HEADLINE: Bom di Unri, Kampus Jadi Rumah Baru Teroris?

Sulit dibayangkan terduga teroris begitu mudahnya keluar masuk kampus menenteng bom yang konon untuk diledakkan di Gedung DPR Jakarta.

oleh RinaldoAndrie HariantoIka Defianti diperbarui 05 Jun 2018, 00:07 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2018, 00:07 WIB
Densus 88 Geledah BEM FISIP Universitas Riau
DENSUS 88 dan Brimob memasang garis polisi di sekitar Gelanggang Mahasiswa FISIP Unri, Sabtu, 2 Juni 2018. (Riauonline.co.id)

Liputan6.com, Jakarta - Empat bom siap ledak itu diamankan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror di Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau (Unri), Jalan HR Soebrantas, Kecamatan Tampan, Pekanbaru, Riau. Tiga orang alumni Unri ikut ditahan dalam penggerebekan terkait terorisme pada Sabtu siang pekan lalu itu.

Kabar ini mengagetkan. Selain berada di dalam kampus, lokasi penemuan bom hanya sepelemparan batu dari gedung Rektorat Universitas Riau. Sulit dibayangkan ada terduga teroris yang begitu mudahnya keluar masuk kampus, menenteng bom yang konon untuk diledakkan di Gedung DPR Jakarta dan kantor wakil rakyat di Pekanbaru itu.

"Ini merupakan kasus pertama di Indonesia, bahwa sebuah kampus digunakan sebagai save house terorisme. Ini menyalakan alarm, sirena tanda bahaya bahwa kelompok terorisme sekarang mencari cara-cara baru untuk mengelabui deteksi aparat intelijen," ujar pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib saat dihubungi Liputan6.com, Senin (4/6/2018).

Dia mengatakan, kalau dahulu aparat intelijen umumnya memantau tempat kos atau kontrakan mahasiswa di gang-gang sempit. Namun, mereka yang diincar menyiasatinya dengan cara berpindah-pindah domisili. 

"Karena itu Densus 88 luar biasa menurut saya. Bayangkan kalau itu tidak bisa terungkap, bom sudah siap pakai dan jaraknya hanya 150 meter dari gedung Rektorat Unri. Kalau itu meledak dalam proses membawa saja bisa menimbulkan korban jiwa yang banyak dari kalangan mahasiswa," tegas Ridwan.

Sementara, temuan aparat bisa dijadikan sinyal bagi Kampus Unri untuk segera menyigi kembali kegiatan mahasiswa yang ada di kampus. Pemerintah dan pengelola kampus berbagai universitas baik negeri maupun swasta jangan sampai membebaskan kegiatan kemahasiswaan tanpa batas.

"Dulu mahasiswa bisa 24 jam berada di kampus, tetapi ada beberapa kampus yang telah menerapkan sekarang pukul 18.00 WIB aktivitas mahasiswa harus selesai. Kami di Universitas Indonesia juga begitu. Di Jogja saya dengar juga seperti itu, satpam atau sekuriti kampus memiliki semacam kewenangan untuk mengontrol mahasiswa, tapi bukan kemudian mencurigai," jelas Ridwan.

Untuk kasus di Kampus Unri, dia mengaku heran karena alumni ternyata bisa bebas berkeliaran di dalam kampus. Apalagi, seharusnya di setiap kegiatan kemahasiswaan ada pembina atau penanggung jawab yang mengawasi.

"Tidak semua alumni sebenarnya bisa masuk kampus, ada beberapa yang sangat ketat. Ini yang harus diperbaiki. Pihak rektorat perlu mengundang teman-teman gerakan mahasiswa di dalam kampus, terutama gerakan mahasiswa Islam. Sebab, radikalisme dalam konteks mempelajari agama itu baik, tapi kalau radikalisme berujung pada tindakan kekerasan itu yang salah," ujar Ridwan.

Hal senada diungkapkan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, kinerja aparat harus diapresiasi karena berhasil mengungkap rencana jahat yang disiapkan dari dalam kampus. Bukan urusan mudah mendeteksi rencana pelaku karena berada di lingkungan pendidikan.

"Saya memuji langkah Densus 88 yang berhasil menangkap tiga orang terduga terorisme di lingkungan kampus Universitas Riau. Namun, saya kaget karena terduga teroris itu ternyata memiliki motif ingin menyerang Gedung DPR dan DPRD Riau," kata pria yang karib disapa Bamsoet itu kepada Liputan6.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin petang.

 

Infografis perguruan tinggi terpapar radikalisme
Infografis perguruan tinggi terpapar radikalisme (Liputan6.com/Triyasni)

Dia pun mendesak para rektor mengarahkan para mahasiswa di perguruan tinggi yang mereka pimpin untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang positif. Selain itu, Bamsoet juga meminta Badan Intelijen Negara (BIN) menggencarkan penyelidikan di kampus-kampus yang diduga terpapar radikalisme.

"Agar jaringan terorisme segera ditemukan dan diberantas. Polri juga harus terus meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap para terduga teroris, termasuk di lingkungan kampus atau pendidikan."

Terkait dengan rencana terduga teroris yang akan meledakkan bom di gedung DPR, Bamsoet mengaku tidak yakin terkait hal tersebut. Namun dirinya tetap mengimbau seluruh pihak di lingkungan MPR/DPR, untuk selalu mewaspadai segala bentuk ancaman di wilayah wakil rakyat bertugas.

"Saya tidak terlalu yakin betul (bom diletakkan di DPR), tapi bagi kita, harus diwaspadai ancaman sekecil apa pun, karena jangan sampai (aksi radikal) itu terjadi di gedung ini," tegas Bamsoet.

Yang jelas, bagi dia penangkapan terduga teroris ini sekaligus memperkuat penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menunjukkan tingginya paparan radikalisme di kalangan mahasiswa di sejumlah kampus.

"Kampus seharusnya menjadi tempat bagi para intelektual menghasilkan pemikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, tapi justru dimanfaatkan untuk terduga terorisme, yang dapat mengancam keselamatan, keamanan, dan persatuan bangsa," ujar dia.

Lantas, benarkah kampus telah dijadikan sarang radikalisme di Indonesia? Kampus mana saja?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Menyusup ke 7 PTN?

Polisi tangkap 3 terduga teroris di univeritas Riau (Liputan6/ M Syukur)
Polisi tangkap 3 terduga teroris di univeritas Riau (Liputan6/ M Syukur)

Indikasi bahwa teroris juga ada yang berasal dari kampus sudah lama ditengarai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bahkan, paham radikal dan terorisme itu sudah menyusup ke dalam kampus ternama di Indonesia.

"Saya katakan harus bangga karena Presiden pertama dari ITB Bandung. Namun, harus juga mawas diri karena teroris juga ada yang barasal dari ITB Bandung," ujar Kepala BNPT Suhardi Alius di Kampus Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Jumat 2 Februari 2018 lalu.

Dia mengatakan, lingkungan kampus tidak luput dari virus radikalisme. Kesimpulan itu berdasarkan hasil penelitian BNPT. "Hasil identifikasi beberapa kampus mahasiswanya telah tersusupi oleh paham radikal dan terorisme," kata Suhardi.

Selain mahasiswa, beberapa dosen juga terindikasi mengajarkan radikalisme ke mahasiswanya. Ia menuturkan, beberapa waktu lalu ada pemilihan rektor di sebuah kampus. Namun, setelah diteliti ternyata calon rektor tersebut diidentifikasi menjadi simpatisan kelompok radikal.

"Dengan kejadian itu maka kami segera ambil tindakan dengan memberikan bukti bahwa tidak bisa kita biarkan orang yang telah terindikasi radikal menjadi rektor," tegas Suhardi.

Data yang lebih konkret dipaparkan Direktur Pencegahan BNPT Hamli yang mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme.

"PTN itu menurut saya sudah hampir kena semua (paham radikalisme), dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi," kata Hamli dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 25 Mei 2018.

Dia membeberkan, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal.

Pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya, penyebaran paham tersebut dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun swasta menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme.

"PTN dan PTS yang banyak kena itu di fakultas eksakta dan kedokteran," ungkap Hamli.

Namun, penyebutan nama 7 perguruan tinggi yang terpapar paham radikalisme itu juga dinilai bisa mengundang persepsi yang salah dari publik maupun mahasiswa yang punya kegiatan di bidang keagamaan.

"BNPT harus menjelaskan kepada publik secara terang benderang apa yang dimaksud dengan terpapar radikalisme, karena terus terang ini menimbulkan kecemasan," ujar pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan kerap mendapat pesan dari aktivis mahasiswa Islam kampus melalui aplikasi WhatsApp yang curiga dengan paparan dari BNPT. Mereka menduga bahwa aksi mahasiswa Islam di kampus-kampus akan diberangus seperti era Orde Baru.

"Saya kira BNPT segera menggelar jumpa pers yang resmi, agar di kampus nggak resah apa maksudnya definisi terpapar radikalisme, supaya tidak ada kecurigaan di tengah masyarakat," tegas Ridwan.

Dia mengatakan, banyak aktivitas keagamaan, khususnya Islam, yang tumbuh dan besar di dalam kampus. Namun, bukan berarti aktivitas itu pasti terpapar paham radikalisme dan terorisme.

"Harusnya rektorat dan BNPT segera menggandeng gerakan-gerakan Islam di dalam kampus, karena gerakan Islam di kampus ini kan banyak yang merekrut kader di dalam, ada jamaah tarbiyah, jamaah tabligh, ada salafi, ada HTI juga di situ," jelas Ridwan.

Hal itu diamini Ketua DPR Bambang Soesatyo. Dia mengatakan, penangkapan terhadap terduga teroris di lingkungan kampus merupakan tamparan keras bagi sistem pendidikan nasional. Karena itu dia menyarankan agar pola penanganan terorisme diubah agar bisa membawa hasil.

"Pemberantasan terorisme dengan pendekatan keamanan tidak selamanya dapat menjadi jawaban dalam membersihkan paham radikalisme di kampus. Namun, pendekatan melalui pendidikan kebangsaan terhadap berbagai gagasan baru harus kembali ditingkatkan," ujar Bamsoet.

Bukan Cerita Baru

Bom di Universitas Riau
Garis polisi terpasang di homestay Mapala Sakai FISIP Universitas Riau (Unri), Sabtu, 2 Juni 2018. (Istimewa/Riauonline.co.id)

Jejak Muhammad Nur Zamzam (MNZ) alias Zega alias Jack tercium oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) itu terdeteksi tengah berada di dalam kampus almamaternya, tepatnya di Gelanggang Mahasiswa FISIP Universitas Riau.

Tak mau menyia-nyiakan hasil pengintaian selama dua pekan terakhir, tim Densus 88 pun segera menyiapkan penangkapan mahasiswa asal Kabupaten Kampar itu. Direncanakan, penangkapan Jack akan dilakukan Jumat 1 Juni 2018. Namun, rencana itu dibatalkan pada detik-detik terakhir.

"Pada Jumat situasinya tidak memungkinkan," jelas Kapolda Riau Irjen Nandang di Mapolda Riau, Sabtu 2 Juni malam.

Aksi baru dilakukan pada Sabtu siang atau keesokan harinya. Dibantu personel Polda Riau, Densus 88 Antiteror Polri menangkap tiga mahasiswa Universitas Riau sebagai terduga teroris. Mereka adalah Jack, RBW, dan OS. Satu orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Satu tersangka. Dia adalah MNZ alias Jack. Sedangkan dua lainnya masih berstatus sebagai saksi. Ketiganya alumni Universitas Riau," ujar Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto di Jakarta, Minggu 3 Juni 2018.

