Eks Koruptor Dilarang Nyaleg, Yasonna: KPU Harus Gunakan Cara yang Benar

Yasonna menyarankan, KPU dapat membuat pengumuman di TPS untuk menunjukkan caleg tersebut eks koruptor.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 06 Jun 2018, 13:03 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2018, 13:03 WIB
Menkumham dan Menhan Terapkan Program Bela Negara bagi Warga Binaan
Menkumham Yasonna Laoly memberi sambutan dalam launching buku bela negara di LP Klas I Cipinang, Jakarta, Kamis (29/3). Menurut Yasonna, bela negara menjadi kewajiban seluruh warga negara Indonesia. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyadari tujuan baik terhadap niat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan larang mantan napi jadi calon legislatif. Namun dia berharap hal itu jangan menabrak undang-undang.

"Saya selalu mengatakan tujuan yang baik, harus dilakukan dengan cara yang baik, cara yang benar. Jadi ini sudah tahu aturannya jelas, sengaja kita tabrak, tujuannya itu sangat baik, tapi masih ada cara lainnya," ucap Yasonna di Pusdiklat BPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018).

Dia menyarankan, KPU dapat membuat pengumuman di TPS untuk menunjukkan caleg tersebut eks koruptor.

"Kalau saya sarankan buat aja di papan, kertas suara sebelum (masuk) TPS itu, nanti namanya caleg nomor segini, nomor segini napi tipikor, napi ini. Itu jelas," jelas Yasonna.

Jika KPU masih memaksakan aturan itu, kata Yasonna, maka selain bertentangan dengan undang-undang, juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Yasonna juga memandang aturan yang coba disusun KPU diskriminatif.

"Agak diskriminatif juga itu ketentuan. Yang napi teroris tak termasuk di dalamnya. Apa lebih baik," kata Yasonna.

 

Rusikan Negara

Penanggulangan Terorisme, Kemenkumham Bangun Kerja Sama dengan BNPT
Menkumham Yasonna Laoly memberikan sambutan saat melakukan MoU dengan BNPT di gedung Kemenkumham, Jakarta, Kamis (31/5). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Politisi PDIP ini juga memandang, peraturan KPU ini berpotensi merugikan negara. Karena jika akhirnya disepakati, akan ada yang menggugat dan merasa haknya dihilangkan.

"Misalnya ada seseorang kehilangan hak dan ini sudah terbukti ketentuan ini digugat ke pengadilan. (Kalah) yang bayar itu KPU. Tapi KPU yang bayar negara, APBN juga yang bayar," tukasnya.

Dia juga memandang menghilangkan hak itu hukan kewenangan KPU. Hanya dua yang bisa, yaitu suatu produk undang-undang atau putusan pengadilan yang boleh melakukan itu. Karenanya, Yasonna berencana akan duduk bersama KPU sebelum mengesahkan peraturan itu.

"Kita akan undang lah, duduk yang baik-baik aja. Untuk republik kok," pungkasnya.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya