakan saraf yang dapat berujung pada kecacatan permanen jika tidak ditangani dengan tepat. Meski demikian, penting untuk diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit yang mudah menular, melainkan membutuhkan kontak yang intensif dan dalam jangka waktu yang lama dengan penderita yang belum mendapatkan pengobatan.
Dalam upaya mengurangi beban penyakit kusta, edukasi masyarakat menjadi kunci utama untuk menghilangkan stigma dan mendorong penderita mencari pengobatan sedini mungkin. Penanganan penyakit kusta telah mengalami kemajuan signifikan dengan adanya terapi multi-obat (MDT) yang sangat efektif membunuh bakteri penyebab. Pengobatan yang tepat tidak hanya menyembuhkan penyakit kusta tetapi juga memutus rantai penularan dan mencegah kecacatan.
Berikut ini telah Liputan6.com rangkum secara komprehensif segala aspek tentang penyakit kusta, mulai dari gejala, penyebab, diagnosis, hingga pengobatan dan upaya pencegahannya, pada Kamis (10/4).
Apa Itu Penyakit Kusta?
Penyakit kusta, juga dikenal sebagai lepra atau penyakit Hansen, adalah infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri ini menyerang terutama kulit, saraf tepi, selaput lendir pada saluran pernapasan atas, dan mata. Penyakit kusta memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia dan sering dikaitkan dengan stigma sosial yang kuat. Namun, pemahaman medis modern telah membuktikan bahwa kusta dapat disembuhkan dan tidak semudah yang dibayangkan untuk menular dari satu orang ke orang lainnya.
World Health Organization (WHO) telah mengklasifikasikan penyakit kusta ke dalam dua kelompok utama berdasarkan jumlah lesi dan keterlibatan saraf. Klasifikasi pertama adalah kusta Pausibasiler (PB), ditandai dengan adanya 1-5 lesi pada kulit dan menyebabkan rasa baal yang jelas pada satu cabang saraf. Klasifikasi kedua adalah kusta Multibasiler (MB), yang memiliki lebih dari 5 lesi, dengan rasa baal yang tidak terlalu jelas, namun menyerang banyak cabang saraf. Klasifikasi ini penting dalam menentukan jenis dan durasi pengobatan yang akan diberikan kepada penderita.
Berbeda dengan anggapan umum, penyakit kusta tidak mudah menular. Transmisi bakteri Mycobacterium leprae terjadi melalui kontak yang intensif dan berkepanjangan dengan penderita yang belum mendapatkan pengobatan. Bakteri ini dapat menyebar melalui percikan dahak atau ludah (droplet) saat penderita batuk atau bersin. Namun perlu digarisbawahi bahwa kusta tidak menular melalui kontak singkat seperti bersalaman, duduk bersama, atau melalui hubungan seksual. Selain itu, kusta juga tidak dapat ditularkan dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya.
Meskipun angka kejadian kusta global telah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir berkat upaya kontrol yang intensif, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan beban kusta yang tinggi. Berdasarkan data WHO tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 8% dari total kasus global. Yang lebih memprihatinkan, sekitar 9,14% dari kasus baru kusta di Indonesia terjadi pada anak-anak, menunjukkan masih adanya transmisi aktif di masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang penyakit kusta sangat penting untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini.
Advertisement
Penyebab dan Faktor Risiko Penyakit Kusta
Penyebab utama penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae), sejenis bakteri tahan asam yang memiliki karakteristik pertumbuhan yang sangat lambat. Bakteri ini memiliki afinitas khusus terhadap sel Schwann pada saraf perifer dan sel kulit, yang menjelaskan mengapa manifestasi utama penyakit kusta terjadi pada organ-organ tersebut. M. leprae memiliki waktu pembelahan yang sangat lambat, sekitar 12-14 hari, jauh lebih lambat dibandingkan bakteri lainnya. Karakteristik unik lainnya adalah bakteri ini tidak dapat ditumbuhkan dalam media kultur laboratorium konvensional, yang membuat penelitian tentang kusta menjadi lebih menantang.
Penularan penyakit kusta terjadi terutama melalui kontak yang intensif dan berkepanjangan dengan penderita yang belum mendapatkan pengobatan. Bakteri dapat menyebar melalui droplet dari saluran pernapasan, seperti ludah atau dahak, yang keluar saat penderita batuk atau bersin. Penting untuk dipahami bahwa bakteri penyebab kusta memiliki daya tular yang rendah, sekitar 5% dari populasi yang terpapar, dan membutuhkan waktu paparan yang lama untuk dapat menginfeksi seseorang. Kusta tidak menular melalui kontak singkat, seperti bersalaman, berbagi peralatan makan, atau duduk bersebelahan dengan penderita. Penyakit ini juga tidak ditularkan melalui hubungan seksual atau dari ibu hamil ke janinnya.
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi M. leprae. Faktor risiko pertama dan yang paling signifikan adalah kontak dekat dan berkepanjangan dengan penderita kusta yang tidak diobati. Penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita kusta memiliki risiko 4-10 kali lebih tinggi untuk tertular dibandingkan populasi umum. Faktor risiko kedua adalah menetap atau mengunjungi daerah endemik kusta, dimana prevalensi penyakit ini tinggi. Negara-negara seperti Brasil, India, dan Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta yang masih tinggi.
Faktor risiko lainnya meliputi kondisi sistem kekebalan tubuh yang lemah, baik karena faktor genetik, malnutrisi, atau penyakit tertentu yang menurunkan respons imun. Faktor genetik juga berperan penting, dengan adanya bukti bahwa kerentanan terhadap kusta memiliki komponen herediter. Beberapa studi menunjukkan adanya varian gen tertentu yang terkait dengan meningkatnya risiko terinfeksi M. leprae. Selain itu, kontak dengan hewan tertentu, seperti armadillo, yang dapat membawa bakteri kusta, juga merupakan faktor risiko, terutama di beberapa negara di Amerika. Pemahaman tentang faktor-faktor risiko ini penting untuk strategi pencegahan dan identifikasi kelompok yang perlu mendapatkan skrining dan edukasi intensif.
Gejala dan Tanda Penyakit Kusta
Penyakit kusta memiliki spektrum manifestasi klinis yang luas, mulai dari bentuk ringan hingga berat, tergantung pada respons imun penderita terhadap bakteri Mycobacterium leprae. Salah satu karakteristik penting dari penyakit kusta adalah masa inkubasi yang sangat panjang, berkisar antara 40 hari hingga 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun. Hal ini menyebabkan gejala awal kusta seringkali tidak jelas dan berkembang secara perlahan, bahkan pada beberapa kasus, gejala baru muncul setelah bakteri berkembang biak dalam tubuh penderita selama 20 tahun atau lebih. Ini menjadi salah satu tantangan dalam diagnosis dini penyakit kusta.
Gejala awal penyakit kusta yang paling umum adalah munculnya bercak kulit yang mengalami mati rasa (anestesi), terutama terhadap suhu, sentuhan, tekanan, atau rasa nyeri. Bercak ini biasanya berwarna lebih pucat atau lebih terang dibandingkan kulit di sekitarnya (hipopigmentasi) dan dapat muncul di berbagai bagian tubuh, terutama pada ekstremitas, wajah, dan punggung. Selain mati rasa, area kulit yang terkena juga sering mengalami anhidrosis (tidak berkeringat) dan terasa kaku serta kering. Gejala lain yang dapat muncul adalah luka yang tidak terasa nyeri, terutama di telapak kaki, yang dapat menjadi pintu masuk infeksi sekunder.
Seiring berjalannya waktu, tanpa pengobatan yang adekuat, penyakit kusta dapat berkembang menjadi lebih parah dengan manifestasi yang lebih kompleks. Pada tahap ini, penderita dapat mengalami pembesaran saraf perifer yang teraba, terutama di daerah siku, lutut, dan belakang telinga. Pembesaran saraf ini dapat menyebabkan kelemahan otot, terutama pada tangan dan kaki, yang dapat berujung pada deformitas seperti "claw hand" (tangan cakar) dan "drop foot" (kaki gantung). Pada wajah, manifestasi kusta dapat berupa bengkak atau benjolan, kehilangan alis dan bulu mata secara permanen, serta masalah pada hidung seperti hidung tersumbat, mimisan, dan bahkan kehilangan tulang hidung yang menyebabkan deformitas.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, penyakit kusta dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis dengan gejala yang berbeda:
- Intermediate leprosy: Ditandai dengan beberapa lesi datar berwarna pucat yang terkadang dapat sembuh dengan sendirinya.
- Tuberculoid leprosy: Merupakan bentuk yang lebih ringan dengan beberapa lesi datar berukuran besar, disertai mati rasa dan pembesaran saraf. Sistem imun penderita relatif dapat membatasi penyebaran bakteri.
- Borderline tuberculoid leprosy: Ditandai dengan lesi yang berukuran lebih kecil dan lebih banyak dibandingkan bentuk tuberculoid.
- Mid-borderline leprosy: Memiliki lesi kemerahan yang tersebar secara acak dan asimetris, disertai mati rasa dan pembengkakan kelenjar getah bening.
- Borderline lepromatous leprosy: Ditandai dengan lesi dalam jumlah banyak, baik berbentuk datar maupun benjolan, seringkali disertai mati rasa.
- Lepromatous leprosy: Bentuk paling parah dengan lesi yang tersebar secara simetris. Lesi ini umumnya mengandung banyak bakteri dan disertai dengan rambut rontok, gangguan saraf, serta kelemahan anggota gerak. Sistem imun penderita tidak mampu membatasi pertumbuhan bakteri, sehingga penyebaran menjadi luas.
Manifestasi khusus pada mata juga sering terjadi pada penderita kusta, terutama pada bentuk lepromatous. Gejala mata meliputi mata kering, jarang mengedip, dan pada kasus yang parah dapat menyebabkan kebutaan. Penting bagi masyarakat untuk mengenali gejala-gejala ini agar dapat mencari pertolongan medis sedini mungkin, karena penanganan dini sangat penting untuk mencegah kecacatan permanen akibat penyakit kusta.
Advertisement
Diagnosis Penyakit Kusta
Diagnosis penyakit kusta merupakan langkah krusial dalam penanganan penyakit ini, karena deteksi dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah perkembangan penyakit menjadi kecacatan permanen. Proses diagnosis kusta melibatkan kombinasi dari pemeriksaan klinis, laboratorium, dan terkadang pemeriksaan penunjang lainnya. Dokter, terutama spesialis kulit atau penyakit infeksi, memiliki peran penting dalam mengenali tanda dan gejala awal kusta yang seringkali tidak spesifik.
Pemeriksaan klinis merupakan langkah pertama dan paling penting dalam diagnosis kusta. Dokter akan melakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat gejala, kemungkinan pajanan terhadap penderita kusta, dan faktor risiko lainnya. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan kulit secara menyeluruh untuk mengidentifikasi lesi kusta. Karakteristik utama lesi kusta adalah bercak kulit yang mengalami hipopigmentasi (berwarna lebih pucat atau merah) dan disertai dengan mati rasa. Dokter juga akan memeriksa saraf perifer untuk mendeteksi adanya pembesaran atau nyeri pada saraf, serta mengevaluasi fungsi sensorik dan motorik, terutama pada ekstremitas.
Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium berupa kerokan kulit (skin smear) atau biopsi kulit. Pada pemeriksaan kerokan kulit, dokter akan mengambil sampel dari lesi kulit untuk dianalisis di laboratorium menggunakan teknik pewarnaan khusus (Ziehl-Neelsen) untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (BTA). Jika ditemukan bakteri Mycobacterium leprae, maka diagnosis kusta dapat ditegakkan. Biopsi kulit dapat memberikan informasi lebih detail tentang jenis kusta berdasarkan perubahan histopatologis pada jaringan kulit. Pada beberapa kasus, teknik molekuler seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi DNA bakteri M. leprae, terutama pada kasus dengan hasil kerokan kulit yang negatif.
Penting untuk dicatat bahwa di daerah endemik kusta, seseorang dapat didiagnosis menderita kusta meskipun hasil pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan negatif. Hal ini mengacu pada klasifikasi World Health Organization (WHO) terhadap penyakit kusta:
- Paucibacillary (PB): Ditandai dengan adanya 1-5 lesi kulit dengan gangguan sensorik yang jelas, meskipun hasil tes kerokan kulit (smear) negatif.
- Multibacillary (MB): Terdapat lebih dari 5 lesi kulit, dengan atau tanpa gangguan sensorik yang jelas, dan hasil tes kerokan kulit (smear) positif.
Selain pemeriksaan kulit dan saraf, pada kasus kusta yang sudah lanjut atau diduga telah menyebar ke organ lain, dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan tambahan seperti:
- Hitung darah lengkap: Untuk menilai status kesehatan umum dan adanya tanda-tanda infeksi.
- Tes fungsi hati: Untuk mengevaluasi kesehatan hati yang dapat terpengaruh baik oleh penyakit kusta itu sendiri maupun oleh obat-obatan yang akan digunakan dalam pengobatan.
- Tes kreatinin: Untuk menilai fungsi ginjal, yang penting dalam penentuan dosis beberapa obat yang digunakan dalam pengobatan kusta.
- Biopsi saraf: Pada kasus tertentu, terutama jika terdapat keterlibatan saraf yang signifikan namun tanpa lesi kulit yang jelas, biopsi saraf dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Diagnosis dini dan akurat sangat penting dalam manajemen kusta, karena pengobatan yang tepat dan dini dapat mencegah perkembangan kecacatan permanen. Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan, terutama di daerah endemik kusta, untuk memiliki kewaspadaan tinggi terhadap tanda dan gejala kusta, serta memiliki kemampuan untuk melakukan prosedur diagnostik yang diperlukan.
Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan penyakit kusta telah mengalami revolusi signifikan sejak diperkenalkannya terapi multi-obat (Multidrug Therapy/MDT) oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1981. Sebelum era MDT, kusta diobati hanya dengan dapsone, yang menyebabkan tingginya angka resistensi obat. MDT telah terbukti sangat efektif dalam membunuh bakteri Mycobacterium leprae, mencegah resistensi obat, dan memutus rantai penularan. Prinsip utama pengobatan kusta adalah memutus mata rantai penularan, menurunkan insiden penyakit, menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya kecacatan.
MDT untuk penyakit kusta terdiri dari kombinasi beberapa antibiotik yang ditentukan berdasarkan klasifikasi kusta yang diderita pasien. Untuk kusta tipe Paucibacillary (PB), regimen pengobatan terdiri dari dua antibiotik: dapsone yang diminum setiap hari dan rifampicin yang diminum sebulan sekali. Durasi pengobatan untuk kusta PB adalah 6 bulan. Sementara itu, untuk kusta tipe Multibacillary (MB), regimen pengobatan terdiri dari tiga antibiotik: dapsone dan clofazimine yang diminum setiap hari, serta rifampicin yang diminum sebulan sekali. Durasi pengobatan untuk kusta MB adalah 12-24 bulan. Kepatuhan terhadap regimen pengobatan ini sangat penting untuk kesembuhan total dan pencegahan kekambuhan.
Selain antibiotik, penanganan kusta juga melibatkan manajemen reaksi kusta, yang merupakan respons imun tubuh terhadap bakteri M. leprae. Reaksi kusta dapat terjadi selama atau setelah pengobatan, dan terbagi menjadi dua tipe utama: reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (erythema nodosum leprosum/ENL). Reaksi kusta ini dapat menyebabkan kerusakan saraf yang cepat dan perlu ditangani segera. Obat-obatan yang digunakan untuk menangani reaksi kusta meliputi kortikosteroid, thalidomide (untuk ENL), dan obat anti-inflamasi lainnya. Penting bagi dokter untuk memantau pasien secara rutin untuk mendeteksi dan menangani reaksi kusta sesegera mungkin.
Pada kasus kusta yang telah menyebabkan kecacatan, rehabilitasi fisik dan bedah menjadi bagian integral dari penanganan komprehensif. Rehabilitasi fisik meliputi fisioterapi untuk mencegah kontraktur otot dan mempertahankan fungsi anggota gerak, terapi okupasi untuk melatih aktivitas sehari-hari, dan penggunaan alat bantu untuk meningkatkan mobilitas. Sementara itu, prosedur bedah seperti dekompresi saraf, koreksi deformitas, dan rekonstruksi dapat dilakukan untuk memperbaiki kecacatan yang sudah terjadi. Tujuan dari prosedur bedah ini mencakup tiga aspek utama: menormalkan fungsi saraf yang rusak, memperbaiki bentuk tubuh yang cacat, dan mengembalikan fungsi anggota tubuh.
Aspek psikososial juga merupakan komponen penting dalam penanganan komprehensif kusta. Stigma sosial dan diskriminasi yang sering dialami penderita kusta dapat menyebabkan masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Oleh karena itu, dukungan psikologis, konseling, dan rehabilitasi sosial sangat diperlukan untuk membantu penderita kusta kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Program edukasi masyarakat juga penting untuk menghilangkan mitos dan stigma seputar kusta, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi penderita kusta.
Penting untuk diingat bahwa pengobatan kusta harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan. Setelah menyelesaikan regimen MDT, pasien perlu menjalani pemeriksaan rutin untuk memantau kemungkinan kekambuhan, reaksi kusta, atau perkembangan kecacatan baru. Kolaborasi antara dokter, petugas kesehatan, fisioterapis, terapis okupasi, psikolog, dan pekerja sosial sangat penting untuk memberikan perawatan holistik yang optimal bagi penderita kusta. Dengan pengobatan yang tepat dan dukungan yang memadai, mayoritas penderita kusta dapat disembuhkan dan kembali menjalani kehidupan normal.
Advertisement
Pencegahan Penyakit Kusta
Pencegahan penyakit kusta merupakan strategi penting dalam upaya pengendalian dan eliminasi penyakit ini secara global. Meskipun sampai saat ini belum ada vaksin spesifik yang terbukti efektif untuk mencegah kusta, beberapa langkah preventif dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penularan dan perkembangan penyakit. Salah satu strategi pencegahan utama adalah deteksi dan pengobatan dini kasus kusta, yang akan memutus rantai penularan dengan mengurangi jumlah bakteri Mycobacterium leprae yang dapat ditularkan ke orang lain.
Strategi pencegahan lain yang penting adalah pengawasan kontak, yang melibatkan skrining, pemantauan, dan tindak lanjut terhadap orang-orang yang memiliki kontak dekat dengan penderita kusta, terutama anggota keluarga yang tinggal serumah. Kontak dekat memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi kusta dibandingkan populasi umum. Skrining kontak secara berkala dapat membantu mendeteksi kasus baru sedini mungkin, sehingga pengobatan dapat dimulai segera untuk mencegah perkembangan penyakit dan penularan lebih lanjut. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa pemberian dosis tunggal rifampicin kepada kontak dekat penderita kusta dapat mengurangi risiko terinfeksi hingga 60%.
Edukasi masyarakat merupakan komponen kunci dalam strategi pencegahan kusta. Peningkatan kesadaran tentang gejala awal kusta, cara penularan, dan pentingnya mencari pengobatan dini dapat mendorong orang untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan saat mengalami gejala yang mencurigakan. Selain itu, edukasi juga berperan penting dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta, yang seringkali menjadi penghalang bagi penderita untuk mencari pengobatan. Program edukasi masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai saluran, seperti media massa, sekolah, tempat ibadah, dan kegiatan komunitas, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan mantan penderita kusta.
Perbaikan kondisi sosial-ekonomi dan sanitasi lingkungan juga berperan penting dalam pencegahan kusta. Meskipun hubungan antara kemiskinan dan kusta belum sepenuhnya dipahami, namun terdapat korelasi yang kuat antara prevalensi kusta dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk yang tinggi, sanitasi yang buruk, dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kondisi hidup masyarakat, termasuk akses terhadap air bersih, sanitasi yang baik, perumahan yang layak, dan nutrisi yang adekuat, dapat berkontribusi secara tidak langsung dalam mengurangi risiko penularan kusta.
Upaya global untuk mengeliminasi kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. World Health Organization (WHO) telah menetapkan target eliminasi kusta, yang didefinisikan sebagai prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk, dan banyak negara telah mencapai target ini di tingkat nasional. Namun, eliminasi kusta di tingkat sub-nasional masih menjadi tantangan di beberapa negara endemik, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, strategi pencegahan yang komprehensif dan berkelanjutan tetap penting untuk mencapai dan mempertahankan eliminasi kusta di semua tingkatan.