Dia menjelaskan, Jack berkiblat kepada Kelompok Jemaah Anshorut Daulah (JAD). Ada sejumlah nama yang pernah berhubungan langsung dengan tersangka.

Antara lain tersangka teroris terkait jaringan Batty Bagus Nugraha alias Kholid, anggota JAD yang tewas dalam penangkapan pada Minggu 13 Mei 2018 di Terminal Pasir Hayam, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Selain itu, Jack terkait dengan jaringan teroris Kholis alias Ibad, Alias Jundi yang ditangkap 19 Januari 2016.

Kemudian, terkait dengan tersangka terorisme atas nama Pak Ngah, kelompok teror JAD yang beraksi dalam penyerangan Markas Polda Riau pada Rabu 16 Mei 2018.

Menurut sumber di Kampus Unri, sejak setahun terakhir memang ada perubahan sikap dari Jack. Ia lebih suka berdiskusi soal ke-Islaman dan menyerempet kepada thogut dan hal berbau daulah atau negara Islam.

Tak hanya itu, dia juga mulai belajar membuat bom secara mandiri dari tayangan di internet. Puncaknya, usai Kampus FISIP Unri diserang Fakultas Teknik, kemampuan meracik bom dengan bahan-bahan yang gampang diperoleh di pasaran pun semakin terasah.

Jack juga diketahui merakit bom tersebut bukan di kampus, melainkan di luar kampus. Namun, dia kerap membawa bom ukuran kecil, seperti ukuran mercon ke kampus yanhg diperlihatkan kepada sesama alumni ataupun mahasiswa.

Walau sebesar mercon, saat meledak efek angin dihasilkan dari ledakan tersebut sangat berbeda dengan angin biasanya, kencang. Tak hanya itu, suaranya berbeda dari suara mercon sering didengar masyarakat umum.

Jack sudah berulang kali diingatkan, namun tetap saja tak digubris untuk tidak membawa barang-barang berbahaya dan gampang meledak tersebut ke Kampus Unri.

"Kami sudah memprediksi, tinggal menunggu waktu saja Densus 88 datang dan menangkapnya," ujar sumber tersebut.

Jack bukanlah penghuni kampus pertama yang ditangkap terkait dugaan sebagai teroris. Tiga pekan sebelumnya, polisi juga menangkap Siska Nur Azizah bersama Dita Siska Millenia, temannya asal Temanggung, yang baru berusia 18 tahun.

"Kedua wanita itu bernama Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah. Polisi mengamankan keduanya di Masjid Al Ikhwan, dekat Mako Brimob pada Sabtu pukul 03.00 WIB," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi M Iqbal.

Mereka tiba di Jakarta melalui Terminal Kampung Rambutan dengan bus dari Bandung pada pukul 02.30 WIB, kemudian keduanya naik angkutan kota ke Mako Brimob. Ketika sejumlah polisi tak berpakaian seragam menyergapnya di Musala Al-Ikhwan Mako Brimob pada Sabtu subuh itu, disita pula sebuah gunting.

Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan, kedua wanita itu merencanakan aksi amaliah dengan cara mendatangi Mako Brimob untuk memberikan makanan kepada para narapidana teroris. Saat makanan diperiksa petugas, salah satu wanita itu akan menyerang polisi menggunakan gunting.

Siska ternyata siswa berprestasi di sekolahnya sehingga bisa masuk Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, setelah mendapat beasiswa Bidikmisi pada 2015. Namun, pihak kampus juga menduga Siska mengikuti pengajian Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW9). Bahkan, dia aktif mengajak orang lain ke pengajian NII.

Jack dan Siska hanyalah gambaran kecil dari pengaruh paham radikalisme di kampus-kampus yang ada di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mensinyalir semua kampus negeri di Jawa dan Sulawesi terpapar paham radikalisme berbasis agama.

"Walaupun kadarnya beda-beda, semua sudah kena," tegas Direktur Jenderal Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya