Begini UU Terorisme Atur WNI Terlibat Perang di Wilayah Konflik

Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i mengatakan, penegak hukum tak bisa serta-merta menangkap WNI yang baru pulang dari wilayah konflik.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Mei 2018, 15:31 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2018, 15:31 WIB
Tok, DPR Resmi Sahkan Revisi UU Terorisme
Ketua Pansus RUU Antiterorisme M Syafii melaporkan hasil pembahasan RUU saat Rapat Paripurna di Jakarta, Jumat (25/5). Rapat Paripurna DPR resmi menyetujui RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang Terorisme yang baru disahkan DPR mengatur ancaman hukuman bagi warga negara Indonesia (WNI) yang mengikuti pelatihan militer, termasuk terlibat perang di luar negeri. Ancaman pidana tersebut diatur dalam Pasal 12 B ayat 1.

Bunyi Pasal 16 B ayat 1: Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Soal aturan ini, Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i mengatakan, aparat penegak hukum tidak bisa langsung memidanakan warga negara yang pulang dari wilayah konflik jika tidak terbukti merencanakan atau melakukan terorisme. Dia mencontohkan, warga negara yang pulang dari wilayah konflik seperti Suriah ke Indonesia.

Untuk itu, menurut Syafi'i, UU Terorisme membutuhkan definisi untuk membantu membuktikan seseorang yang baru pulang dari wilayah konflik terlibat dalam aksi terorisme.

"Kalau kemudian setiap orang yang pulang lalu dianggap sebagai teroris, saya kira kita kan tidak punya dasar hukum itu," kata Syafi'i di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018).

Nantinya, mereka terlebih dahulu akan dinilai apakah ikut pelatihan militer untuk melakukan aksi teror atau tidak.

"Jadi orang lagi dari Suriah ini bisa di-assessment (dinilai) dulu. Yang melakukan assessment ini adalah BNPT," dia menerangkan.

Syafi'i menambahkan, bagi mereka yang belum terdoktrin paham radikal, BNPT akan mengikutsertakannya dalam program kontraradikalisasi. Sementara, bagi yang sudah terdoktrin akan diikutkan dalam program deradikalisasi.

Tak hanya itu, mengacu pada Pasal 12 B ayat 4 juga disebutkan warga negara yang telah dijatuhi hukuman pidana terorisme dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama lima tahun.

 

Junjung HAM

Dikonfirmasi terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berharap, penegakan hukum terhadap pelaku maupun terduga teror tetap menjunjung HAM.

"Kita harap kita tetap menjunjung HAM. Dalam pandangan pemerintah juga, Pak Presiden yang saya wakili, juga sebut secara tegas bahwa penegakan hukum juga harus menjunjung tinggi HAM," tuturnya.

Reporter: Renald Ghifari

Saksikan video pilihan di bawah ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya