Merajut Kebinekaan Lewat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa

Azmi Abubakar membuktikan kebinekaan dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang berisi ribuan karya dari etnis Tionghoa.

oleh Sunariyah diperbarui 26 Feb 2018, 14:22 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2018, 14:22 WIB

Liputan6.com, Tangerang - Banyak cara dalam merajut kebinekaan, salah satunya yang dilakukan pemuda berdarah Aceh di Banten. Dia mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa sebagai bentuk kepeduliannya kepada etnis Tionghoa yang pernah mengalami masa kelam pada 1998.

Seperti ditayangkan Liputan6 Siang SCTV, Senin (26/2/2018), sederet papan nama bekas pada zaman dulu pernah berjaya menandai rumah pemiliknya. Kini papan nama tersebut menjadi bagian benda koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di kawasan Serpong, Tangerang, Banten.

Azmi Abubakar adalah sosok dibalik berdirinya Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Dia tertarik menggali lebih jauh khazanah dan jejak sejarah etnis peranakan Tionghoa di Tanah Air.

"Museum ini menawarkan informasi yang tidak diketahui oleh masyarakat. Kita memiliki puluhan ribu karya dari etnis Tionghoa. Mereka menulis berbagai hal seperti medis, olahraga, dan polisi. Saya kira ini kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa dan belum diketahui,” jelas Azmi.

Seperti kata pepatah 'Tak Kenal Maka Tak Sayang', dengan mengenal maka akan menyayangi. Berangkat dari pepatah itulah Azmi mengajak setiap eleman masyarakat untuk menyikapi keberagaman dengan cara mempelajari jejak sejarah.

Museum ini ternyata membuka pengetahuan baru bagi pengunjungnya, seperti halnya Bambang. Dia mengaku bisa membaca segala dan mendapatkan nillai positif.

"Di museum ini saya bisa baca segala hal. Ternyata banyak kebaikan-kebaikan dari adat istiadat bangsa Tionghoa," terang Bambang.

Aktivitas Azmi dalam merajut kebinekaannya tak hanya pada museum. Jalinan silahturahmi pun kerap dilakukannya pada etnis Tionghoa yang menyumbangkan buku ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Salah satunya kepada Oma Yeni yang telah menyumbangkan buku terbitan tahun 1915.

"Kalau saya tidak ada gak tahu nanti buku-bukunya akan dikemanain. Kalau mereka (anak dan cucu) mau urus, ya kalau gak mau? Saya berpikir lebih baik saya kasih saja ke museum,” jelas Oma Yeni.

Kebinekaan bukan hanya sekedar slogan bagi Azmi Abubakar. Dia mengubahnya jadi sebuah ketulusan dalam bertindak. Kebinekaan bukan sebagai perbedaan tetapi sebagai keberagaman yang saling menguatkan.

"Kita selalu bicara merajut kebinekaan, tetapi bagaimana cara merajut itu? Saya kira dengan membuka museum ini saya membuat langkah kecil saja. Meskipun saya orang Aceh dan istri saya orang Minang, saya peduli etnis Tionghoa. Sebaliknya, mungkin nanti orang Tionghoa peduli terhadap orang Ambon, misalnya. Jadi saya harap Indonesia bisa bersatu dalam persaudaraan, bukan bersatu dalam keterpaksaan,” jelas Azmi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya